Rasa takut akan penyakit sangatlah wajar. Namun, bagaimana bila rasa takut itu begitu kuat hingga berubah menjadi kepanikan? Inilah pengalaman saya menghadapi GERD yang diperparah oleh kecemasan (GERD anxiety) selama beberapa tahun ini.
Sejak mengalami GERD anxiety, ketakutan saya akan datangnya penyakit serius semakin menjadi-jadi.
Kecemasan ibarat pedang bermata dua. Perasaan cemas sebenarnya membuat saya lebih sadar akan pentingnya kesehatan. Di sisi lain, rasa cemas justru memicu gejala GERD dan gejala-gejala lain yang tak kalah mengganggu.
Berawal dari batuk tanpa sebab yang jelas
Selama Januari hingga Maret 2020 lalu, saya mulai mengalami batuk berdahak yang membandel.
Batuk berdahak saya lantas berubah menjadi batuk kering. Ini biasanya menjadi tanda bahwa batuk akan sembuh, tapi anehnya, kondisi saya tak juga membaik.
Pikiran saya langsung tertuju pada beberapa penyakit paru-paru yang parah. Apakah saya mengidap bronkitis?
Saya sebenarnya ingin pergi berobat ke dokter. Namun, saya sangat takut didiagnosis dengan penyakit yang berat. Tak cukup berani menghadapi bila ketakutan-ketakutan yang saya pikirkan selama ini ternyata benar.
Saya akhirnya mencari sendiri informasi terkait keluhan yang saya alami di internet. Namun, tentu saja hasilnya mengarah pada berbagai penyakit parah.
Alih-alih memberikan jawaban yang menenangkan, artikel-artikel di internet malah membuat saya semakin cemas.
Saya pun memutuskan berkonsultasi kepada dokter secara online.
Selain meresepkan obat batuk, dokter mencurigai adanya penyakit refluks asam lambung (GERD). Akan tetapi, saya tidak yakin karena sesi konsultasi yang terlalu singkat.
Saya akhirnya membiarkan kondisi ini berlangsung selama tiga minggu dengan sedikit keyakinan bahwa saya mengalami bronkitis ringan.
Saya bahkan membeli obat-obatan generik untuk penyakit ini. Meski begitu, tetap saja tidak ada hasilnya. Batuk kering saya terus berlanjut.
Bolak-balik ke dokter mencari jawaban
Memasuki Maret 2020, batuk saya semakin parah dan napas saya terasa kian sesak. Bahkan setelah beberapa kali berobat ke dokter THT, kondisi saya tidak kunjung membaik.
Saya akhirnya memberanikan diri untuk menjalani pemeriksaan paru-paru.
Dokter tidak menemukan masalah pada paru-paru ataupun fungsi jantung saya, tetapi lagi-lagi dokter mencurigai adanya GERD.
Dokter bertanya apakah saya punya riwayat penyakit lambung. Saya jawab tidak.
Seusai pemeriksaan medis yang pertama, saya masih terus mengalami gejala. Pada saat yang sama, saya juga masih berupaya mencari opini kedua dari sejumlah dokter.
Setelah perjalanan panjang mencari tahu kondisi yang saya alami, barulah saya paham bahwa saya mengidap penyakit GERD anxiety.
Proses pencarian dokter hingga memperoleh diagnosis memang rumit dan panjang, tetapi saya bersyukur karena merasa mendapatkan sebuah “pencerahan”.
Ternyata, saya tidak takut ke dokter bila dokternya tepat. Kata “tepat” yang saya maksud adalah dokter tersebut menjelaskan hasil diagnosis tanpa membuat saya lebih panik.
Jika dokter tersebut ramah, pengertian, dan berusaha meyakinkan saya bahwa semuanya baik-baik saja, saya pun akan baik-baik saja.
Sebaliknya, saya malah semakin cemas bila dokter langsung begitu saja mencurigai bahwa kondisi saya berkaitan dengan suatu penyakit parah.
Saya yang pada dasarnya mudah cemas dan terus mengkhawatirkan akan terkena penyakit serius justru akan semakin cemas lagi.
GERD dan kecemasan bagai lingkaran setan
Dua hal yang sangat identik dengan GERD yaitu stres dan kecemasan. Ibarat lingkaran setan, GERD dan kecemasan saling memperparah satu sama lain. Ini jugalah yang saya alami selama beberapa tahun terakhir.
Ketika dokter bertanya apakah saya stres dengan pekerjaan, saya menjawab ya. Akan tetapi, saya yakin bahwa stres karena pekerjaan bukan pemicu GERD saya.
Rasa sedih dan marah tidak berpengaruh banyak, tapi lain halnya dengan kecemasan dan rasa panik.
Saya panik ketika tubuh saya menunjukkan gejala tertentu, entah itu ruam kulit, batuk, atau lainnya.
Setiap kali saya mengalami panik dan merasa cemas, penyakit asam lambung saya akan kambuh. Saat GERD saya kambuh, saya pun semakin menjadi cemas. Begitu seterusnya siklus GERD dan kecemasan ini berputar.
Makanan pemicu GERD sebetulnya juga bisa membuat saya kambuh, tapi tidak sampai menyebabkan sesak napas atau nyeri di ulu hati (heartburn) yang parah.
GERD saya biasanya muncul bila saya mengalami kondisi fisik atau gejala yang saya tidak ketahui penyebabnya. Ditambah lagi, pandemi membuat saya harus bekerja penuh dari rumah.
Selama ini, pikiran buruk saya terkendali dengan rutinitas pekerjaan di kantor. Namun, rutinitas bekerja di rumah lebih monoton sehingga mengontrol pikiran buruk terasa jauh lebih sulit.
Sejak bekerja penuh dari rumah, saya sulit berpikir jernih dan dikuasai oleh kekhawatiran akan terkena penyakit. Ini pula yang membuat saya jadi lebih sering pergi ke dokter, padahal saya tidak mendapatkan diagnosis atau hasil apa pun.
Saat betul-betul cemas, saya bahkan menghabiskan jutaan rupiah untuk membeli produk-produk herbal.
Produk herbal yang pernah saya beli di antaranya bubuk DNA salmon, suplemen untuk jantung dan pencernaan, serta jus bawang putih penurun kolesterol.
Satu lagi yang tidak bisa dipungkiri, kecemasan saya juga berpengaruh pada hubungan dengan orang-orang terdekat, khususnya ibu dan pasangan.
Saya takut sikap saya berlebihan dan membuat mereka lelah, tapi saya kesulitan untuk mengontrol kecemasan ini.
Perjalanan menjalani bermacam-macam pengobatan
Setelah saya didiagnosis dengan GERD, dokter memberikan saya resep obat GERD dan menjelaskan pantangannya.
Saya tidak hanya harus pilah-pilih makanan, tapi juga mengelola stres, mengatur porsi makan, hingga tidur menghadap arah tertentu.
Dokter juga menjelaskan bahwa kerongkongan saya bertekstur akibat asam lambung yang sering naik. Untungnya, kondisi ini bisa pulih meskipun butuh waktu lama.
Saya juga diobati dengan obat khusus yang dioleskan langsung ke kerongkongan saya.
Kabar baiknya, gejala GERD anxiety saya sudah tidak kambuh selama beberapa bulan terakhir.
Rasa cemas saya akan penyakit memang masih ada, tapi kini saya berupaya mengontrolnya dengan beberapa cara.
Langkah pertama yang saya lakukan yaitu berusaha memahami dari mana datangnya kecemasan tersebut.
Setelah berpikir lama dan curhat kepada orang tua, saya pun paham bahwa perasaan ini sebenarnya datang dari rasa takut akan kematian.
Saya sempat berkonsultasi kepada psikolog dan dianjurkan untuk mencoba journaling.
Cara ini berhasil mengurangi rasa cemas setelah saya melakukannya selama beberapa minggu. Hanya saja, saya belum sempat melakukannya lagi karena pekerjaan.
Setiap kali membaca jurnal tersebut kembali, saya merasa tenang karena saat ini saya baik-baik saja.
Rasa cemas akan hadirnya penyakit masih ada, tetapi saya juga tidak akan menyerah dalam mencari cara untuk mengendalikannya.
Saya bertekad menggunakannya untuk lebih mengenal diri sebab dengan cara itulah saya bisa mengontrol ketakutan.
Semakin saya mampu mengontrol rasa takut, semakin saya memahami caranya menjaga kesehatan jasmani dan rohani diri saya.
Inno (25) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.
[embed-health-tool-bmr]