backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Jenis Penyakit Ketinggian yang Sering Menyerang Pendaki

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 23/11/2021

    Jenis Penyakit Ketinggian yang Sering Menyerang Pendaki

    Apa rencana Anda untuk menghabiskan libur panjang? Sebagian orang mungkin memilih untuk naik gunung. Selain menyehatkan fisik, aktivitas ini juga bisa membantu meningkatkan kesehatan mental karena membantu Anda melepaskan stres. Itulah sebabnya, beberapa orang melakukan aktivitas ini secara rutin. Di samping manfaatnya, Anda juga perlu tahu risiko kesehatan yang mungkin terjadi ketika naik gunung, salah satunya adalah penyakit ketinggian.

    Jenis penyakit yang muncul akibat ketinggian

    Menurut Gretchen C. Daily, peneliti dari Stanford University, mendaki gunung bisa menyehatkan mental karena membantu mengurangi stres dan kecemasan, serta menurunkan risiko depresi. Di samping itu, aktivitas ini juga memberi manfaat lain, seperti membangun otot dan tulang jadi lebih kuat, meningkatkan keseimbangan tubuh, dan menyehatkan jantung.

    Meski begitu, aktivitas ini juga memiliki efek buruk, terutama jika sang pendaki menaiki gunung di ketinggian tertentu. Berikut ini adalah beberapa jenis penyakit ketinggian yang mungkin pernah dialami pendaki gunung

    1. AMS (Acute Mountain Sickness)

    gangguan sistem endokrin

    AMS adalah kondisi akut yang muncul saat seserang berada di ketinggian tertentu. Penyakit ini terjadi karena tubuh mengalami penurunan kadar oksigen di ketinggian tertentu.

    Kondisi ini umumnya terjadi ketika seseorang berada di ketinggian 2500 mdpl (meter di atas permukaan laut). Namun, juga dapat muncul pada ketinggian yang lebih rendah, yakni sekitar 1500 mdpl, pada seseorang yang berisiko tinggi dengan kondisi ini.

    Seseorang yang mengalami AMS paling sering mengeluhkan sakit kepala, kadang diikuti mual dan muntah, tubuh lesu, pusing, serta mengantuk. AMS juga bisa menyebabkan hipotermia, yakni kondisi ketika suhu tubuh menurun drastis hingga di bawah 35oC.

    Penyakit yang muncul akibat ketinggian ini dapat didiagnosis dengan menggunakan lembar skor penilaian diri. Jika Anda baru saja mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 2500 mdpl dan mengalami sakit kepala dengan skor total Anda adalah 3 poin atau lebih, maka Anda menderita AMS.

    Pengobatan untuk penyakit ini adalah dengan minum obat-obatan yang bisa membantu meredakan gejalanya, seperti obat pereda nyeri untuk menghilangkan sakit kepala. Penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan menaiki daratan tinggi secara perlahan dengan istirahat selama 1 atau 2 hari untuk memberi waktu bagi tubuh beradaptasi dengan lingkungan.

    Kemudian, bisa juga dengan mengonsumsi obat acetazolamide untuk menurunkan risiko AMS. Namun, sebaiknya konsultasikan lebih dahulu dengan dokter sebelum menggunakan obat ini karena dapat menimbulkan efek samping seperti tubuh kesemutan.

    2. HAPE (High Altitude Pulmonary Edema/edema paru dataran tinggi)

    kardiomiopati

    HAPE adalah penumpukan cairan berbahaya di paru-paru yang mencegah ruang udara terbuka dan terisi udara segar setiap kali Anda bernapas. Ketika ini terjadi, penderitanya menjadi semakin kekurangan oksigen.  Ketika terjadi penumpukan cairan di paru-paru, HAPE bisa berakibat fatal dalam hitungan jam.

    Banyak penelitian telah dilakukan namun penyebab pasti HAPE belum diketahui secara pasti. Sebuah teori menyebutkan bahwa cairan mengisi kantong di paru-paru sehingga mencegah oksigen masuk ke dalam darah.

    Paru-paru yang kekurangan oksigen ini akan bereaksi dengan menyempitkan pembuluh darah di semua tempat dan tidak hanya di area kecil.  Tekanan darah menjadi naik dan memaksa cairan keluar dari darah lalu masuk ke kantong udara. Akibatnya, edema paru akan terjadi.

    Zat yang berbahaya dan reaktif terbentuk dalam darah ketika Anda kekurangan oksigen. Kondisi ini secara langsung dapat merusak membran khusus antara udara dan darah di paru-paru, yang menyebabkan kebocoran cairan lebih lanjut dan memperparah kondisinya.

    Edema paru di dataran tinggi biasanya berkembang setelah 2 atau 3 hari berada pada ketinggian di atas 2500 mdpl. Gejala yang paling umum adalah sesak napas, kondisi ini akan semakin parah jika melakukan aktivitas.

    Gejala berikutnya adalah batuk dengan dahak berbusa putih atau merah mudah. Denyut jantung juga akan jadi lebih cepat, bibir akan berubah membiru, dan suhu tubuh akan meningkat.

    Perawatan utama untuk penyakit ketinggian ini adalah memberikan oksigen ekstra dan menaikkan tekanan udara di sekitar pasien dengan kantong Gamow bertekanan. Beberapa obat dapat membantu, tetapi perlu diresepkan dari dokter.

    Nifedipine adalah obat yang membantu membuka pembuluh darah di paru-paru. Obat ini mengurangi tekanan tinggi di pembuluh yang memaksa cairan keluar ke paru-paru.

    Sildenafil dengan mekanisme yang berbeda, juga membuka pembuluh darah di paru-paru dan mungkin merupakan pengobatan yang berguna untuk HAPE. Penelitian terbaru menunjukkan petugas medis juga dapat memberikan obat steroid.

    3. HACE (High Altitude Cerebral Edema/edema otak dataran tinggi)

    penderita diabetes sering sakit kepala

    Edema otak dataran tinggi adalah jenis penyakit gunung yang parah. Penderitanya akan mengalami kantuk, hilang keseimbangan, kebingungan, sakit kepala parah, muntah dan muntal, yang akhirnya berujung dengan koma. Jika tidak ditangani secepatnya, dalam beberapa jam kondisi ini dapat menyebabkan kematian.

    Orang yang mengalami HACE akan merasa sulit untuk berjalan mengikuti garis lurus dan cara ini digunakan sebagai tes diagnosis HACE. Penurunan tekanan udara adalah pengobatan HACE yang paling efektif dan tidak boleh ditunda.

    Kantung Gamow atau portable altitude chamber dapat digunakan sebagai tindakan sementara. Jika tersedia oksigen dan obat deksametason, keduanya harus diberikan pada pasien.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

    General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


    Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 23/11/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan