Anak menjadi salah satu kelompok yang rentan terinfeksi COVID-19. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat bahwa angka kasus COVID-19 pada anak di Indonesia kini menjadi yang tertinggi di Asia. Angka kasus ini kemungkinan lebih tinggi dari data yang tersedia mengingat sedikitnya kasus orang tanpa gejala (OTG) yang melakukan pemeriksaan.
Kasus positif COVID-19 pada anak di Indonesia
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, FRCPI (Hon) mengungkap data kasus COVID-19 pada anak di Indonesia selama bulan mulai dari Desember 2020 hingga Maret 2021, pada acara Update Kajian IDAI Terkait Covid-19 pada Anak pada Minggu (26/9).
Menurut kajian terbaru IDAI jumlah kasus COVID-19 pada anak di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia. Diperkirakan kasus positif COVID-19 yang menyerang anak setidaknya sebanyak 260 ribu.
Tingginya kasus penularan pada anak ini, menurut dr. Aman, karena kurangnya pemeriksaan COVID-19 dan skrining yang dilakukan pada anak. Sedikitnya tes yang dilakukan berimbas pada keterlambatan deteksi dan penanganan.
Sementara, angka kematian anak akibat COVID-19 diperkirakan mencapai 1800. “Kalau kita lihat dari akhir Juni sampai Agustus, anak Indonesia yang meninggal itu lebih dari 1oo anak per minggu,” jelas dr. Aman.
Dari data tersebut, IDAI menekankan bahwa anggapan anak bukan kelompok yang rentan COVID-19 adalah opini yang salah. Nyatanya, komplikasi infeksi COVID-19 juga bisa terjadi pada anak.
Jika penularan pada anak terus bertambah, dikhawatirkan rumah sakit akan kewalahan dan tidak mampu menampung pasien. Apalagi, Indonesia sendiri belum punya rumah sakit khusus anak untuk penanganan COVID-19.
IDAI juga menyoroti langkah pemerintah yang menyelenggarakan sekolah tatap muka selama pandemi ini. Hal ini dilakukan mengingat sekolah bisa menjadi cluster penyebaran Covid-19 yang nantinya berdampak pada kesehatan anak Indonesia.
Dalam surat edarannya, IDAI menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar sudah boleh dilakukan secara bertahap dengan beberapa syarat, salah satunya anak boleh mengikuti kegiatannya ini jika sudah mengikuti vaksinasi COVID-19. Selain itu, sekolah turut berperan besar dalam memastikan anak mendapatkan kenyamanan dan keamanan selama mengikuti kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Bagaimana risiko anak yang terinfeksi COVID-19?
Harvard Health Publishing melansir sebuah studi pediatri di China yang menunjukkan sekitar 90% anak yang terinfeksi COVID-19 tidak mengalami gejala atau hanya mengalami gejala ringan hingga sedang.
Hal tersebut berarti ketika anak terkena COVID-19, mereka akan menunjukkan gejala yang lebih ringan seperti demam dan batuk.
Hanya saja, data tersebut terbantahkan dengan data kasus COVID-19 pada anak di Indonesia yang juga berisiko mengalami gejala yang berat. Jadi, pemahaman anak hanya akan mengalami gejala ringan saat terinfeksi COVID-19 terbantahkan.
“Data temuan (IDAI) ini menunjukkan tingginya angka kesakitan dan kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia,” tulis IDAI.
Gejala infeksi COVID-19 pada anak bisa sama dengan orang dewasa seperti batuk, panas, sesak, atau gejala pneumonia. Selain itu, anak yang terinfeksi COVID-19 juga bisa menunjukkan gejala diare, mual, dan muntah.
“Kalau disebut anak (yang terinfeksi COVID-19) tidak bisa fatal itu tidak betul,” jelas dokter Aman.
Dokter Aman mengelompokkan gejala tersebut ke dalam dua jenis yakni pneumonia dan diare. Dua jenis gejala ini harus menjadi perhatian, pneumonia dan diare berada di peringkat teratas penyebab kematian anak di Indonesia. Dari data UNICEF pada 2018, diperkirakan sekitar 19.000 anak Indonesia meninggal dunia akibat pneumonia.
Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi COVID-19 memang ada yang berbeda-beda pada setiap pasien. Infeksi COVID-19 pada anak termasuk kasus yang rumit.
Di Amerika Serikat, puluhan anak dirawat karena mengalami COVID-19 yang gejalanya mirip penyakit kawasaki dan para ahli meyakini penyakit ini ada hubungannya dengan COVID-19. Jika tidak ditangani, penyakit ini bisa merusak pembuluh darah yang mengarah ke jantung.
Gejala berat pada anak yang tertular COVID-19 juga rentan terjadi pada anak dengan penyakit penyerta lainnya.
Apakah anak bisa menularkan pada orangtua?
Meski kebanyakan kasus COVID-19 pada anak tertular dari orangtuanya, tapi anak juga berpotensi menularkan pada orang lain.
Jika anak positif COVID-19 tanpa gejala sulit untuk mengetahui berapa besar potensi mereka menularkan virus corona pada orang lain. Hanya ada sedikit bukti bahwa anak tidak begitu berpotensi menularkan.
Penelitian yang dilakukan oleh University of Queensland menemukan bahwa anak-anak sebagai sumber penularan hanya kurang dari 10% kasus. Laporan ini dipublikasi oleh jurnal The Lancet tapi belum melalui review dari rekan sejawat (peer reviewed).
Untuk mencegah anak menjadi sumber penularan, IDAI menyarankan sekolah, pemerintah, dan orangtua untuk bekerja sama menciptakan lingkungan belajar yang aman bagi si kecil.
Mereka juga menyarankan untuk lebih banyak melakukan screening pada anak. Dokter Aman mengatakan bahwa seharusnya saat pasien anak datang dengan keluhan gejala infeksi COVID-19, ia harus langsung diperiksa.
“Testing harus sebanyak mungkin, yang saya maksud ini PCR bukan rapid test. Rapid test untuk anak, saya belum percaya dengan hasilnya,” kata dr. Aman.
Memperbanyak dan mempercepat deteksi ini selain berfungsi mencegah penularan semakin luas, juga mempercepat penanganan pada anak. Perlu dicatat bahwa deteksi yang terlambat bisa membuat gejala yang timbul semakin parah. “Terlepas dari komorbid (penyakit penyerta), jika deteksinya lebih tinggi maka lebih bisa kita selamatkan,” pungkasnya.