Tes amniocentesis adalah pemeriksaan cairan ketuban yang dilakukan untuk mendeteksi kelainan kromosom dan kelainan genetik pada bayi. Tidak semua ibu hamil wajib menjalaninya, karena tes amniocentesis lebih ditujukan bagi yang memiliki kehamilan berisiko tinggi. Bagaimana tes ini dilakukan, serta apa manfaat dan risikonya? Cari tahu jawabannya di sini.
Apa itu tes amniocentesis?
Tes amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban lewat jarum yang disuntikkan ke dalam perut ibu. Dalam prosesnya, dokter akan menempatkan jarum pada posisi yang pas dengan bantuan USG guna menghindari salah suntik pada plasenta.
Cairan ketuban adalah air yang mengelilingi bayi di dalam rahim. Cairan ini mengandung sel kulit mati bayi, protein yang disebut alfa-fetoprotein (AFP), beragam macam elektrolit dari ibu (seperti natrium dan kalium), hingga urin bayi.
Cairan ketuban yang sudah diambil kemudian dibawa ke laboratorium untuk diteliti lebih lanjut. Kerusakan pada air ketuban atau adanya partikel asing tertentu pada sampel ketuban Anda bisa menandakan suatu kondisi kesehatan serius.
Siapa saja yang harus menjalani tes amniocentesis?
Tidak semua ibu hamil membutuhkan tes ini. Tes amniocentesis secara spesifik diperuntukkan bagi ibu hamil berusia 35 tahun ke atas yang berisiko tinggi terhadap kelainan genetik dan/atau masalah kromosom penyebab cacat lahir seperti spina bifida, Down syndrome, dan anencephaly.
Selain itu, jika dokter menemukan hal-hal yang tidak normal pada hasil USG rutin Anda namun belum bisa mengetahui dengan jelas apa penyebab pastinya, maka kemungkinan besar dokter akan menyarankan Anda menjalani amniocentesis.
Tes amniocentesis mulai bisa dilakukan di usia kehamilan menginjak 11 minggu. Namun untuk pemeriksaan genetik, amniocentesis baru bisa dilakukan pada kehamilan yang telah berusia 15 hingga 17 minggu, dan pada trimester tiga kehamilan ketika paru-paru janin sudah matang untuk mendeteksi adanya infeksi pada cairan ketuban.
Apa manfaat tes amniocentesis?
Tes amniocentesis adalah pemeriksaan cairan ketuban yang bertujuan mendeteksi risiko kelainan kromosom dan kelainan genetik pada bayi. Amniocentesis juga bisa menjadi cara mengobati kondisi cairan ketuban berlebih yang disebut dengan istilah polihidramnion.
Selain itu, pemeriksaan kehamilan yang satu ini dapat digunakan untuk mengecek apakah paru-paru bayi sudah berkembang matang dan terbentuk sempurna sebelum kelahirannya. Pemeriksaan paru-paru lewat amniocentesis biasanya dilakukan pada trimester ketiga kehamilan.
Terkadang, amniocentesis digunakan untuk melihat apakah bayi yang berada di dalam kandungan memiliki infeksi atau tidak. Prosedur ini juga dilakukan untuk mencari tahu tingkat keparahan anemia pada bayi yang memiliki sensitisasi Rh atau saat sistem kekebalan tubuh ibu membentuk antibodi untuk melawan sel darah merah Rh+ bayi.
Amniocentesis dapat mendeteksi beberapa penyakit yang diturunkan pada anak dalam kandungan, ketika orangtua (baik salah satu atau keduanya) mempunyai faktor risiko sindrom Down, anemia sel sabit, fibrosis kistik, dan distrofi muskular.
Beberapa risiko yang mungkin terjadi dari tes amniocentesis
Meski tergolong bermanfaat untuk mendeteksi beragam masalah yang mungkin terjadi pada bayi dalam kandungan, tes ini juga memiliki beberapa kemungkinan risiko, seperti:
1. Ketuban bocor
Ketuban bocor dini adalah risiko yang jarang terjadi. Meski begitu, cairan yang keluar biasanya hanya sedikit dan akan berhenti dengan sendirinya dalam waktu satu minggu.
2. Infeksi
Dalam kasus yang jarang, amniosentesis dapat memicu infeksi rahim. Selain itu, tes amniosentesis dapat menularkan infeksi yang Anda miliki ke bayi seperti hepatitis C, toksoplasmosis, dan HIV/AIDS.
3. Cedera jarum pada tubuh bayi
Bayi bisa terus bergerak selama Anda menjalani tes ini. Maka, bukannya tidak mungkin jika lengan, kaki, atau bagian tubuh bayi lainnya mendekati jarum yang sedang tertancap dan akhirnya tergores
Hal ini bisa mengakibatkan luka pada bagian tubuh yang terkena, namun biasanya hanya luka ringan yang tidak membahayakan bayi.
4. Sensitisasi Rh
Cukup jarang tes ini bisa menyebabkan sel darah bayi bocor ke aliran darah ibu. Hal ini memungkinkan ketika ibu dan bayi memiliki perbedaan rhesus.
Jika sang ibu memiliki rhesus negatif sementara rhesus bayi positif dan tubuh ibu tidak memiliki antibodi terhadap darah rhesus positif, maka dokter akan menyuntikkan immune globulin rhesus setelah tes selesai dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah tubuh ibu memproduksi antibodi Rh yang dapat masuk melalui plasenta dan merusak sel darah merah bayi.
5. Keguguran
Tes amniocentesis yang dilakukan pada trimester kedua berisiko mengakibatkan keguguran. Dikutip dari Mayo Clinic, penelitian menunjukkan bukti bahwa risiko keguguran meningkat jika tes dilakukan sebelum kehamilan berusia 15 minggu.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]