Skizofrenia bisa dikatakan telah jadi bagian dari hidup saya. Setidaknya, sudah lebih dari 35 tahun yang lalu “dia” datang tanpa diduga-duga.
Selama mengalami skizofrenia, saya mengalami banyak pasang surut kehidupan. Dalam perjalanan ini, dukungan dari keluarga, teman, dan terutama pasangan hidup membuat saya tetap kuat.
Awal mula terdiagnosis skizofrenia
Hal ini bermula pada tahun 1985. Saat itu, saya sedang berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Rawamangun, Jakarta.
Saya yang kala itu masih berumur 20 tahunan suka bepergian di kala kuliah. Pada satu waktu, tiba-tiba saya merasakan pikiran begitu kacau setibanya di rumah.
Halusinasi dan delusi memengaruhi pikiran saya kala itu. Saya pun jadi sering marah-marah dan memilih untuk tidak berinteraksi dengan orang sekitar.
Gejala-gejala itu kian parah hingga keesokannya saya tidak bisa tidur seharian. Kurang lebih selama seminggu saya tidak bisa tidur dan hanya mengurung diri di kamar.
Bisa dibilang itu adalah salah satu momen terberat dalam hidup saya…
Akhirnya, kedua orangtua menarik saya keluar kamar dan pergi untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Saya kurang lebih menjalani rawat inap selama sebulan.
Setelah perawatan, saya dirujuk untuk berkonsultasi dengan psikiater. Ketika itu, saya hanya mendapatkan diagnosis berupa psikosis atau pascapsikosa.
Saya masih melakukan kontrol sebulan sekali untuk menangani kondisi ini. Hingga pada suatu waktu, dokter menceritakan kalau saya mengidap skizofrenia.
Dokter baru memberi tahu dengan alasan menunggu kondisi saya dan keluarga cukup stabil.
Dukungan keluarga ikut menguatkan
Setelah didiagnosis skizofrenia oleh dokter, kedua orangtua tetap memberikan dukungan untuk mengobati kondisi yang saya alami ini.
Di samping terapi medis, saya mencoba berbagai pengobatan alternatif, mulai dari urut, minum jamu, hingga didoakan pemuka agama keluarga.
Namun, malah saya hanya ketawa, melotot, dan bisa dikatakan obat itu tidak ada pengaruhnya.
Keluarga pun mulai berpikir dua kali kalau pengobatan alternatif ini rata-rata hanya membuang uang, sampai pada akhirnya kembali lagi ke pengobatan medis.
Dukungan dari keluarga bukan hanya dalam bentuk pengobatan, melainkan juga dorongan untuk bisa kembali ke kehidupan sosial yang normal.
Beberapa kali kakak dan adik mengajak saya untuk mengikuti kegiatan band hingga rohani kemahasiswaan untuk dikenalkan ke teman-teman mereka.
Ayah dan ibu saya juga memberi dorongan agar saya kembali bersosialisasi, misalnya dengan mengajak berkunjung ke rumah saudara.
Meskipun awalnya masih merasa minder, lama-kelamaan saya mulai menerima kondisi ini.
Berkat semua hal tersebut, saya pun akhirnya mampu lulus kuliah walau harus cuti untuk menjalani perawatan skizofrenia.
Perjalanan karir yang terhambat
Saya lanjut mencari pekerjaan selepas selesai kuliah. Sayangnya, lelah bekerja yang membuat lupa minum obat seringkali membuat skizofrenia yang saya alami kambuh.
Satu, dua, sampai tiga hari tidak minum obat rasanya aman-aman saja dan masih bisa bekerja.
Baru setelah sebulan lebih, gejala skizofrenia yang pernah saya alami, seperti kepala dan leher tegang serta pikiran kacau menghampiri kembali.
Bekerja, kambuh, pemulihan, dan mulai dari nol lagi…
Pola yang terjadi berulang-ulang itu membuat saya kurang betah bekerja. Paling lama hanya sekitar 2-3 tahun saya bertahan di satu perusahaan yang sama.
Sisanya berpindah-pindah tempat sehingga pada akhirnya tidak punya jenjang karir, tidak sama seperti teman-teman lain yang sudah berpangkat lebih tinggi.
Kambuhnya skizofrenia juga membuat performa kerja menurun. Saya jadi sering terlambat dan bahkan tidak masuk bekerja.
Hingga pada suatu ketika, manajer saya menegur, “Kamu boleh mencari tempat yang lebih baik,” seakan mengusir secara halus.
Pengalaman kurang baik di dunia kerja inilah yang membuat saya pada akhirnya banting setir mengelola toko kelontong. Usaha inilah yang nantinya saya kelola bersama istri saya.
Menemukan pasangan hidup
Sejak tahun 2004, gejala tak pernah kambuh lagi. Ini bisa terjadi karena saya telah menerima kondisi yang saya alami dan terus minum obat skizofrenia yang dokter resepkan.
Saya pun ikut bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) untuk bertemu dengan teman-teman yang senasib.
Perlahan saya mulai kembali menata hidup saya hingga pada suatu waktu saya memberanikan diri untuk mulai mencari pasangan hidup.
Pertemuan ini dimulai saat saya mendaftar ajang pencarian jodoh lewat siaran radio. Nantinya, saya akan dikirim nomor-nomor HP wanita.
Ketika itu komunikasi hanya melalui SMS untuk kemudian membuat janji untuk kopi darat – istilah untuk pertemuan tatap muka setelah berkenalan lewat radio atau internet.
Pertama kali bertemu dengan wanita yang kelak diperistri, saya belum berani mengungkapkan tentang skizofrenia yang saya alami.
Hingga pada suatu waktu saya mengirimkan pesan bahwa saya mengidap penyakit yang bikin banyak wanita kabur saat mendengarnya.
Dia yang belum paham skizofrenia tentu syok dan menyangkannya. Ia awalnya mengira kondisi ini sebagai penyakit kelamin.
Lama-kelamaan, istri saya mengenal lebih jauh skizofrenia sebagai gangguan mental dan malah menerima dan bersimpati dengan kondisi saya.
Kami berdua pun mulai aktif untuk mengikuti seminar tentang skizofrenia dan kesehatan jiwa. Bahkan, kami juga mulai aktif menjadi relawan di KPSI.
Akhirnya kami menikah
Hubungan kami berdua terbilang masih belum stabil pada saat itu. Terkadang saya menghilang dan baru muncul beberapa bulan untuk berkomunikasi dengannya.
Meski begitu, keluarga kami berdua sudah tahu kegiatan yang berkecimpung dalam kesehatan jiwa dan ikut mendukung langkah kami.
Hingga pada tahun 2013, saya akhirnya menikahi istri saya dan acaranya berlangsung secara sederhana bertempat di sekretariat pusat KPSI.
Tak heran apabila saya menganggap KPSI sebagai keluarga dan bagian dari hidup saya ini.
Masa-masa awal pernikahan bisa dibilang sulit karena kami berjalan tidak beriringan. Istri sudah jauh melangkah, sedangkan saya baru sedikit saja.
Beruntungnya, istri merupakan sosok penyabar dan mengerti kondisi saya bahkan hingga memasuki usia pernikahan ke-9 pada tahun ini.
Kami berdua masih aktif dalam kegiatan sosial bersama KPSI. Selain itu, saya dan istri mengelola toko kelontong yang kami namai “Warung Damai”.
Pemilihan nama “Damai” sendiri adalah gabungan dari nama istri dan saya sendiri, Dame Sibarani dan Yohanes Iman.
Orang dengan skizofrenia bisa hidup normal
Saya rutin berkegiatan di KPSI, setidaknya lima hari dalam seminggu untuk memberikan dukungan terhadap orang dengan skizofrenia (ODS).
ODS tidak perlu takut untuk menerima penyakit skizofrenia. Tidak perlu juga menolak bahwa dirinya sedang sakit dan membutuhkan dukungan orang lain.
Hindari stigma bahwa gangguan mental hanya bisa disembuhkan pengobatan alternatif. Selain itu, jangan pernah ragukan pengobatan medis agar cepat kembali pulih.
Pada dasarnya, ODS tetap bisa beraktivitas normal seperti biasa. Mereka bisa bersosialisasi, bergaul, dan berkegiatan asalkan berada di lingkungan yang mendukung.
Masyarakat harus bersikap biasa dan tidak membeda-bedakan ODS dengan orang normal.
Mereka tetap bisa beraktivitas normal dan kembali ke masyarakat bila kondisinya memang sudah benar-benar puluh dan stabil.
Yohanes Iman (57) bercerita untuk Hello Sehat