backup og meta
Kategori
Cek Kondisi

1

Tanya Dokter
Simpan

Awas Disorganisasi Keluarga, Begini Dampaknya pada Anak

Ditinjau secara medis oleh dr. Carla Pramudita Susanto · General Practitioner · Klinik Laboratorium Pramita


Ditulis oleh Reikha Pratiwi · Tanggal diperbarui 05/12/2022

    Awas Disorganisasi Keluarga, Begini Dampaknya pada Anak

    Rumah tangga yang tidak harmonis bukan hanya bisa berdampak pada orangtua, tetapi juga anak-anak. Ini karena hubungan yang tidak terjalin dengan baik di dalam keluarga bisa memicu terjadinya disorganisasi keluarga. Jika dibiarkan terus-menerus, kondisi ini berisiko menimbulkan dampak buruk pada seluruh aspek kehidupan setiap anggota keluarga.

    Apa yang dimaksud dengan disorganisasi keluarga?

    Disorganisasi keluarga adalah suatu kondisi ketika fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan baik akibat terdapat konflik atau masalah di dalam keluarga.

    Contoh masalah pemicu disorganisasi keluarga di antaranya sebagai berikut.

  • Persaingan saudara (sibling rivalry).
  • Orangtua dan anak yang tidak akur.
  • Kekerasan dalam rumah tangga.
  • Gangguan mental.
  • Orangtua tunggal (single parent).
  • Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (NAPZA).
  • Perselingkuhan.
  • Masalah ekonomi, seperti kecanduan judi atau pengangguran.
  • Perlu diingat bahwa masalah bisa saja dialami oleh setiap keluarga.

    Namun, yang membedakan pada disorganisasi keluarga adalah masalah-masalah tersebut terjadi cukup parah hingga bisa menimbulkan dampak negatif dan memengaruhi kebutuhan dasar anggota keluarga yang ada di dalamnya.

    Kebutuhan dasar tersebut bukan hanya berupa materi, seperti makanan dan tempat tinggal, tetapi juga emosional, seperti komunikasi yang sehat, dukungan emosional, dan kasih sayang.

    Kenapa disorganisasi keluarga bisa terjadi?

    anak broken home

    Ada banyak hal yang bisa menjadi pemicu atau penyebab terjadinya disorganisasi keluarga.

    Namun, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kondisi ini adalah trauma berulang yang terjadi di dalam keluarga.

    Trauma tersebut menyebabkan setiap anggota keluarga tidak mampu mengatasi perasaan dan emosi mereka secara sehat.

    Akibatnya, bisa timbul dampak-dampak negatif dalam menjalin hubungan di dalam keluarga.

    Melansir dari Brown University, berdasarkan pemicunya, disorganisasi keluarga bisa dibagi ke dalam beberapa jenis. Berikut beberapa pemicu disorganisasi keluarga.

    1. Komunikasi yang buruk

    Dalam kasus disorganisasi keluarga, kebanyakan anggota keluarga umumnya tidak tahu cara berkomunikasi secara terbuka dengan satu sama lain.

    Akibatnya, masalah yang timbul di dalam keluarga sering kali disembunyikan, sehingga tidak ditangani dengan baik.

    Keluarga dengan kondisi ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang sehat untuk berdiskusi.

    Sebaliknya, mereka tidak mau saling mendengarkan, dan biasanya menggunakan cara komunikasi lain, seperti berteriak atau berkelahi.

    2. Kurang empati dan dukungan emosional

    Tanpa adanya kasih sayang di dalam keluarga, anak-anak bisa mudah merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Terlebih jika orangtua sering kali memarahi anak hanya karena kesalahan kecil.

    Anak pun akan lebih mudah merasa takut untuk berbuat kesalahan atau mengalami kegagalan. Ini bisa membuat anak sulit berkembang dan mencoba hal baru.

    Orangtua yang menelantarkan anak secara emosional juga bisa membuat anak merasa tidak memiliki ruang aman untuk meluapkan emosinya secara jelas dan positif.

    Akibatnya, anak mungkin akan merasa kesepian atau terisolasi dari orangtua mereka dalam situasi ini.

    3. Terlalu mengekang

    Terkadang, orangtua juga bisa terlalu mengekang anak, misal dengan membatasi secara berlebihan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Ini juga termasuk ciri dari toxic parenting.

    Meski anak butuh arahan dan pengawasan dari orangtua, kontrol semacam ini dapat menyebabkan anak-anak ragu terhadap kemampuan mereka, sehingga menjadi tidak percaya diri.

    Anak juga bisa merasa kurang mendapat privasi dari orangtua karena tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan.

    Hal ini bisa membuat anak tidak mandiri atau sebaliknya, tidak jujur kepada orangtua.

    4. Kecanduan zat terlarang

    Menurut penelitian pada jurnal Social Work in Public Health, anak yang diasuh oleh orangtua yang mengalami kecanduan zat terlarang (NAPZA) atau alkohol cenderung memiliki masalah kecanduan yang sama pada kemudian hari.

    Sebagai contoh, anak-anak yang menyaksikan orangtua mereka menggunakan narkotika akan lebih mudah terdorong untuk menggunakan zat yang sama.

    4. Gangguan Mental

    Sering kali, bukan hanya penderita yang mengalami dampak negatif gangguan mental, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, terutama anggota keluarganya.

    Gangguan mental pada orangtua bisa memengaruhi fungsi keluarga, sehingga tidak berjalan dengan baik atau mengalami disorganisasi.

    Ini karena orangtua dengan gangguan mental lah yang cenderung bergantung kepada anak untuk mendapat dukungan emosional, bukan sebaliknya.

    Bahkan, orangtua mungkin bersikap manipulatif terhadap anak dan menyebabkan anak merasa terbebani secara emosional.

    Anak-anak dari orangtua penderita gangguan mental juga memiliki kecenderungan untuk menderita penyakit yang sama karena faktor genetik.

    6. Terlalu menuntut dan mengkritik

    Setiap orangtua pasti mengharapkan anaknya berprestasi. Namun, jika orangtua terlalu menuntut anak untuk bisa sesuai dengan harapan mereka, anak mungkin akan merasa tertekan.

    Tentunya, hal ini bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Anak mungkin akan menjadi takut gagal dan terlalu perfeksionis.

    Orangtua yang sering merendahkan dan menggurui anak dengan kejam juga bisa menanamkan rasa tidak berdaya dan kurang percaya diri pada anak. Anak pun berisiko memiliki harga diri yang rendah.

    7. Kekerasan dan pelecehan

    Pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun verbal, bisa berdampak buruk pada anak.

    Anak yang terbiasa dibentak atau dipukul sedari kecil bisa menganggap bahwa hal ini merupakan sesuatu yang wajar, sehingga ia berpotensi melakukan hal yang sama kepada keturunannya.

    Bisa juga, anak yang tahu bahwa ini sesuatu yang salah mungkin akan merasa malu. Anak pun akhirnya menjadi takut untuk meminta pertolongan dan memilih menyembunyikannya dari orang lain.

    Adakah dampak disorganisasi keluarga terhadap anak?

    Tumbuh dengan disorganisasi keluarga umumnya dapat memiliki dampak negatif pada anak-anak. Dampak tersebut sering kali dapat diamati dari pola perilaku anak yang meliputi berikut ini.

    • Memiliki citra diri yang buruk serta rasa percaya diri dan harga diri yang rendah.
    • Sulit membentuk hubungan yang sehat saat dewasa, pemalu, atau memiliki gangguan kepribadian.
    • Anak mudah marah dan lebih suka menyendiri.
    • Memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan pikiran untuk bunuh diri.
    • Rentan mengalami kecanduan alkohol, obat-obatan, atau merokok.
    • Rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan paranoia.
    • Prestasi akademik anak biasanya buruk karena anak sulit berkonsentrasi dan fokus.
    • Anak kurang disiplin dan tidak bertanggung jawab karena tidak memiliki panutan untuk diteladani saat tumbuh dewasa.
    • Anak kehilangan sifat polos anak kecil karena harus mengambil tanggung jawab besar sejak usia dini.

    Bagaimana cara mengatasi disorganisasi keluarga?

    Peran Ayah dan Ibu Dalam Keluarga

    Jika Anda merasa mengalami disorganisasi keluarga, ada beberapa upaya yang bisa Anda lakukan sebagai orangtua untuk memperbaiki kondisi keluarga Anda, di antaranya sebagai berikut.

    1. Belajar bertanggung jawab terhadap keluarga

    Sebagai orang dewasa, sangat penting bagi Anda untuk mulai bertanggung jawab terhadap setiap hal yang Anda lakukan.

    Anda juga perlu belajar memenuhi kewajiban bukan hanya terhadap diri Anda sendiri, tetapi juga keluarga Anda. Usahakan untuk selalu menjadi panutan yang baik bagi seluruh anggota keluarga.

    2. Cari bantuan ahli

    Jika dirasa perlu, Anda juga bisa meminta bantuan ahli, seperti psikolog, untuk membantu Anda mengatasi masalah yang memengaruhi hubungan di dalam keluarga.

    Ini utamanya perlu dilakukan jika sudah timbul perilaku atau kecenderungan yang berbahaya, misal perkelahian hingga melakukan kekerasan fisik.

    3. Jalin komunikasi yang baik dengan keluarga

    Coba utarakan kepada keluarga dengan cara yang lebih baik mengenai keinginan Anda untuk memperbaiki hubungan. Hindari memarahi atau berlaku kasar kepada pasangan atau anak.

    Anda mungkin bisa mengusulkan untuk melakukan diskusi bersama terkait apa saja keinginan dan saran dari masing-masing anggota keluarga.

    4. Bangun kepercayaan di dalam keluarga

    Mungkin cukup sulit untuk mulai percaya pada seseorang yang sudah membuat Anda kecewa berulang kali, terutama keluarga yang diharapkan bisa dekat dengan Anda.

    Namun seiring waktu, kepercayaan di antara sesama bisa timbul jika terus dibangun dan dijaga. Awali dengan saling memaafkan dan mendukung satu sama lain di dalam keluarga.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Carla Pramudita Susanto

    General Practitioner · Klinik Laboratorium Pramita


    Ditulis oleh Reikha Pratiwi · Tanggal diperbarui 05/12/2022

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan