Masalah makan pada anak memang sering terjadi, entah itu nafsu makan berkurang atau cenderung pilih-pilih makanan. Baru-baru ini terdapat penelitian yang mengungkapkan risiko gangguan makan terhadap anak penyandang autisme. Apa yang membuat anak penyandang autisme lebih berisiko?
Risiko gangguan makan anak penyandang autisme
Makan dan nutrisi anak adalah topik yang paling sering dibicarakan di kalangan orangtua, terutama mereka baru saja memiliki anak. Mulai dari bagaimana memberikan makan anak dengan baik dan apa saja yang perlu diperhatikan selama pertumbuhan.
Bagi para orangtua mungkin sudah tidak asing dengan masalah makan yang sering dialami oleh anak mereka. Tidak jarang mereka menemui dokter dan ahli gizi anak untuk berkonsultasi mencari jalan keluar dari masalah ini.
Gangguan makan juga bukan masalah baru bagi orangtua dengan anak penyandang autisme. Bahkan, anak penyandang autisme disebut-sebut dapat mengembangkan kondisi yang lebih parah dibandingkan anak lainnya.
Menurut penelitian yang dimuat di Journal of Child Psychology and Psychiatry autisme dapat menjadi faktor risiko untuk mengembangkan gangguan makan. Penelitian ini melibatkan 5.381 remaja yang juga ikut dalam studi dari University of Bristol’s Children pada tahun 90an.
Di dalam penelitian tersebut para ahli mencoba melihat apakah para peserta tersebut mempunyai sifat sosial autis pada usia 7, 11, 14 dan 16 tahun. Usia tersebut kemudian dibandingkan dengan gangguan makan pada usia 14 tahun, seperti makan berlebihan dan diet jangka panjang.
Para ahli juga menganalisis sifat autistik yang dilaporkan oleh ibu peserta. Maka itu, penelitian ini juga melibatkan anak yang mungkin tidak memperlihatkan sifat autisme dan mereka yang tidak terdiagnosis.
Hasilnya, 11,2 persen anak perempuan melaporkan pernah menjalani pola makan yang tidak teratur pada tahun sebelumnya. 7,3 persen diantara mereka mengalaminya setiap bulan dan 3,9 persen sisanya setiap minggu. Angka tersebut lebih besar dibandingkan anak laki-laki dengan presentase 3,6 persen.
Anak remaja dengan gangguan makan menunjukkan tingkat sifat autisme lebih tinggi pada usia tujuh tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sifat autisme dapat menjadi faktor mengapa mereka tidak makan teratur dan dapat mengembangkan risiko gangguan makan.
Kesulitan dalam berkomunikasi bisa menjadi penyebabnya
Penelitian yang dilakukan oleh tim dari University of College London ini sebenarnya tidak mencari tahu apa penyebab gangguan makan berisiko terjadi pada anak dengan autisme. Namun, para ahli menemukan bahwa kesulitan dalam berkomunikasi bisa menjadi penyebabnya.
Anak penyandang autisme yang sulit berkomunikasi biasanya lebih susah mencari teman. Hal ini ternyata bisa meningkatkan risiko depresi dan rasa cemas pada usia muda. Masalah emosional ini pun bisa saja berujung pada masalah makan yang mengganggu kesehatan anak.
Selain itu, ciri-ciri autis seperti kesulitan berpikir dan proses sensorik yang tidak biasa juga dapat dikaitkan dengan gangguan makan.
Begini, makan adalah kegiatan yang membutuhkan tahapan tertentu. Sebagai contoh, ketika anak menggigit yoghurt, mereka perlu mengambil sendok terlebih dahulu, mencelupkannya ke dalam yoghurt, hingga masuk ke dalam mulutnya.
Tahapan tersebut ternyata tidak mudah bahkan bagi anak normal sekali pun. Terlebih lagi ketika ada potongan buah atau makanan dengan tekstur yang beragam, mereka perlu mengenalinya dan memutuskan apakah perlu dikunyah atau tidak.
Bagi anak penyandang autisme yang memiliki masalah dengan berpikir mungkin akan lebih sulit menjalankan tahapan makan tersebut. Akibatnya, kebanyakan dari mereka memilih untuk makan sedikit atau tidak sama sekali karena merasa kesulitan melaksanakan proses makan tersebut.
Walaupun demikian, para peneliti membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menemukan apa penyebab gangguan makan lebih berisiko terhadap anak penyandang autisme.
Tips mengatasi gangguan makan pada anak autisme
Sebenarnya, para peneliti perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab anak penyandang autisme lebih berisiko mengalami gangguan makan. Dengan begitu, mereka dapat menganalisis langkah-langkah mencegah munculnya masalah ini.
Menurut dr. William Mandy, salah satu kontributor dalam penelitian ini, sekitar satu perlima dari wanita yang menderita anoreksia mempunyai sifat autis tingkat tinggi. Bahkan, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan gangguan makan saat ini tidak berfungsi dengan baik pada wanita tersebut.
Maka dari itu, para peneliti menyimpulkan bahwa anak penyandang autisme yang mengalami gangguan makan mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda.
Berkonsultasi dengan ahlinya
Walaupun belum ditemukan cara yang benar-benar efektif mengatasi gangguan makan pada anak penyandang autisme, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan dokter. Sebagian besar anak dengan masalah makan yang ringan hingga sedang biasanya lebih baik ketika menjalani rawat jalan dengan ahli terapi perilaku.
Selain terapi perilaku, anak penyandang autisme juga bisa menemui dokter untuk berkonsultasi perihal masalah berbicara dan berkomunikasi. Dengan begitu, dokter mungkin bisa melihat petunjuk tentang penyebab gangguan makan yang terjadi.
Umumnya, ahli terapi wicara dapat mengatasi masalah motorik anak penyandang autisme. Mereka juga dapat membantu anak memperkuat otot rahang dan otot yang berfungsi untuk menggerakkan lidah, menggigit, mengunyah, dan aktivitas makan lainnya.
Hal ini bertujuan agar anak bisa menggunakan peralatan dan melakukan gerakan yang melibatkan aktivitas makan. Mulai dari postur tubuh saat makan hingga memakai alat bantu makan yang membantu fungsi motorik yang terlibat ketika mendapatkan makanan dari piring ke mulut.
Mengajak anak melakukan kebiasan makan sehat
Mengajak anak melakukan kebiasaan makan sehat pun dapat menjadi alternatif untuk membantu penyandang autisme mengatasi gangguan makan yang dialami.
Orangtua dapat meminta anak mencoba setidaknya satu suap makanan yang mereka sukai setiap kali mereka makan. Hal ini mungkin dapat membantu menambah nafsu makan anak dan menambahkan bumbu seperti saus tomat pun bisa dilakukan.
Anda juga dapat memotong makanan menjadi potongan kecil yang memudahkan anak mengunyahnya. Selain itu, orangtua juga dapat terlibat ketika memandu anak memasukkan sendok ke mulut dengan meletakkan tangan Anda di atas tangan anak. Kemudian, memberikan dukungan saat anak berhasil menerima makanan tersebut.
Pada beberapa kasus, orangtua dan pengasuh dapat menghilangkan makanan yang mungkin mereka tidak sukai sesekali. Namun, bukan berarti hal ini membuat anak akan terus memilih makanan lain yang ada di piring mereka. Dengan begitu, anak dapat mengenali dan mulai mencoba makanan baru di luar makanan favorit mereka.