Seberapa baik kinerja karyawan dalam menyelesaikan proyek merupakan aset bagi perusahan dan sedikit banyak memegang andil terhadap nama harum perusahaan di dunia bisnis. Ironisnya, kesehatan mental para pekerja seringkali terabaikan. Untuk mengatasinya, bisa dengan “cuti sakit” untuk memulihkan diri dari stres, namun masih jarang perusahaan yang mengizinkan hal tersebut.
Padahal penting bagi petinggi dan supervisor untuk tahu dan mewaspadai tanda depresi yang ditunjukkan karyawan sehingga dapat bertindak segera untuk memberikan pertolongan yang tepat. Stres berat di kantor yang tak tertangani dapat berujung pada depresi klinis atau justru memperparahnya, yang lama kelamaan dapat merugikan kinerja karyawan dan kredibilitas perusahaan itu sendiri dalam jangka panjang.
Alasan karyawan enggan untuk berobat terkait kesehatan mental
Masyarakat Indonesia masih menganggap gangguan jiwa hanyalah penyakit yang diderita oleh pasien di Rumah Sakit Jiwa. Padahal gangguan jiwa bisa menyerang siapa saja, tidak terkecuali diri kita dan orang-orang terdekat. Gangguan jiwa pun juga tak melulu “gila” alias skizofrenia, dan dapat muncul dalam bentuk lainnya, seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Keenganan karyawan untuk berobat juga bisa berasal dari stigma bahwa penyakit mental tak bisa disembuhkan. Banyak pula orang yang tidak sadar atau malah menutupi gejala depresinya karena malu dianggap lemah, tak bermental baja. Gangguan kejiwaan nyatanya bisa saja sembuh total jika terdeteksi sedini dan diobati dengan tepat.
Di sisi lain, terbatasnya akses kesehatan dapat menghambat diagnosis dan pengobatan. Meski pemerintah sebenarnya telah memfasilitasi warga Indonesia untuk berkonsultasi ke dokter seputar gejala depresinya pakai BPJS, tak semua puskesmas dan rumah sakit rujukan memiliki psikolog. Ini yang membuat tangan karyawan seperti terikat, tak tahu harus ke mana mencari dukungan. Di sinilah tugas perusahaan untuk turun tangan demi menjamin kesehatan dan kinerja karyawan.
Apa saja tanda dan ciri depresi pada karyawan?
Tanda-tanda depresi jauh lebih rumit daripada gejala stres. Kemunculannya bisa bertahap dan terus berlanjut sehingga sulit untuk benar-benar menyadari kapan depresi pertama kali menyerang. Berikut adalah berbagai gejala depresi yang biasanya terjadi.
Karyawan kehilangan motivasi kerja
Gejala depresi klasik biasanya ditandai dengan kehilangan semangat dan motivasi, mood buruk yang konstan, serta makin merosotnya energi dan stamina untuk beraktivitas. Untuk para bos atau atasan, coba perhatikan apakah karyawan Anda tiba-tiba tidak produktif atau antusias dengan tugas yang diberikan? Jika ya, maka hal itu bisa menjadi salah satu ciri awal depresi yang harus diwaspadai.
Produktivitas berkurang
Depresi bisa menyebabkan seseorang sulit berkonsentrasi dan mengingat, sulit mengambil keputusan, sementara terus berpikiran negatif, termasuk mudah kecewa, marah, dan tersinggung. Jika karyawan mulai selalu melesat dari deadline yang atasan berikan hingga melakukan hal yang ceroboh saat bekerja, terutama jika hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, tak ada salahnya untuk coba reach out pada karyawan tersebut dan tanyakan keadaannya.
Tiba-tiba menarik diri
Depresi umumnya juga bisa ditandai dengan menarik diri dari lingkungan sosial dan keluarga, dan selalu merasa sedih seolah-olah tidak ada harapan lagi. Apakah Anda melihat atau mendapat laporan bahwa ada karyawan Anda yang tiba-tiba berhenti berhubungan dengan rekan kerja dan lebih suka sendirian setiap saat?
Ketidakhadiran
Para manajer, bos, ataupun pimpinan perusahaan harus mulai waspada ketika karyawan mulai suka tidak masuk berhari-hari karena alasan sakit atau bahkan mungkin tanpa alasan khusus. Depresi dapat menyebabkan seseorang sulit menjalani kegiatan sehari-hari karena selalu diselimuti oleh rasa nelangsa, sedih, dan keputusasaan. Depresi juga membuat seseorang hilang minat pada hal-hal yang biasanya dinikmati. Absen kerja juga mungkin menandakan ia sedang berpikiran atau mencoba bunuh diri akibat depresinya.
Lalu, bagaimana atasan dan perusahaan membantu karyawan yang depresi?
Sayangnya, kadang depresi dapat dengan mudah disalahartikan sebagai kemalasan atau etika kerja yang buruk. Itu sebabnya banyak karyawan yang memilih untuk tidak membicarakan kesehatan mental mereka karena takut akan dicap “gila” hingga kehilangan pekerjaannya.
Jika demikian, atasan atau rekan karyawan lain dapat mengurangi risiko kesehatan mental dengan mengikuti beberapa langkah di bawah ini:
Ciptakan lingkungan yang terbuka
Coba ciptakan para pekerja untuk membicarakan tentang stres, kecemasan atau depresi yang mereka hadapi. Ciptakan budaya saling mendukung, di mana karyawan memahami bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi masalah.
Hormati kerahasiaan mereka
Ketika karyawan membuka diri untuk menceritakan masalah yang sedang ia hadapi, Anda harus ingat bahwa informasi kesehatan mental sangat sensitif sifatnya. Jangan menyampaikan informasi kepada orang lain kecuali mereka memberi izin untuk melakukannya, karena mereka telah mempercayai Anda untuk menyimpan rahasianya.
Hindari berasumsi macam-macam
Setelahnya, coba Anda tidak memengaruhi atau berasumsi macam-macam setelah mereka menceritakan masalahnya. Pasalnya, banyak orang depresi yang masih bisa dapat mengelola kondisi mereka dan menjalankan peran mereka dengan baik. Sebagai gantinya, tanyakan bagaimana Anda dapat membantu dan mengeksplorasi pilihan untuk mempermudah pekerjaan yang mereka lakukan.
Tawarkan pilihan kerja yang fleksibel
Jika karyawan Anda mengalami depresi, Anda bisa memberikan mereka pilihan kerja yang fleksibel. Biarkan mereka bekerja dari rumah, tidur siang, atau tawarkan jam bekerja lebih sedikit selama beberapa waktu. Anda juga bisa mengizinkan mereka cuti sakit sementara dengan alasan memperbaiki kesehatan mentalnya agar kinerja karyawan membaik begitu kembali kerja.