backup og meta

Japanese Encephalitis, Penyakit Berbahaya Akibat Nyamuk di Indonesia

Japanese Encephalitis, Penyakit Berbahaya Akibat Nyamuk di Indonesia

Gigitan nyamuk tak hanya meninggalkan bekas bentol, namun juga bisa membawa risiko penyakit infeksi seperti malaria dan chikungunya. Nah, salah satu penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk adalah Japanese encephalitis. Meski masih tergolong langka, ternyata penyakit radang otak ini cukup banyak ditemukan di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Mari kenali lebih jauh tentang penyakit Japanese encephalitis di artikel ini.

Apa itu Japanese encephalitis?

Japanese encephalitis adalah penyakit radang otak akibat virus, yang paling banyak terjadi di kawasan Asia. Virus Japanese encephalitis adalah virus golongan flavivirus.

Penularan virus tersebut sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk Culex, tepatnya jenis Culex tritaeniorhynchus. Selain nyamuk, virus juga bisa ditularkan melalui kontak dengan babi dan burung rawa.

Sebagian besar orang yang terinfeksi virus penyakit ini hanya akan mengalami gejala ringan, bahkan tidak menunjukkan gejala sama sekali. Namun, penyakit ini berisiko menimbulkan gejala parah yang berhubungan dengan radang otak alias encephalitis.

Meski terdapat kata Japanese pada namanya, penyakit ini tidak serta merta hanya terjadi di Jepang saja. Memang, penyakit ini pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1871 dengan istilah summer encephalitis.

Faktanya, kasus penyakit ini telah ditemukan di 26 negara, termasuk Indonesia. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, penyakit Japanese encephalitis sudah mencapai 326 kasus kejadian di negara ini, dengan kasus tertinggi di Bali yaitu 226.

Apakah penyakit ini berbahaya?

Japanese encephalitis adalah penyakit yang berisiko menyebabkan kematian. Kasus kematian akibat penyakit ini mencapai angka 20-30%. Pasien yang mengalami perbaikan kondisi pun akan menderita gejala gangguan saraf sisa, dan kondisi ini ditemukan pada 30-50% kasus.

Sayangnya, informasi mengenai penyakit ini di dalam negeri kita sendiri sangat terbatas. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang bahaya penyakit ini.

Bagaimana virus Japanese encephalitis menulari manusia?

Manusia bisa tertular virus Japanese encephalitis bila tergigit oleh nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang terinfeksi virus.

Biasanya, nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi. Di negara-negara tropis seperti Asia Tenggara, penyakit ini lebih sering terjadi selama musim penghujan, terutama saat masa-masa sebelum panen di area persawahan.

Apa saja gejala Japanese encephalitis?

Sebagian besar penderita hanya menunjukkan gejala yang ringan atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Menurut CDC, hanya sekitar 1% pasien yang mengalami gejala-gejala penyakit ini.

Gejala Japanese encephalitis biasanya muncul 5-15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi virus. Berikut adalah gejala-gejala awalnya:

  • Demam
  • Sakit kepala
  • Tubuh menggigil
  • Mual dan muntah

Seiring berjalannya waktu, pasien mungkin akan menunjukkan gejala-gejala berat yang berkaitan dengan peradangan pada otak, seperti:

  • Tubuh melemah
  • Disorientasi (linglung)
  • Rasa kaku pada bagian tengkuk
  • Kejang
  • Lumpuh di beberapa bagian tubuh
  • Penurunan kesadaran, bahkan koma

Komplikasi terberat pada kasus Japanese encephalitis adalah meninggal dunia (terjadi pada 20-30% kasus penyakit ini). Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan penyakit yang tepat agar pasien terhindar dari komplikasi.

Pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan?

Diagnosis penyakit didapat dari gejala-gejala yang penderita alami, pemeriksaan fisik yang dokter lakukan, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan darah dan pemeriksaan cairan sumsum.

Tindakan pengambilan cairan tulang sumsum adalah tindakan yang tidak sederhana, harus dilakukan di ruang perawatan, tidak bisa dilakukan di laboratorium klinik biasa.

Bila Anda terserang infeksi, sistem imun tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes-tes laboratorium ini berfungsi mendeteksi adanya antibodi (IgM) yang melawan virus Japanese encephalitis. IgM dapat dideteksi dalam cairan sumsum 4 hari setelah gejala muncul, dan dapat ditemukan dalam darah 7 hari setelah gejala muncul.

Apakah penyakit Japanese encephalitis bisa diobati?

Hingga saat ini, belum ada pengobatan spesifik untuk penyakit Japanese encephalitis. Pengobatan yang diberikan adalah berdasarkan gejala yang diderita pasien, seperti istirahat, pemenuhan kebutuhan cairan harian, pemberian obat pengurang demam, dan pemberian obat pengurang nyeri.

Selain itu, pasien perlu dirawat inap supaya dapat diawasi dengan ketat oleh dokter dan tenaga medis, sehingga penanganan yang tepat bisa segera diberikan bila timbul gejala gangguan saraf atau komplikasi lainnya.

Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah Japanese encephalitis?

Beberapa tindakan pencegahan yang bisa dilakukan antara lain :

1. Vaksinasi

Pencegahan utama yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan vaksin Japanese encephalitis. Vaksin ini dapat diberikan mulai usia 2 bulan hingga dewasa.

Vaksin ini perlu diberikan 2 kali, dengan jarak antar pemberian vaksin 28 hari. Vaksin booster atau dosis vaksin ketiga bisa diberikan pada orang dewasa 17 tahun ke atas, minimal setahun setelah 2 dosis vaksin pertama.

Apabila Anda akan bepergian ke negara atau daerah dengan kasus penyakit yang tinggi, Anda harus menerima dosis vaksin kedua 1 minggu sebelum pergi.

2. Mencegah gigitan nyamuk

Selain dengan mendapatkan vaksinasi, Anda juga bisa melakukan langkah-langkah pencegahan digigit nyamuk, seperti:

  • Menggunakan antinyamuk berupa losion atau spray yang aman bagi kulit
  • Menggunakan pakaian yang menutupi tubuh bila beraktivitas di luar rumah
  • Menggunakan kelambu saat tidur
  • Sebisa mungkin menghindari kegiatan di malam hari di area pertanian, ladang, atau persawahan di mana banyak terdapat nyamuk Culex.

[embed-health-tool-vaccination-tool]

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Japanese Encephalitis – CDC. (2019). Retrieved December 2, 2020, from https://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/index.html 

Japanese Encephalitis: Vaccine – CDC. (2019). Retrieved December 2, 2020, from https://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/vaccine/index.html 

Japanese Encephalitis: Symptoms – CDC. (2019). Retrieved December 2, 2020, from https://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/symptoms/index.html 

Japanese Encephalitis: Transmission – CDC. (2019). Retrieved December 2, 2020, from https://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/transmission/index.html 

Japanese Encephalitis Virus Vaccine (Intramuscular Route) – Mayo Clinic. (2020). Retrieved December 2, 2020, from https://www.mayoclinic.org/drugs-supplements/japanese-encephalitis-virus-vaccine-intramuscular-route/description/drg-20072758 

Japanese encephalitis – WHO. (2019). Retrieved December 2, 2020, from https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/japanese-encephalitis 

Japanese Encephalitis Berkorelasi dengan Banyaknya Area Persawahan, Peternakan Babi dan Burung Rawa  – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Retrieved December 2, 2020, from https://www.kemkes.go.id/article/view/17040400003/japanese-encephalitis-disease-correlates-with-numbers-of-rice-field-area-pig-farms-and-wading-birds.html 

Japanese Encephalitis – Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2018). Retrieved December 2, 2020, from https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/japanese-encephalitis

Versi Terbaru

24/11/2021

Ditulis oleh dr. Anastasia Shinta

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

Diperbarui oleh: Nanda Saputri


Artikel Terkait

Informasi Lengkap tentang Anatomi, Fungsi, Penyakit pada Otak

3 Obat Chikungunya yang Ampuh Meredakan Gejalanya


Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh dr. Anastasia Shinta · Tanggal diperbarui 24/11/2021

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan