Boraks adalah zat kimia yang terdapat dalam produk-produk rumah tangga, seperti detergen, plastik, perabot kayu, dan kosmetik. Meski memiliki banyak kegunaan, penyalahgunaan boraks bisa sangat berbahaya bagi kesehatan, apalagi bila digunakan untuk makanan.
Apa fungsi boraks?
Boraks memiliki nama lain natrium tetraborat dan sodium tetraborat. Zat pengawet ini juga dikenal di masyarakat dengan nama bleng.
Boraks berupa bubuk putih yang terdiri dari kristal-kristal tak berwarna dan mudah larut dalam air.
Bahan kimia ini mengandung senyawa boron yang diperoleh secara alami dari hasil proses kristalisasi penguapan tambang garam atau kawah lumpur.
Selain terbentuk secara alami, bahan ini juga dapat dibuat dari berbagai kumpulan senyawa boron.
Boraks sering digunakan untuk membuat campuran:
- gelas,
- glasir enamel gigi buatan,
- plastik,
- antiseptik,
- pembasmi serangga,
- salep kulit, dan
- pengawet kayu.
Zat kimia ini juga dapat digunakan untuk memisahkan emas dari bijihnya untuk mengganti penggunaan raksa.
Boraks juga dapat digunakan sebagai pengemulsi (zat pencampur) dan pengawet untuk produk perawatan tubuh, seperti pelembap, krim, sampo, sabun mandi, scrub, dan garam mandi.
Larangan penggunaan boraks pada makanan
Zat kimia ini sebenarnya pernah digunakan sejak tahun 1870 sebagai pengawet makanan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya ragi (jamur).
Namun, penggunaan boraks pada zaman tersebut terbilang masih dalam batas yang aman.
Penggunaan boraks sebagai zat tambahan atau zat aditif dalam makanan sudah dilarang dalam undang-undang di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Bahan ini menyebabkan bahaya kesehatan jika digunakan secara ilegal dengan dosis yang berlebihan.
Sayangnya, masih saja banyak oknum pedagang yang menyalahgunakan boraks pada makanan sebagai pengawet, pengenyal, dan menambah kerenyahan makanan.
Beberapa contoh makanan yang mengandung boraks, di antaranya bakso, mi, gorengan, kerupuk, ketupat, lontong, dan cimol.
Ringkasan
Bahaya boraks dalam makanan
Ketika tertelan dalam dosis tinggi, bahan ini dapat meracuni semua sel-sel tubuh dan menyebabkan kerusakan organ.
Mengonsumsi makanan tinggi boraks bisa menyebabkan serangkaian gejala, di antaranya:
- sakit kepala,
- demam,
- tidak enak badan (malaise),
- muntah warna biru kehijauan,
- nyeri hebat pada perut bagian atas,
- diare,
- kejang,
- gelisah,
- urine berkurang atau tidak ada,
- kedutan pada otot,
- lemah, lesu, dan tak bertenaga, serta
- perdarahan di usus atau lambung disertai dengan muntah darah.
Ginjal dan hati adalah dua organ yang mengalami kerusakan yang paling parah akibat mengonsumsi makanan yang mengandung boraks.
Berikut bahaya yang timbul akibat mengonsumsi boraks.
1. Kerusakan hati
Efek jangka panjang yang akan dialami manusia adalah kerusakan hati.
Hati sebenarnya membantu membuang dan memecah bahan kimia yang dibawa dari aliran darah. Pemecahan racun bahan ini bisa menciptakan senyawa baru yang bisa merusak hati.
Meskipun sel-sel liver terus berganti, paparan dalam jumlah besar dan terus-menerus tentu bisa menyebabkan kerusakan hati yang serius, bahkan tidak dapat disembuhkan.
2. Gagal ginjal akut
Salah satu tanda keracunan bahan ini adalah jumlah urine berkurang atau tidak ada sama sekali. Ini menunjukkan bila Anda mengalami gagal ginjal akut.
Kondisi ini terjadi karena bahan ini bisa langsung meracuni sel-sel dan jaringan ginjal dan mengganggu fungsinya.
Akibatnya, ginjal tidak bisa menyaring limbah pada darah sehingga racun di tubuh pun menumpuk. Hal inilah yang membuat urine tidak bisa keluar dengan lancar.
3. Masalah kesuburan
Boraks bisa menimbulkan gangguan kesuburan pria dan wanita.
Mengutip studi terbitan Archives of Toxicology (2020), bahan ini mengganggu pengeluaran sperma saat ejakulasi dan mengurangi kadar sperma.
Bahan kimia ini pun bisa mengurangi pelepasan sel telur yang matang dari ovarium.
Meski studi ini baru diteliti pada tikus dan belum ditemukan kesimpulan pasti pada manusia, bukan tidak mungkin bahaya ini muncul.
4. Gangguan kehamilan
Mengonsumsi makanan yang mengandung boraks meningkatkan risiko masalah kehamilan.
Paparan zat kimia ini dapat masuk ke dalam plasenta, seperti cacat tulang pada bayi dan risiko berat badan janin yang turun.
Meski begitu, studi masih dilakukan pada tikus dan hingga saat ini belum ada penjelasan secara pastinya.
Dalam kasus yang parah, zat kimia ini bahkan dapat menyebabkan kematian.