Pernahkah Anda merasa begitu tergila-gila pada seseorang hingga pikiran tentangnya mendominasi hari-hari Anda? Jika ya, Anda mungkin sedang mengalami limerence. Cari tahu apa itu limerence, penyebab, hingga cara mengatasinya di sini!
Apa itu limerence?
Limerence adalah kondisi psikologis ketika seseorang memiliki obsesi emosional atau kecintaan yang intens terhadap orang lain.
Istilah “limerence” pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Dorothy Tennov pada 1979, yang artinya adalah kondisi emosional yang sangat intens dan obsesif terhadap seseorang.
Emosi ini disertai keinginan kuat untuk mendapatkan balasan cinta, sering kali diiringi dengan fantasi berlebihan tentang hubungan dengan sosok yang dikagumi (limerent object).
Kondisi ini bukan sekadar jatuh cinta, tetapi bisa menyebabkan gangguan fokus, kecemasan, dan perilaku irasional demi mendapatkan perhatian dari orang tersebut.
Menariknya, meski kerap dianggap sebagai bentuk cinta yang intens, limerence berbeda dari cinta sejati. Perbedaan cinta dan obsesi dalam konteks ini terletak pada kurangnya keseimbangan dalam hubungan.
Cinta yang sehat melibatkan saling pengertian dan keinginan untuk memberi, sedangkan limerence lebih berpusat pada pemenuhan emosi diri sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan emosional orang lain.
Tahapan limerence dan tanda-tandanya

Limerence tidak terjadi dalam semalam, melainkan berkembang melalui tahapan-tahapan tertentu yang kerap tidak disadari. Berikut tahapannya, dilansir dari Cleveland Clinic.
1. Tahap 1: infatuasi
Tahapan ini adalah awal ketika Anda mulai merasakan koneksi dengan seseorang, baik itu nyata atau hanya Anda yang merasakannya.
Perasaan ini bisa muncul seperti “jatuh cinta pada pandangan pertama” atau berkembang perlahan karena sering bertemu atau berinteraksi.
Pada tahap ini, pikiran Anda sering dipenuhi oleh orang tersebut, bahkan saat sedang melakukan aktivitas lain seperti bekerja atau belajar.
Setiap interaksi kecil terasa sangat berarti, sehingga Anda cenderung menganalisisnya berlebihan demi mencari tanda bahwa perasaan Anda mungkin dibalas.
2. Tahap 2: Kristalisasi
Pada tahap kristalisasi, Anda mulai yakin bahwa orang tersebut adalah satu-satunya yang ideal, dan semua keraguan tentang kesempurnaannya menghilang.
Pikiran Anda terus dipenuhi olehnya hingga menghabiskan banyak waktu dan energi serta menimbulkan gejala fisik seperti jantung berdebar, sulit tidur, dan kehilangan nafsu makan.
Perilaku Anda pun mulai berubah, seperti sengaja melewati tempat yang sering ia kunjungi atau menunggu pesan berjam-jam, sampai mengabaikan aspek penting lain dalam hidup.
Pada kasus yang lebih parah, obsesi ini bisa memicu tindakan yang mengganggu, seperti menguntit. Tanda-tanda ini mungkin mirip dengan suatu kondisi yang disebut obssesive love disorder.
3. Tahap 3: Deteriorasi
Tahapan ini terjadi saat Anda mulai menyadari bahwa harapan dan fantasi Anda terhadap objek limerence Anda tidak sesuai dengan kenyataan.
Mungkin orang tersebut sudah memiliki pasangan, atau sikapnya tidak seperti yang Anda bayangkan. Pada saat yang sama, Anda mulai melihat sisi lain dari dirinya yang sebelumnya tidak terlihat.
Pada fase ini, Anda akan merasakan berbagai emosi yang campur aduk, seperti lega karena tidak lagi terbebani perasaan yang melelahkan, tetapi juga kecewa, sedih, atau marah karena kenyataan tidak sesuai harapan.
Anda mungkin merasa lebih berdaya karena mulai mengenal diri sendiri lagi, tapi juga bisa merasa bersalah atau marah karena merasa ditolak atau diperlakukan tidak adil.
Penyebab limerence

Berikut adalah beberapa faktor psikologis yang dapat memicu limerence.
1. Ketidakseimbangan neurotransmiter
Neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin adalah zat kimia di otak yang berperan dalam mengatur suasana hati.
Ketika tubuh kekurangan keduanya, perhatian dari orang yang menjadi objek limerence bisa memicu suatu lonjakan mendadak.
Lonjakan ini menciptakan perasaan yang menyenangkan, seolah-olah tubuh diberi hadiah hanya karena interaksi kecil dengan orang tersebut.
Efek ini membuat limerence terasa seperti kecanduan. Anda bisa terus mencari sensasi serupa dari perhatian yang diberikan meski sedikit.
Ketika perhatian itu hilang, otak bisa bereaksi dengan gejala berupa cemas, sedih, bahkan gejala fisik seperti kelelahan atau mual.
2. Pola attachment yang tidak aman
Salah satu faktor psikologis yang cukup besar dalam limerence adalah attachment style atau keterikatan emosional yang berkembang sejak masa kanak-kanak.
Jika memiliki pola attachment yang menghindar (avoidant) atau cemas (anxious), kemungkinan besar Anda kesulitan membentuk ikatan yang sehat.
Kondisi ini juga bisa dikaitkan dengan attachment disorder, yaitu gangguan dalam membentuk kedekatan emosional yang sehat.
Anda mungkin merasa cemas saat menjalin hubungan dekat atau justru terlalu menggantungkan diri secara emosional pada seseorang yang belum tentu memiliki keterikatan yang sama.
3. Trauma masa lalu
Pengalaman traumatis, terutama yang tidak terselesaikan, juga dapat menjadi penyebab limerence.
Orang yang pernah mengalami trauma mungkin merasa tidak nyaman berada sendiri atau menghadapi pikiran-pikiran yang menyakitkan.
Dalam kondisi seperti itu, fokus berlebihan pada orang lain bisa menjadi cara untuk menghindari luka emosional yang lebih dalam.
Dengan memusatkan perhatian dan emosi pada limerent object, Anda merasa punya “alasan” untuk tidak memproses trauma tersebut secara langsung.
Sayangnya, ini hanya memperpanjang proses penyembuhan yang sebenarnya dibutuhkan.
4. Harga diri yang rendah
Limerence seringkali terkait dengan harga diri yang rendah, khususnya ketika Anda merasa tidak layak dicintai atau kurang percaya diri.
Hubungan satu arah seperti limerence terasa lebih aman karena Anda tahu secara tidak sadar hubungan itu tidak akan benar-benar terjadi.
Meskipun terdengar kontradiktif, rasa tidak aman ini justru membuat seseorang tenggelam dalam hubungan yang mustahil.
Hal ini terjadi karena dalam limerence, Anda tidak perlu membuka diri sepenuhnya atau menghadapi risiko penolakan secara nyata sehingga semuanya terasa lebih bisa dikendalikan.
5. Pengaruh media sosial dan teknologi
Di era digital, teknologi bisa memperkuat dan memperparah limerence. Media sosial memungkinkan Anda untuk “mengamati” seseorang tanpa harus benar-benar mengenalnya.
Anda bisa memantau foto, aktivitas, lokasi, hingga siapa saja teman dekat objek limerence Anda.
Kondisi ini membuat seseorang lebih mudah merasa dekat secara ilusi, padahal secara nyata tidak ada interaksi yang bermakna.
Cara mengatasi limerence
Limerence bisa membuat Anda merasa seperti kehilangan kendali atas perasaan. Namun, sebenarnya Anda tetap memiliki kekuatan untuk mengambil langkah keluar dari kondisi ini dan kembali fokus pada diri sendiri.
Berikut beberapa cara yang bisa membantu Anda mengatasi limerence.
1. Membangun koneksi yang sehat dengan diri sendiri
Limerence sering terjadi saat seseorang tidak memiliki hubungan yang kuat dan aman dengan dirinya sendiri.
Artinya, Anda mungkin terlalu bergantung pada orang lain untuk merasa dihargai atau dicintai. Jadi, mulailah dengan mengenali bahwa Anda berharga, bahkan tanpa validasi dari orang lain.
Latihan self-love seperti menulis jurnal, melakukan hal-hal yang Anda sukai, atau berbicara dengan diri sendiri secara positif bisa membantu memperkuat ikatan emosional dengan diri Anda sendiri.
2. Menghentikan kebiasaan mengecek media sosial
Salah satu perilaku yang sering memperparah limerence adalah terus memantau aktivitas orang tersebut di media sosial.
Hal ini membuat Anda merasa semakin terhubung, padahal sebenarnya hanya memperpanjang keterikatan yang tidak sehat.
Cobalah untuk meng-unfollow, mute, atau bahkan log out untuk sementara. Langkah kecil ini sangat membantu untuk menjernihkan pikiran dan mengurangi obsesi.
3. Berhenti melakukan pencarian tentang mereka
Selain media sosial, Anda mungkin juga terbiasa mencari informasi tentang orang tersebut di internet. Sebagai contoh, nama lengkapnya, latar belakang, bahkan hubungan terdahulunya.
Meskipun terlihat sepele, kebiasaan ini bisa memperkuat khayalan dan membuat Anda sulit move on. Jadi, mulailah dengan menyadari kapan dorongan ini muncul.
Setelah itu, alihkan fokus Anda pada hal lain yang lebih positif, misalnya menonton film lucu, jalan-jalan ringan, atau menelepon teman.
4. Berkonsultasi ke psikolog
Konsultasi dengan psikolog memiliki beberapa kegunaan, salah satunya membantu Anda memahami kenapa Anda terobsesi pada seseorang.
Psikolog dapat memberikan beberapa opsi terapi, contohnya terapi perilaku kognitif untuk mengenali pola pikir yang tidak sehat dan mengubahnya.
Ada pula exposure and response prevention (ERP), yakni terapi yang akan membantu Anda belajar untuk tidak langsung merespons dengan tindakan kompulsif, misalnya stalking atau menghubungi mereka.
Limerence merupakan fenomena psikologis yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik orang-orang yang mengalaminya.
Jika Anda merasa kesulitan untuk mengatasinya sendiri, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional. Bagaimanapun, Anda layak untuk memiliki hubungan yang sehat.
Kesimpulan
- Limerence adalah kondisi psikologis ketika seseorang memiliki obsesi emosional atau kecintaan yang intens terhadap orang lain.
- Kondisi ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmiter, pola attachment yang tidak aman, trauma masa lalu, harga diri yang rendah, serta pengaruh media sosial dan teknologi.
- Anda dapat mengatasinya dengan membangun hubungan yang sehat dengan diri sendiri, berhenti melakukan pencarian tentang mereka, dan berkonsultasi ke psikolog jika perlu.