Apakah pengidap hipertensi bisa menerima vaksin COVID-19 atau tidak masih sering dipertanyakan. Semula mereka yang mengidap hipertensi tidak disarankan menerima vaksin sampai tekanan darahnya terkontrol. Namun menurut World Health Organization (WHO) dan Princeton Longevity Center, masyarakat dengan riwayat hipertensi boleh menerima vaksin dengan memperhatikan syarat tertentu.
Korelasi hipertensi dan vaksin COVID-19
Penelitian dalam Journal of Sustainable Community Development menjelaskan penderita hipertensi lebih berisiko tinggi untuk terinfeksi COVID-19 dan mengalami gejala berat. Hal ini terkait dengan tingkat imunitas tubuh yang melemah.
Kondisi dapat memburuk jika individu dengan hipertensi juga telah lanjut usia sehingga sistem kekebalan tubuhnya semakin lemah dalam melawan infeksi virus.
Penelitian lainnya, The Lancet Respiratory Medicine menyebutkan individu dengan riwayat penyakit tidak menular atau komorbid seperti imunosupresi, autoimun, hipertensi, dan penyakit jantung juga memiliki respons antibodi yang jauh lebih rendah.
Hal ini semakin diperkuat melalui penelitian besar dalam Diabetes/Metabolism Research and Reviews yang menunjukkan hasil tes darah antibodi titer penderita hipertensi. Penderita hipertensi memiliki antibodi yang lebih rendah meski telah melakukan vaksinasi. Oleh karena mereka amat mungkin memerlukan booster vaksin dari waktu ke waktu.
Obat antihipertensi sebelum vaksin
Penggunaan obat antihipertensi di masa pandemi masih dalam perdebatan ilmiah. Pasalnya, penggunaan obat antihipertensi seperti golongan ACE inhibitor dan Angiotensin receptor blocker (ARB) bisa meningkatkan kadar enzim Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) dalam tubuh.
Virus SARS-CoV-2 dapat menginfeksi sel tubuh dengan menempel pada ACE2. Sehingga semakin banyaknya enzim ini maka akan meningkatkan infeksi virus yang terjadi.
Namun penelitian American Family Physician tidak menemukan adanya hubungan penggunaan obat antihipertensi dengan tingkat keparahan infeksi COVID-19.
Penggunaan obat antihipertensi dianjurkan untuk tetap dilakukan meski terinfeksi COVID-19. Menghentikan pengobatan justru dikhawatirkan menaikkan angka kesakitan dan angka kematian.
Pastikan untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter terkait penggunaan obat antihipertensi.
[embed-health-tool-heart-rate]
Apakah pengidap hipertensi bisa divaksin?
WHO mengakui bahwa hipertensi, bersama dengan penyakit kardiovaskular lainnya, meningkatkan risiko gejala berat hingga kematian saat terinfeksi COVID-19.
Oleh karena itu, mereka yang memiliki komorbid diharapkan dapat segera mendapat vaksin demi mencegah gejala buruk COVID-19.
Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS, dikutip dari situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, menjelaskan bahwa vaksinasi COVID-19 bisa diberikan pada kelompok komorbid dengan melakukan anamnesis tambahan terkait riwayat penyakit.
Hal tersebut sebagai upaya menanggulangi reaksi anafilaktik. Ini merupakan reaksi hipersensitivitas generalisata atau sistemik yang terjadi dengan cepat, 5-30 menit setelah vaksin.
Jika reaksi ini cukup hebat, bisa menimbulkan syok yang dikenal dengan syok anafilaktik yang membutuhkan pertolongan segera.
Pada kelompok hipertensi, vaksinasi bisa dilakukan selama tekanan darahnya berada di bawah 180/110 MmHg. Pengukuran tekanan darah ini umumnya dilakukan saat skrining.
Pengukuran tekanan darah dapat diulang setelah 5 – 10 menit kemudian. Jika tekanan darah masih tinggi maka pemberian vaksinasi akan ditunda sampai tekanan darah telah terkontrol.
Oleh karena itu, penderita hipertensi dapat divaksinasi selama tekanan darahnya terkontrol.
Apa yang perlu diperhatikan?
Mengutip Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Kementerian Kesehatan RI, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan ketika pengidap hipertensi sebelum mendapat vaksin COVID-19.
Petunjuk ini juga dikhususkan bagi individu yang masuk ke dalam Kelompok Sasaran Lansia, Komorbid, dan Penyintas COVID-19, serta Sasaran Tunda.
- Tekanan darah harus berada di bawah 180/110 mmHg.
- Bagi lansia di atas 60 tahun yang memiliki tiga kondisi kesehatan rendah (kesulitan menaiki tangga, mengidap 5 dari 11 penyakit kronis atau akut, kesulitan berjalan dalam jarak 100-200 meter, dan sering merasa kelelahan), maka vaksin tidak bisa diberikan.
- Suhu tubuh di bawah 37,5 derajat Celcius. Apabila melebihi, maka pemberian vaksin harus ditunda hingga suhu tubuh normal.
- Jika pernah terinfeksi COVID-19, maka vaksinasi dapat dilakukan 1-3 bulan setelah sembuh.
- Apabila pernah kontak erat dengan pasien COVID-19 dalam waktu 14 hari terakhir disertai gejala batuk, pilek, demam, dan sesak napas dalam tujuh hari, maka vaksinasi ditunda hingga 14 hari selepas muncul gejala.
- Ibu hamil merupakan salah satu target prioritas program vaksinasi COVID-19 demi menekan angka risiko penularan dan angka kematian akibat COVID-19. Ibu hamil dapat divaksin dengan syaratnya usia kandungan lebih dari 13 minggu atau 13-33 minggu, tekanan darah normal, tidak punya gejala atau keluhan pre eklampsia, tidak sedang menjalani pengobatan, apabila mempunyai komorbid perlu dalam kondisi terkontrol.
- Pengidap kanker tetap dapat divaksin, namun sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter
- Pada pengidap penyakit diabetes melitus yang teratur, autoimun sistemik, pemilik riwayat penyakit epilepsi, dan HIV apabila dalam kendali dapat memperoleh vaksin COVID-19.
- Jika mempunyai riwayat alergi berat seperti bengkak, sesak napas, dan reaksi berat karena vaksin, vaksinasi COVID-19 perlu dilakukan di rumah sakit. Apabila pada suntik pertama muncul alergi berat, maka dosis kedua tidak dapat diberikan.
- Penyakit akut, kronis, atau belum terkendali misalnya penyakit asma, penyakit jantung, paru obstruktif kronis, penyakit hati, dan gangguan ginjal maka vaksin COVID-19 tidak dapat diberikan.
- Bagi pengidap TBC yang masih berada dalam pengobatan dua minggu lebih dapat menerima suntik vaksin COVID-19.
- Apabila kurang dari satu bulan baru memperoleh vaksinasi lain, maka untuk vaksinasi COVID-19 disarankan ditunda hingga setidaknya selama satu bulan.