Tak hanya menyampaikan kabar duka, seorang dokter pun tidak terlepas menjadi salah satu yang mendengarnya. Inilah cerita dr. Koko, salah satu tenaga medis yang bertugas di tengah pandemi COVID-19.
Memulai perjuangan melawan COVID-19 di Papua Barat
Hanya tiga bulan. Itulah masa yang seharusnya dihabiskan oleh dr. Noviantoro Sunarko Putro, atau yang lebih akrab disapa dr. Koko, di Sorong, Papua Barat.
Di sanalah ia akan menyelesaikan tugasnya sebagai sukarelawan pada akhir masa pendidikannya sebagai dokter spesialis. Namun, terkadang rencana memang tidak berjalan semestinya karena hadirnya tamu tak diundang.
Saat COVID-19 masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia, dr. Koko menerima pasien yang baru pulang dari luar negeri dengan batuk tak terkendali.
Kala itu, tes COVID-19 seperti antigen, PCR, dan bahkan antibodi masih menjadi barang langka, apalagi dr. Koko jauh dari pusat ibukota.
Namun, saat melihat kondisi paru-paru pasiennya begitu buruk, bahkan menjadi salah satu yang terburuk dari yang pernah ia temukan, dr. Koko menilai pasien tersebut sebagai suspek COVID-19 (dicurigai terinfeksi COVID-19).
Untungnya, di RS Angkatan Laut tempatnya bertugas, ada banyak tentara yang dengan sigap membantunya, termasuk menenangkan warga sekitar.
Dr. Koko sebenarnya sudah mulai mendengar tentang penyebaran coronavirus dari teman-temannya di Yogyakarta. Namun, tidak terpikirkan bahwa ia akan segera menghadapinya.
COVID-19 merupakan pengalaman baru bagi semua orang, tetapi mau tidak mau, ia akan dinilai sebagai yang paling tahu karena bagaimanapun pekerjaannya memang menuntutnya seperti itu.
Belum genap tiga bulan, dr. Koko terpaksa meninggalkan Sorong karena kabar bandara yang akan segera ditutup. Dari sana, dimulailah cerita dr. Koko sebagai salah satu tenaga medis yang bertugas selama pandemi COVID-19.
“Menyapa” corona di Yogyakarta
Sesampainya di Yogyakarta, dr. Koko menjalani pemeriksaan terlebih dahulu karena ia telah melakukan kontak dengan pasien yang dicurigai mengidap COVID-19.
Benar saja, dari hasil rontgen dada itu, ditemukan adanya peradangan paru-paru. Maka, sesuai protokol yang berlaku, dr. Koko harus menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu selama dua pekan.
Tidak lama setelah menjalani isolasi mandiri, ia mendapat kabar bahwa kondisi pasiennya di Sorong terus memburuk hingga akhirnya meninggal dunia usai dirujuk ke rumah sakit daerah setempat.
Meski pasiennya kala itu belum ditetapkan sebagai pasien COVID-19 karena keterbatasan alat diagnosis, dr. Koko tetap menjadi semakin waspada.
Bukan, bukan khawatir pada diri sendiri. dr. Koko lebih khawatir pada anak dan istrinya yang memiliki masalah pernapasan, yaitu asma.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa asma memang merupakan salah satu komorbid dari COVID-19. Artinya, pengidap asma berisiko mengalami gejala yang lebih parah jika terjangkit penyakit ini.
Belum lagi rekan-rekannya di Sorong yang kala itu sempat membantunya dengan alat pelindung diri (APD) terbatas.
Untungnya, kondisi dr. Koko selama menjalani isoman terus membaik. Begitu pula dengan istri, anak, dan rekan-rekannya di Sorong yang tidak terpapar kondisi serupa.
Usai menjalani isolasi, dr. Koko kembali melanjutkan pendidikannya dan ikut menangani pasien COVID-19 di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Beruntungnya, sistem pelayanan COVID-19 di sana kala itu sudah cukup baik.
Tidak ada lagi petugas dengan beban kerja berlebih. Kebutuhan APD pun tercukupi dan tidak banyak ditemukan kasus berat saat itu.
Ketika gelombang Delta COVID-19 menyapa, dr. Koko telah menyelesaikan pendidikan spesialisnya.
Karena kala itu kebutuhan tenaga medis meningkat, ia pun memulai tugasnya sebagai dokter spesialis di tiga rumah sakit sekaligus, yaitu rumah sakit daerah, rumah sakit pendidikan, dan rumah sakit swasta.
Lagi-lagi, ia bertugas menangani pasien COVID-19. Bedanya, kali ini tidak ada lagi pengawasan langsung dari dokter senior seperti saat ia masih sekolah.
Belum lagi ketersediaan fasilitas tiap rumah sakit yang berbeda dan belum selengkap seperti ketika ia bertugas semasa sekolah.
Kabar duka tak pernah berhenti berdatangan
Meski sudah pernah menghadapi pasien COVID-19 sebelumnya, gelombang varian Delta memang menjadi ujian tersendiri baginya.
Kematian pasien, sumber daya yang semakin terbatas, berita duka dari orang terdekat—termasuk rekannya sesama petugas kesehatan—harus menjadi makanannya sehari-hari. Rumah sakit sudah semakin “berisik”.
Pandemi kala itu memang dipenuhi kabar-kabar yang mengejutkan, tetapi tidak menyenangkan. Seperti saat sore itu, dr. Koko mengobrol dengan salah satu pasiennya.
Seorang pasien muda, berbadan bugar, dan tanpa komorbid. Ketika mengobrol dengan pasien tersebut, dr. Koko melihat harapan bahwa ia akan pulih dengan cepat.
Sayangnya, harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan. Sebab keesokan harinya, pasien itu dikabarkan mengalami sesak napas yang semakin berat.
Ketika dr. Koko mengunjunginya di siang hari, obrolan sore itu tidak bisa dilanjutkan karena pasiennya sudah tidak mampu berkomunikasi dan tidak sadarkan diri.
Kondisi tersebut berulang kali terjadi meski pasien telah mendapatkan terapi terbaik yang kala itu bisa diberikan.
Kondisi seperti itu tentu tidak mudah dihadapi, baik untuk pasien maupun tenaga medis yang bertugas merawat pasien COVID-19.
Namun, dr. Koko merasa tetap harus mengendalikan dirinya. Posisinya yang saat itu menjadi pemimpinsekaligus penanggung jawab di lingkungan kerjanya membuatnya merasa harus mampu menjadi sandaran bagi banyak orang.
Kalau saya panik, nanti yang lain bagaimana? Banyak yang bergantung ke saya, jadi sebisa mungkin saya harus tetap tenang supaya semua terkendali.
dr. Koko
Bukan hanya pada rekan sejawat, dr. Koko juga perlu menenangkan pasien dan keluarganya. Meski hampir selalu menyampaikan kabar duka tiap harinya, ia tidak lantas menjadi terbiasa.
Saat melihat kondisi pasiennya kian memburuk, dr. Koko biasanya akan menyampaikan kabar tersebut kepada keluarga pasien secara langsung.
Kendati ia telah melakukannya berulang kali, yang paling pahit dari semua ini adalah melihat bahwa kebanyakan dari keluarga pasien memang telah mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk.
Tidak berhenti di situ, pihak keluarga juga tidak dapat mengiringi orang terkasih mereka ke tempat peristirahatan terakhir.
Namun, bagaimanapun itulah peraturan yang harus ditaati demi mencegah bertambahnya angka penularan.
Selama masa-masa sulit ini, salah satu hal yang sedikit menghibur hatinya adalah tim yang bisa diandalkan. Dari mulai perawat, ahli gizi, farmasi, manajemen hingga cleaning service, semuanya saling mengambil peran.
“Saya salut sama mereka. Ya, teman-teman perawat, ahli gizi, cleaning service, sama frontliner lainnya. Tidak lupa teman-teman dari farmasi juga tim manajemen rumah sakit. Kalau nggak ada kerjasama dari semuanya, ya nggak mungkin bisa saya nanganin pasien-pasien COVID-19,” ujarnya.
Kabar duka pun datang dari keluarga
dr. Koko rupanya bukan hanya bertugas menyampaikan kabar duka. Pada akhirnya, ia juga merasakan pengalaman mendapatkan kabar duka terkait COVID-19.
Kala itu, saat sedang sibuk mengurus pasien dan menjaga istri serta anaknya, dr. Koko menerima kabar bahwa sang ayah, yang juga merupakan seorang dokter, mengalami gejala COVID-19 berupa demam dan batuk-batuk.
Batuk merupakan suatu kondisi yang terlihat mengerikan saat itu. Pikirannya kian terusik ketika mengingat sang ayah masih aktif bekerja dengan komorbid yang dimilikinya.
“Saya, adik, sama kakak sudah minta Bapak berhenti kerja. Toh, kita semua sudah selesai (pendidikan spesialis) juga. Tapi, bapak tetap nggak mau. Selagi bisa nolong, ya dia maunya terus kerja. Itu sudah jadi pilihannya,” ucap dr. Koko saat menggambarkan sosok sang ayah.
Untungnya, sang ayah masih bisa mendapatkan perawatan di Sardjito. Namun, dr. Koko tetap tidak bisa menemaninya karena masih banyak pasien yang membutuhkannya.
Masih banyak harapan yang disandarkan di pundaknya, sebagaimana ia mengharapkan kesembuhan ayahnya.
Di tengah pemeriksaan, dr. Koko menerima telepon dari ibunya yang mengabarkan kondisi sang ayah kian memburuk.
Namun sebagai tenaga medis, ia memilih membantu pasiennya lebih lama lagi, terlebih ketika ia teringat akan perjuangan sang ayah yang juga bertugas saat pandemi COVID-19.
“Waktu itu saya ingat Bapak, bagaimana beliau terus berusaha menolong orang lain. Ya saya pikir, kenapa saya tidak melakukan hal yang sama?” ujar dr. Koko terkait salah satu alasannya masih tetap bertahan di tengah kabar yang sudah pasti mengganggu pikirannya.
Barulah ketika ditegur rekan kerjanya, ia bergegas mengunjungi sang ayah.
Meskipun segala upaya sudah dilakukan dengan diiringi doa yang tidak lepas dipanjatkan, Tuhan berkehendak bahwa sang ayah harus berpulang ke rumah-Nya.
Sedih ditinggal orang yang terkasih sudahlah pasti, tetapi bukan itu yang paling menyayat hati dr. Koko. Ia terbayang-bayang bagaimana sang ayah melewati saat-saat terakhir seorang diri.
“Dulu tiap (Bapak) sakit terus dirawat, ‘kan ada Ibu atau anak-anak yang nemenin. Kalau kemarin ‘kan, ya memang harus sendiri. Di situ saya sedihnya, kebayang Bapak harus ngelewatin masa-masa sulitnya sendiri,” kenang dr. Koko yang kala itu benar-benar merasakan apa yang selama ini berusaha ia pahami dari keluarga pasiennya.
Kepergian sang ayah tentu bukanlah hal yang mudah. Namun, dari situ pula dr. Koko mendapat pembelajaran tentang bagaimana dirinya harus terus berupaya memberi yang terbaik.
Di sisi lain, ia juga belajar menyadari kapan harus berhenti sejenak. Sebagai tenaga medis, kesadarannya dalam menjaga kesehatan akan membuatnya mampu menolong lebih banyak orang selama pandemi COVID-19.
Tidak perlu menyesali datangnya pandemi
Atas semua yang terjadi, dr. Koko tidak serta-merta menganggap COVID-19 sebagai “musibah”. Pasalnya, biar bagaimanapun, hal itu ada di luar kendali semua orang.
Sebagai salah satu garda terdepan yang diandalkan, ia hanya bisa berusaha memberi yang terbaik. Selain dari rekan sejawatnya, ia tentu juga tidak bisa bekerja maksimal tanpa pasiennya yang suportif.
dr. Koko hanya menyayangkan segelintir pihak yang kerap menyebarkan informasi yang tidak diketahui sumber pastinya.
“Kalau memang nggak percaya COVID-19, vaksin, atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan lainnya, ya silakan, tapi jangan ajak-ajak orang lain. Iya, situ (penyebar hoax) mungkin nggak kena, tapi ‘kan taruhannya nyawa orang lain kalau ngajak-ngajak,” ujar dr. Koko menyampaikan kekhawatirannya setiap melihat berita palsu yang beredar.
Dengan segala tantangan dan pembelajaran yang ada, dr. Koko tahu bahwa pandemi adalah salah satu risiko sekaligus ladang untuk belajar terkait profesi yang ia jalani.
Berbagai cerita yang dr. Koko alami selama pandemi COVID-19 di Indonesia, khususnya yang jauh dari teori yang selama ini ia pelajari, juga menyadarkan bahwa manusia sangatlah kecil di hadapan Tuhan.
Ia sadar bahwa tidak ada yang perlu disombongkan dan masih banyak hal yang perlu ia pelajari. Kehilangan orang terdekat di tengah usahanya menolong pasien juga tidak sama sekali membuatnya menyesal memilih profesinya saat ini.
“Ini sudah risiko profesi yang saya pilih, jadi ya ngapain ngeluh? Wong (orang) memang sudah jadi tugasnya. Semua dijadikan pembelajaran saja, sekaligus lebih bersiap jika sewaktu-waktu kembali dibutuhkan di keadaan genting,” pungkas dr. Koko mengakhiri ceritanya seputar menghadapi pandemi, baik sebagai tenaga medis sekaligus keluarga pasien.
Catatan
Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.
People with certain medical conditions. (2022, October 20). Centers for Disease Control and Prevention. Retrieved 11 May 2023 from https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/people-with-medical-conditions.html.
Sunarko, N. (2023). Peran Tenaga Kesehatan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19 di Indonesia. Hasil wawancara dengan Hello Sehat pada 3 Mei 2023 melalui Google Meet.