backup og meta

Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr

Infeksi virus Epstein-Barr dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami mononukleosis dan beberapa penyakit serius lainnya.

Simak pembahasan berikut untuk memahami penularan, gejala, cara mengobati, dan pencegahan penyakit infeksi ini.

Apa itu virus Epstein-Barr?

Infeksi virus epstein-barr

Virus Epstein-Barr (EBV) yang juga dikenal sebagai human herpesvirus 4 adalah anggota dari virus herpes yang sangat umum menyerang manusia di seluruh dunia.

Jenis virus yang pada umumnya ditularkan melalui air liur ini paling dikenal sebagai penyebab mononukleosis atau penyakit mono.

Sebagian besar kasus infeksi mononukleosis yang menyerang anak-anak menimbulkan gejala ringan yang menyerupai pilek.

Akan tetapi, remaja atau orang dewasa yang terinfeksi EBV biasanya mengalami gejala berupa demam, sakit tenggorokan, dan pembengkakan kelenjar getah bening.

Setelah menginfeksi, EBV akan tetap berada dalam tubuh manusia seumur hidup. Hal ini mungkin berisiko menyebabkan komplikasi yang ringan hingga serius.

Seberapa umumkah infeksi virus Epstein-Barr?

Infeksi virus Epstein-Barr terbilang sangat umum. Sebuah studi yang dimuat dalam jurnal American Family Physician (2015) menyebutkan hampir 95% orang dewasa di seluruh dunia pernah terinfeksi EBV setidaknya sekali dalam hidupnya.

Tanda dan gejala infeksi virus Epstein-Barr

Umumnya, infeksi EBV pada masa kanak-kanak tidak menimbulkan gejala. Infeksi ini mungkin hanya menimbulkan gejala ringan, mirip seperti pilek atau flu.

Sementara itu, remaja atau orang dewasa yang terinfeksi virus Epstein-Barr mungkin bisa merasakan tanda dan gejala yang lebih berat, meliputi:

  • radang tenggorokan,
  • sangat lelah,
  • sakit kepala,
  • demam,
  • ruam pada kulit,
  • pembesaran limpa dan hati, serta
  • pembengkakan kelenjar getah bening pada leher dan ketiak.

Gejala yang dialami oleh remaja dan orang dewasa bisa berlangsung selama 2–4 minggu. Akan tetapi, kelelahan mungkin bertahan dalam hitungan minggu dan bahkan bulan.

Penularan virus Epstein-Barr

EBV paling sering menular melalui air liur. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penularan EBV lewat air liur bisa terjadi saat:

  • berciuman,
  • saling bertukar makanan dan minuman,
  • berbagi peralatan makan atau sikat gigi yang sama, dan
  • melakukan kontak dengan mainan anak-anak yang terkontaminasi air liur.

Selain dari air liur, EBV nyatanya juga bisa menyebar melalui darah dan air mani selama kontak seksual, transfusi darah, atau transplantasi organ tubuh.

Saat terinfeksi virus Epstein-Barr, Anda tidak perlu mengalami tanda atau gejala terlebih dahulu untuk menularkan virus ini pada orang lain.

EBV akan tetap ada di dalam tubuh dengan kondisi tidak aktif (laten). Selama periode ini, Anda tidak dapat lagi menyebarkannya ke orang-orang di sekitar.

Namun, beberapa kondisi tertentu dapat menyebabkan EBV aktif kembali, seperti stres, melemahnya sistem kekebalan tubuh, hingga menopause dan perubahan hormon.

Kondisi ini bisa menimbulkan gejala yang sama seperti infeksi EBV awal dan pasien kembali berpotensi menularkan virus ke orang lain.

Komplikasi infeksi virus Epstein-Barr

virus ebv adalah

Selain penyakit mononukleosis, infeksi EBV juga bisa berperan dalam perkembangan beberapa masalah kesehatan lain seperti berikut ini.

1. Gangguan autoimun

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Genetics (2018) menemukan bahwa EBNA2, protein yang dihasilkan EBV terkait dengan peningkatan risiko terkena lupus.

Mekanisme ini juga dipercaya terkait dengan perkembangan gangguan autoimun lain, meliputi:

  • multiple sclerosis,
  • rheumatoid arthritis (rematik),
  • arthritis idiopatik juvenil,
  • penyakit radang usus,
  • penyakit celiac
  • diabetes tipe 1, dan
  • penyakit autoimun tiroid, seperti tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.

Akan tetapi, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui secara pasti hubungan antara infeksi virus Epstein-Barr dengan gangguan autoimun ini.

2. Kanker

Dikutip dari situs American Cancer Society, infeksi EBV dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terkena beberapa jenis kanker, seperti:

  • kanker nasofaring,
  • kanker lambung, dan
  • beberapa jenis kanker getah bening (limfoma), seperti limfoma Hodgkin dan limfoma Burkitt.

Meski begitu, kebanyakan orang yang pernah terinfeksi EBV tidak akan mengalami jenis kanker tersebut.

Kanker yang berkaitan dengan infeksi EBV jarang terjadi. Jumlah kasusnya bahkan hanya 1% dari keseluruhan kasus kanker di seluruh dunia.

3. Skizofrenia

Para ahli dari Sheppard Pratt Health System, Amerika Serikat, menemukan tingkat infeksi EBV yang lebih tinggi pada 84 orang yang mengidap skizofrenia.

Pengidap skizofrenia mempunyai tingkat antibodi terhadap protein EBV yang lebih tinggi. Para ahli percaya bahwa hal ini berperan dalam menurunnya kemampuan kognitif.

Paparan EBV diduga dapat menurunkan fungsi kognitif pada orang-orang dengan skizofrenia. Akan tetapi, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara keduanya.

Diagnosis infeksi virus Epstein-Barr

virus epstein-barr

Saat pemeriksaan awal, dokter akan bertanya mengenai gejala dan riwayat medis Anda. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan pada bagian tubuh tertentu, seperti leher, tenggorokan, dan perut.

Gejala infeksi virus Epstein-Barr umumnya mirip dengan penyakit lain. Maka dari itu, dokter mungkin akan menyarankan tes darah untuk memeriksa apakah terdapat antibodi tertentu di dalamnya.

Berikut merupakan bebreapa jenis antibodi yang dapat menunjukkan infeksi EBV dalam tubuh Anda.

  • Viral capsid antigen (VCA): antibodi VCA muncul pada awal infeksi. Anti-VCA IgM menghilang dalam beberapa minggu dan anti-VCA IgG bertahan seumur hidup.
  • Early antigen (EA): antibodi EA muncul selama infeksi aktif, kemudian tidak terdeteksi setelah beberapa bulan.
  • EBV nuclear antigen (EBNA): antibodi EBNA perlahan muncul dalam beberapa bulan setelah Anda terinfeksi dan bertahan seumur hidup.

Karena tahapan kemunculan antibodi EBV berbeda-beda, dokter mungkin akan meminta Anda untuk melakukan tes antibodi ulang dalam beberapa hari hingga minggu. 

Pengobatan infeksi EBV

Pengobatan untuk infeksi EBV bertujuan untuk meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Beberapa hal yang umumnya bisa Anda lakukan meliputi:

  • istirahat yang cukup,
  • berkumur air garam untuk mengatasi sakit tenggorokan,
  • memperbanyak minum air putih, dan
  • minum obat paracetamol untuk meredakan rasa sakit dan demam.

Apabila infeksi disertai dengan pembesaran limpa, dokter akan menganjurkan Anda untuk tidak melakukan olahraga berat guna mencegah pecahnya limpa.

Pencegahan infeksi virus Epstein-Barr

Tidak ada vaksin untuk mencegah infeksi EBV. Namun, berikut beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk mencegah penularan virus dari orang lain.

  • Tidak mencium seseorang yang terinfeksi virus.
  • Usahakan untuk tidak berbagi makanan atau minuman dengan orang lain.
  • Tidak saling menggunakan peralatan pribadi, seperti sikat gigi dan alat makan.
  • Memakai perlindungan saat berhubungan seks, termasuk saat pasangan terlihat sakit.
  • Rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, terutama setelah menyentuh sesuatu yang terdapat air liur di atasnya.

Apabila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai kondisi ini, konsultasikanlah dengan dokter untuk mendapatkan solusi terbaik atas masalah Anda.

Kesimpulan

  • Virus Epstein Barr (EBV) atau human herpesvirus 4 adalah sejenis virus herpes yang menyebabkan mononukleosis.
  • Virus ini juga sering dikaitkan dengan peningkatan risiko beberapa gangguan kesehatan, seperti penyakit autoimun, kanker, dan skizofrenia.
  • EBV paling sering menular melalui air liur, tetapi virus ini juga dapat menyebar lewat darah atau air mani.
  • Pengobatan untuk infeksi EBV bertujuan meringankan gejala yang pasien rasakan.
  • Tidak ada vaksin untuk mencegah infeksi EBV, sebab sebagian besar kasus tidak menyebabkan masalah kesehatan serius.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

About Epstein-Barr Virus (EBV). (2021). Centers for Disease Control and Prevention. Retrieved February 6, 2023, from https://www.cdc.gov/epstein-barr/about-ebv.html

Epstein-Barr Virus and Infectious Mononucleosis – Laboratory Testing. (2021). Centers for Disease Control and Prevention. Retrieved February 6, 2023, from https://www.cdc.gov/epstein-barr/laboratory-testing.html

Epstein-Barr Virus (EBV) – Symptoms, Causes & Treatment. (2022). Cleveland Clinic. Retrieved February 6, 2023, from https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/23469-epstein-barr-virus

Viruses that Can Lead to Cancer. (2022). American Cancer Society. Retrieved February 6, 2023, from https://www.cancer.org/healthy/cancer-causes/infectious-agents/infections-that-can-lead-to-cancer/viruses.html

Hoover K, Higginbotham K. (2022). Epstein Barr Virus. StatPearls Publishing. Retrieved February 6, 2023, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559285/

Womack, J., & Jimenez, M. (2015). Common questions about infectious mononucleosis. American family physician, 91(6), 372–376. https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2015/0315/p372.html

Dickerson, F., Katsafanas, E., Origoni, A., Squire, A., Khushalani, S., Newman, T., Rowe, K., Stallings, C., Savage, C. L. G., Sweeney, K., Nguyen, T. T., Breier, A., Goff, D., Ford, G., Jones-Brando, L., & Yolken, R. (2021). Exposure to Epstein Barr virus and cognitive functioning in individuals with schizophrenia. Schizophrenia research, 228, 193–197. https://doi.org/10.1016/j.schres.2020.12.018

Bakkalci, D., Jia, Y., Winter, J. R., Lewis, J. E., Taylor, G. S., & Stagg, H. R. (2020). Risk factors for Epstein Barr virus-associated cancers: a systematic review, critical appraisal, and mapping of the epidemiological evidence. Journal of global health, 10(1), 010405. https://doi.org/10.7189/jogh.10.010405

Harley, J. B., Chen, X., Pujato, M., Miller, D., Maddox, A., Forney, C., Magnusen, A. F., Lynch, A., Chetal, K., Yukawa, M., Barski, A., Salomonis, N., Kaufman, K. M., Kottyan, L. C., & Weirauch, M. T. (2018). Transcription factors operate across disease loci, with EBNA2 implicated in autoimmunity. Nature genetics, 50(5), 699–707. https://doi.org/10.1038/s41588-018-0102-3

Versi Terbaru

20/02/2023

Ditulis oleh Satria Aji Purwoko

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

Diperbarui oleh: Ilham Fariq Maulana


Artikel Terkait

10 Fakta Seputar Penyakit Lupus yang Wajib Diketahui

Mengenal 15 Jenis Penyakit Autoimun yang Paling Umum


Ditinjau secara medis oleh

dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Satria Aji Purwoko · Tanggal diperbarui 20/02/2023

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan