backup og meta

Mengenal Sindrom Anak Bungsu dan Cara Mengatasinya

DefinisiCiriPenyebabCara mengatasi

Anak bungsu sering disebut sebagai anak manja, keras kepala, atau ingin selalu diperhatikan. Sifat-sifat ini bisa berkaitan dengan sindrom anak bungsu atau youngest child syndrome. Meski bukan gangguan resmi, sindrom ini sering dibahas dalam psikologi karena pengaruhnya terhadap kepribadian. Berikut penjelasan lebih lengkapnya.

Mengenal Sindrom Anak Bungsu dan Cara Mengatasinya

Apa itu sindrom anak bungsu?

Sindrom anak bungsu atau youngest child syndrome adalah istilah populer untuk menggambarkan kecenderungan perilaku pada anak paling kecil dalam keluarga.

Menurut teori Alfred Adler sejak 1927, posisi anak terakhir cenderung membuatnya mudah mendapatkan perhatian dan perlakuan istimewa dari orangtua. 

Dalam studi yang dimuat di Psychological and Cognitive Sciences, meskipun pengaruh urutan kelahiran terhadap kepribadian sering dibantah, ada beberapa pola yang sering muncul. 

Sebagai contoh, anak bungsu umumnya percaya diri, memiliki kepribadian ekstrovert, dan berjiwa sosial tinggi.

Bahkan, mereka cenderung risk-takers, pengusaha, dan menghadapi lebih sedikit tantangan mental dibandingkan saudara lainnya.

Namun tentu saja, tidak semua anak bungsu akan menunjukkan tanda-tanda sindrom ini, karena pola asuh dan lingkungan juga sangat berperan.

[embed-health-tool-vaccination-tool]

Ciri-ciri sindrom anak bungsu

kakak adik tidur sekamar

Mengenali ciri anak bungsu yang mengalami sindrom ini tidak selalu mudah, karena tiap individu unik.

Namun, ada beberapa tanda umum yang sering terlihat dan bisa menjadi pertimbangan orangtua atau pendidik. Berikut penjelasannya.

Ciri-ciri positif

Berikut ciri-ciri positif dari youngest child syndrome.

  • Sosial dan mudah bergaul.
  • Percaya diri tinggi.
  • Kreatif dalam berpikir dan bertindak.
  • Pandai memecahkan masalah.
  • Bisa membuat orang lain membantu mereka. 

Menariknya, banyak aktor dan entertainer terkenal merupakan anak bungsu. Pasalnya, mereka terbiasa mencari perhatian dengan cara yang lucu, menarik, dan menghibur.

Ciri-ciri negatif

Berikut ciri-ciri yang dianggap negatif dari youngest child syndrome.

  • Cenderung dimanja dan sulit mandiri.
  • Sering mengambil risiko tanpa pikir panjang.
  • Kadang dianggap kurang pintar dibanding kakaknya.
  • Terlalu bergantung pada orang lain.
  • Kurang bisa memahami akibat dari tindakan mereka.

Hal ini terjadi karena orangtua sering kali terlalu melindungi anak terakhir atau menyerahkan tanggung jawab pengasuhan ke kakak-kakaknya.

Akibatnya, anak bungsu tidak terbiasa menghadapi kegagalan dan cenderung merasa dirinya “tak terkalahkan”.

Penyebab sindrom anak bungsu

kesalahan orangtua dalam mendidik anak

Penyebab dari sindrom anak bungsu bisa beragam, tetapi umumnya berasal dari pola asuh dan perlakuan keluarga yang tidak disadari.

Anak bungsu sering diperlakukan lebih “lembut” karena dianggap masih kecil, bahkan saat usianya sudah mendekati remaja atau dewasa. Berikut ini beberapa faktor pendukungnya. 

1. Hubungan dengan kakak dan dinamika di dalam keluarga

Salah satu penyebab youngest child syndrome adalah dinamika hubungan antara si bungsu dengan saudara kandung dan orangtua.

Anak terakhir sering dianggap sebagai “si kecil” dalam keluarga, bahkan saat mereka tumbuh besar.

Anak bungsu biasanya lebih ekspresif, haus perhatian, dan cenderung memiliki hubungan lebih dekat dengan ibu dibandingkan dengan saudara lainnya.

Hal ini membuat mereka terlihat lebih kekanak-kanakan dan sulit lepas dari bayang-bayang “anak kecil”.

Dalam keluarga dengan tiga anak atau lebih, sangat umum ditemui bahwa si sulung membantu merawat adik-adiknya.

Sementara itu, si bungsu jadi lebih santai dan kurang terbiasa menyelesaikan masalah sendiri.

Ini menciptakan ketimpangan tanggung jawab dan pengalaman, yang membuat si bungsu kurang terlatih menghadapi tantangan.

Kondisi ini bisa sangat berbeda dari anak tengah yang sering merasa diabaikan, seperti yang dibahas dalam middle child syndrome.

2. Pola asuh dan perhatian yang tidak merata

Pola pengasuhan orangtua juga berperan besar dalam membentuk kepribadian anak bungsu.

Anak pertama sering diasuh dengan penuh kehati-hatian. Namun, saat anak kedua dan ketiga lahir, orangtua cenderung lebih santai.

Sebagai contoh, dot yang jatuh ke lantai mungkin cukup diseka dan langsung diberikan kembali. Hal ini menunjukkan bahwa si bungsu sering tumbuh dalam suasana yang lebih longgar.

Tak hanya itu, ketika jumlah anak bertambah, orangtua juga secara tidak sadar melibatkan si sulung untuk membantu mengurus adik-adiknya.

Akibatnya, si bungsu mendapat perlakuan lebih ringan dan kurang perhatian khusus saat masih kecil. 

Meskipun saat dewasa mereka bisa mendapat waktu eksklusif dengan orangtua, masa kecil yang kurang perhatian tetap berdampak.

Pengalaman ini bisa membentuk youngest child syndrome dalam diri anak bungsu.

Cara mengatasi sindrom anak bungsu

perkembangan anak usia 8 tahun

Jika si Kecil menunjukkan tanda-tanda sindrom anak bungsu, jangan khawatir. Pasalnya, kondisi ini bisa dikendalikan bahkan diperbaiki.

Hal utama adalah menyadari bahwa kepribadian dapat dibentuk ulang melalui pola pikir dan lingkungan baru. Berikut ini beberapa cara yang bisa Anda coba

1. Berikan tanggung jawab sesuai usia

Salah satu langkah paling efektif adalah melibatkan anak bungsu dalam rutinitas keluarga dengan tanggung jawab kecil yang sesuai dengan usianya.

Hal ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti merapikan mainan sendiri, membantu membawa piring ke dapur, atau menyiram tanaman di halaman.

Dengan memberikan peran aktif dalam keseharian, si bungsu tidak akan merasa selalu dilayani.

Mereka belajar bahwa setiap anggota keluarga punya kontribusi, dan ini membangun rasa tanggung jawab serta kemandirian sejak dini.

Hal ini penting agar mereka tidak tumbuh menjadi pribadi yang selalu mengandalkan orang lain.

2. Hindari stereotip urutan lahir (birth order)

Banyak orangtua yang masih terjebak dalam anggapan bahwa anak bungsu pasti manja atau tidak sekuat kakaknya.

Nyatanya, label seperti itu justru bisa membentuk perilaku anak menjadi sesuai dengan ekspektasi tersebut, bukan berdasarkan potensinya yang sebenarnya.

Cobalah untuk melihat setiap anak sebagai individu unik, bukan berdasarkan urutan lahir.

Dengan menghapus stereotip ini, orangtua bisa lebih adil dalam memperlakukan anak-anak mereka dan mencegah terbentuknya youngest child syndrome yang merugikan di masa depan. 

3. Beri ruang untuk mengatasi masalahnya sendiri

Jangan selalu ikut campur setiap kali si bungsu mengalami masalah. Coba berikan anak tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan kecil sendiri, seperti saat berselisih dengan teman atau kakak.

Orangtua tetap bisa memantau, tapi cukup menjadi fasilitator, bukan penyelamat utama. Hal ini membantu si bungsu memahami bahwa tindakannya memiliki konsekuensi.

Mereka juga perlu belajar mengelola emosi serta membuat keputusan sendiri.

Di beberapa keluarga, anak bungsu sering “dibela” secara berlebihan, padahal mereka juga butuh ruang untuk tumbuh mandiri.

4. Adil dalam memberikan perhatian

Perhatian yang tidak merata bisa membuat anak bungsu merasa harus “berjuang” untuk didengar. Terlebih lagi, jika punya kakak yang lebih dewasa dan pandai berbicara.

Penting bagi orangtua untuk menyediakan waktu berkualitas untuk masing-masing anak, termasuk si bungsu, tanpa harus dibandingkan.

Contohnya, meskipun si kakak bisa bercerita panjang soal pelajaran di sekolah, orangtua tetap harus meluangkan waktu mendengarkan cerita sederhana si bungsu.

Ini akan membuat mereka merasa dihargai tanpa harus mencari-cari perhatian dengan cara negatif. 

5. Hindari membandingkan anak dengan kakak

Membandingkan anak dengan orang lain, termasuk si sulung, sangat umum terjadi di dalam keluarga.

Misalnya “Kakak dulu waktu TK sudah bisa baca, kamu kapan?” Padahal, perbandingan semacam ini bisa membuat anak merasa tidak cukup baik dan kehilangan rasa percaya diri.

Setiap anak memiliki jalur tumbuh kembang masing-masing. Sebaiknya, fokuslah pada perkembangan si bungsu tanpa menekan mereka untuk “mengejar” standar kakaknya.

Dengan begitu, mereka akan lebih nyaman menjadi diri sendiri dan tidak merasa harus selalu menjadi “lebih dari” orang lain.

Sindrom anak bungsu bisa berdampak besar pada emosi dan kepribadian anak. Meski bukan gangguan resmi, kondisinya tetap perlu diperhatikan dengan serius.

Maka dari itu, pemahaman tentang ciri, penyebab, dan cara mengatasinya sangat penting bagi orangtua. 

Kesimpulan

  • Sindrom anak bungsu adalah pola perilaku khas pada anak terakhir yang bisa muncul akibat perlakuan istimewa dalam keluarga.
  • Anak bungsu sering dianggap manja atau kurang mandiri karena dinamika dengan kakak dan pola asuh yang tidak merata.
  • Meski begitu, sindrom ini bisa dicegah atau dikurangi dengan memberi tanggung jawab sesuai usia dan menghindari stereotip.
  • Orangtua juga perlu memberi perhatian adil serta membiarkan anak belajar menyelesaikan masalah sendiri.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Rohrer, J. M., Egloff, B., & Schmukle, S. C. (2015). Examining the effects of birth order on personality. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(46), 14224–14229. https://doi.org/10.1073/pnas.1506451112 

Cleveland Clinic. (2022, May 17). Oldest child syndrome: How birth order may shape your personality. Cleveland Clinic Health Essentials. Retrieved 20 June 2025, from https://health.clevelandclinic.org/oldest-child-syndrome-and-birth-order

Damian, R. I., & Roberts, B. W. (2016). Settling the debate on birth order and personality. Personality and Individual Differences, 100, 85–91. https://doi.org/10.1016/j.paid.2016.06.019

Kristensen, C. H., Peixoto, E. M., & Lausen, B. (2021). Birth order and mental health: A systematic review and meta-analysis. Frontiers in Psychiatry, 12, Article 638088. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.638088 

Black, S. E., Grönqvist, E., & Öckert, B. (2018). Born to lead? The effect of birth order on non-cognitive abilities. Journal of Human Resources, 53(1), 123–156. Retrieved 20 June 2025, from https://jhr.uwpress.org/content/53/1/123

Versi Terbaru

03/07/2025

Ditulis oleh Nabila Azmi

Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro, Sp.A

Diperbarui oleh: Ihda Fadila


Artikel Terkait

7 Manfaat Anak Membantu Orangtua di Rumah dan Contohnya

8 Tanggung Jawab dan Peran Adik dalam Keluarga, Tak Kalah Penting


Ditinjau oleh dr. Patricia Lukas Goentoro, Sp.A · Kesehatan Anak · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) · Ditulis oleh Nabila Azmi · Diperbarui 03/07/2025

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan