Jika sebagian dari Anda masih asing dengan istilah sindrom Rotor, wajar karena kondisi ini tergolong sebagai kelainan genetik yang sangat langka. Meskipun begitu, Anda tetap perlu mengetahui gejala dan cara menangani sindrom Rotor dalam ulasan berikut ini.
Apa itu sindrom Rotor?
Sindrom Rotor adalah suatu kelainan genetik yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia).
Bilirubin merupakan senyawa berwarna kuning kecokelatan yang diproduksi dalam hati dengan memecah sel darah merah. Senyawa inilah yang membuat feses normal berwarna kekuningan.
Pengidap sindrom ini memiliki hati (liver) yang kesulitan untuk menyimpan zat bilirubin terkonjugasi, yakni bentuk bilirubin yang telah diproses dan bisa larut.
Akibatnya, bilirubin akan menumpuk dalam aliran darah dan menimbulkan gejala sindrom Rotor.
Dilansir dari buku GeneReviews (2019), jumlah kasus Rotor syndrome tidak diketahui pasti, tetapi umumnya sangat rendah, yakni dapat memengaruhi satu dari 1.000.000 orang.
Tanda dan gejala sindrom Rotor
Gejala yang paling sering terlihat pada pengidap Rotor syndrome adalah menguningnya kulit atau bagian putih mata.
Penyakit kuning atau jaundice yang menyerang pengidap sindrom Rotor biasanya akan terlihat segera setelah mereka lahir atau pada masa kanak-kanak.
Kondisi ini bisa sembuh dan kemudian kambuh kembali. Kendati begitu, gejala yang mungkin terjadi akan berbeda pada setiap orang.
Selain menguningnya kulit dan mata, beberapa gejala lain dari sindrom Rotor meliputi:
- kulit gatal,
- nyeri perut,
- kelelahan,
- demam, dan
- urine berwarna gelap.
Kapan harus ke dokter?
Jika kulit atau bagian putih mata bayi Anda tampak kekuningan, segera hubungi dokter. Pastikan untuk melakukan kunjungan lanjutan dalam kurun dua hari setelah bayi keluar dari rumah sakit.
Penyebab sindrom Rotor
Sindrom Rotor disebabkan oleh perubahan atau mutasi genetik pada dua gen, yakni SLCO1B1 dan SLCO1B3, yang diturunkan dalam pola resesif autosomal.
Penyakit resesif autosomal adalah penyakit yang sifatnya genetik dan diturunkan melalui kromosom autosom (kromosom tubuh) bersamaan dengan gen yang bersifat resesif (gen yang tertutupi oleh gen dominan).
Awal mulanya, gen SLCO1B1 dan SLCO1B3 memberi instruksi untuk membuat protein serupa.
Masing-masing protein tersebut disebut polipeptida pengangkut anion organik 1B1 (OATP1B1) dan polipeptida pengangkut anion organik 1B3 (OATP1B3).
Kedua protein tersebut ditemukan pada sel hati. Protein ini berfungsi mengangkut bilirubin dan zat lain dari darah ke hati sehingga dapat dibersihkan dari tubuh.
Saat sampai di hati, bilirubin dilarutkan dalam cairan empedu, kemudian dikeluarkan dari tubuh.
Mutasi gen SLCO1B1 dan SLCO1B3 menyebabkan terbentuknya protein OATP1B1 dan OATP1B3 yang sangat pendek dan tidak berfungsi.
Pada beberapa kasus, mutasi pada gen SLCO1B1 dan SLCO1B3 juga dapat menggagalkan pembentukan kedua protein tersebut.
Gangguan pada fungsi atau produksi protein tersebut turut menurunkan kemampuan hati untuk menyerap bilirubin dengan efisien dan mengeluarkannya dari dalam tubuh.
Akibatnya, terjadi penumpukan bilirubin. Hal ini menimbulkan penyakit kuning alias jaundice pada pengidap sindrom Rotor.
Pengidap Rotor syndrome memiliki mutasi pada gen SLCO1B1 sekaligus SLCO1B3 sehingga kedua salinan dari dua gen tersebut dapat diubah.
Orangtua dari pengidap kondisi ini masing-masing membawa satu salinan yang diubah dari kedua gen. Namun, mereka tidak menunjukkan gejala dari sindrom ini.
Komplikasi sindrom Rotor
Menurut MedlinePlus, sindrom Rotor termasuk kondisi yang relatif ringan. Belum diketahui ada efek obat yang dapat merugikan pada orang dengan kondisi ini.
Namun, tidak adanya protein OATP1B1 dan OATP1B3 bisa berdampak serius terhadap kemampuan penyerapan hati. Dalam hal ini, OATP1B1 berperan dalam detoksifikasi obat.
Dengan berkurangnya aktivitas protein ini, obat-obatan seperti agen antikanker, metotreksat, dan statin dapat menumpuk dan mengakibatkan keracunan obat.
Oleh karena itu, pengidap kelainan genetik ini disarankan untuk tidak minum obat sembarangan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.
Diagnosis sindrom Rotor
Ketika melakukan diagnosis, dokter akan mengajukan pertanyaan mengenai gejala dan riwayat kesehatan pasien, mengingat bahwa Rotor syndrome adalah kelainan bawaan.
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan tes lain yang dibutuhkan. Apabila kadar bilirubin tinggi, beberapa tes darah yang perlu dilakukan sebagai berikut.
- Hematokrit: mengetahui persentase sel darah merah dalam darah.
- Hitung retikulosit: mengukur jumlah sel darah merah yang baru terbentuk.
- Tes Coombs langsung: memeriksa antibodi tertentu yang melekat pada sel darah merah.
- Tes bilirubin: mengukur jumlah bilirubin total dan bilirubin terkonjugasi dalam darah.
- Golongan darah: mengetahui golongan darah dan status Rh (rhesus) dari bayi baru lahir dan ibu.
Pengobatan sindrom Rotor
Rotor syndrome merupakan penyakit turunan yang tergolong jinak. Itulah mengapa pengobatan untuk kondisi ini cukup dilakukan dengan meredakan gejalanya saja.
Dokter akan menyarankan fototerapi untuk menyingkirkan kelebihan bilirubin dalam tubuh bayi yang mengidap Rotor syndrome parah.
Anda juga bisa mengurangi tingkat keparahannya dengan melakukan perubahan pola makan dan menghindari jenis obat-obatan tertentu.
Apabila Anda memiliki bayi yang menunjukkan gejala penyakit kuning setelah lahir, segera hubungi dokter Anda.
Dokter dapat menegakkan diagnosis dan menentukan langkah penanganan yang tepat pada bayi yang mengidap sindrom ini.
Makin cepat Anda memeriksakan bayi Anda, makin mudah juga sindrom ini untuk ditangani.
Kesimpulan
- Sindrom Rotor (Rotor syndrome) adalah kelainan genetik langka yang ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
- Kelainan ini menyebabkan gejala berupa kulit dan mata kuning, kulit gatal, nyeri perut, kelelahan, demam, dan urine berwarna gelap.
- Penyebab sindrom ini adalah mutasi genetik pada gen SLCO1B1 dan SLCO1B3.
- Anda bisa mengatasi sindrom Rotor dengan fototerapi, mengubah pola makan, serta menghindari obat-obatan tertentu untuk meredakan gejalanya.
[embed-health-tool-bmi]