Di tahun 2000, penyakit skizofrenia yang saya idap terus membuat saya overthinking dan susah tidur. Saya menjadi agresif dan sempat berkelahi dengan orang lain, bahkan dipukuli masyarakat desa.
Pernah suatu waktu, saat delusi (waham) saya kumat, saya merasa bahwa saya adalah seorang walikota. Di waktu lain, saya juga merasa bahwa saya merupakan jajaran orang berpangkat sekelas jenderal. Kondisi ini kemudian kerap membuat saya jadi bahan cemoohan teman-teman sekitar.
Meskipun mereka tidak menyebut saya gila secara blak-blakan, tapi saya tahu betul gestur tubuh yang mereka tunjukkan. Jari telunjuk yang dimiringkan dan diletakkan di depan dahi. Ya, mereka menyebut saya gila dengan cara ini.
Melihat kondisi tersebut, orangtua saya prihatin. Akhirnya mereka memutuskan untuk membawa saya ke Rumah Sakit Jiwa Swasta Puri Nirmala di Yogyakarta. Pada perawatan pertama di rumah sakit ini, saya tidak bisa menerima kenyataan. Hati dan otak saya tetap bersikeras berkata bahwa, “Saya normal, saya baik-baik saja, kenapa saya dibawa ke rumah sakit jiwa?”
Walaupun hati dan pikiran saya menolak kenyataan tersebut, saya manut dalam mengikuti pengobatan yang dokter rekomendasikan selama masa perawatan.
Pengobatan yang menurut saya cukup ampuh efeknya saat itu adalah terapi electroconvulsive (ECT), yakni pemberian sejumlah kecil arus listrik ke otak. Terapi ini menghilangkan memori jangka pendek sehingga membantu mengatasi kekacauan di otak dan membuat saya jadi lebih tenang.
Sekarang ini, terapi ECT sudah jarang dilakukan karena prosedurnya yang cukup ruwet, seperti butuh anestesi dan pengawasan spesialis. Di lain sisi, pengobatan ini bisa digantikan dengan obat minum dan obat injeksi yang lebih praktis.
Selang lima tahun berikutnya, tepatnya di tahun 2005, saya kembali diopname di rumah sakit jiwa. Setelah sekian lama menolak kenyataan, barulah di pengobatan ini saya menerima bahwa saya memang sakit dan butuh pertolongan medis.
Terakhir, di tahun 2016, saya kembali masuk rumah sakit jiwa. Namun kali ini bukan karena kemauan orangtua atau dokter, tapi atas keinginan saya sendiri.
“Bu, saya kayaknya udah nggak nyaman lagi. Saya merasa overthinking, saya juga nggak bisa tidur”, ujar saya pada Ibu. Mendengar keinginan saya, Ibu saya pun mengiyakan.
Keputusan yang saya ambil saat itu, bukan cuma menimbang kondisi pikiran saya yang kacau. Akan tetapi, juga sebagai cara tepat untuk meminimalisasi interaksi dengan orang lain yang mungkin bisa membebani pikiran saya.
Walaupun waktu itu stigma yang berkembang mengenai rumah sakit jiwa masih negatif, karena selalu dikaitkan dengan “orang gila” tapi saya tahu bahwa saya membutuhkan pengobatan. Jadi, saya mantap menjalani dua minggu pengobatan di rumah sakit jiwa untuk memulihkan kesehatan saya.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar