Rumah tangga yang tidak harmonis bukan hanya bisa berdampak pada orangtua, tetapi juga anak-anak. Ini karena hubungan yang tidak terjalin dengan baik di dalam keluarga bisa memicu terjadinya disorganisasi keluarga. Jika dibiarkan terus-menerus, kondisi ini berisiko menimbulkan dampak buruk pada seluruh aspek kehidupan setiap anggota keluarga.
Apa yang dimaksud dengan disorganisasi keluarga?
Disorganisasi keluarga adalah suatu kondisi ketika fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan baik akibat terdapat konflik atau masalah di dalam keluarga.
Contoh masalah pemicu disorganisasi keluarga di antaranya sebagai berikut.
- Persaingan saudara (sibling rivalry).
- Orangtua dan anak yang tidak akur.
- Kekerasan dalam rumah tangga.
- Gangguan mental.
- Orangtua tunggal (single parent).
- Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (NAPZA).
- Perselingkuhan.
- Masalah ekonomi, seperti kecanduan judi atau pengangguran.
Perlu diingat bahwa masalah bisa saja dialami oleh setiap keluarga.
Namun, yang membedakan pada disorganisasi keluarga adalah masalah-masalah tersebut terjadi cukup parah hingga bisa menimbulkan dampak negatif dan memengaruhi kebutuhan dasar anggota keluarga yang ada di dalamnya.
Kebutuhan dasar tersebut bukan hanya berupa materi, seperti makanan dan tempat tinggal, tetapi juga emosional, seperti komunikasi yang sehat, dukungan emosional, dan kasih sayang.
Kenapa disorganisasi keluarga bisa terjadi?
Ada banyak hal yang bisa menjadi pemicu atau penyebab terjadinya disorganisasi keluarga.
Namun, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kondisi ini adalah trauma berulang yang terjadi di dalam keluarga.
Trauma tersebut menyebabkan setiap anggota keluarga tidak mampu mengatasi perasaan dan emosi mereka secara sehat.
Akibatnya, bisa timbul dampak-dampak negatif dalam menjalin hubungan di dalam keluarga.
Melansir dari Brown University, berdasarkan pemicunya, disorganisasi keluarga bisa dibagi ke dalam beberapa jenis. Berikut beberapa pemicu disorganisasi keluarga.
1. Komunikasi yang buruk
Dalam kasus disorganisasi keluarga, kebanyakan anggota keluarga umumnya tidak tahu cara berkomunikasi secara terbuka dengan satu sama lain.
Akibatnya, masalah yang timbul di dalam keluarga sering kali disembunyikan, sehingga tidak ditangani dengan baik.
Keluarga dengan kondisi ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang sehat untuk berdiskusi.
Sebaliknya, mereka tidak mau saling mendengarkan, dan biasanya menggunakan cara komunikasi lain, seperti berteriak atau berkelahi.
2. Kurang empati dan dukungan emosional
Tanpa adanya kasih sayang di dalam keluarga, anak-anak bisa mudah merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Terlebih jika orangtua sering kali memarahi anak hanya karena kesalahan kecil.
Anak pun akan lebih mudah merasa takut untuk berbuat kesalahan atau mengalami kegagalan. Ini bisa membuat anak sulit berkembang dan mencoba hal baru.
Orangtua yang menelantarkan anak secara emosional juga bisa membuat anak merasa tidak memiliki ruang aman untuk meluapkan emosinya secara jelas dan positif.
Akibatnya, anak mungkin akan merasa kesepian atau terisolasi dari orangtua mereka dalam situasi ini.
3. Terlalu mengekang
Terkadang, orangtua juga bisa terlalu mengekang anak, misal dengan membatasi secara berlebihan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Ini juga termasuk ciri dari toxic parenting.
Meski anak butuh arahan dan pengawasan dari orangtua, kontrol semacam ini dapat menyebabkan anak-anak ragu terhadap kemampuan mereka, sehingga menjadi tidak percaya diri.
Anak juga bisa merasa kurang mendapat privasi dari orangtua karena tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan.
Hal ini bisa membuat anak tidak mandiri atau sebaliknya, tidak jujur kepada orangtua.
4. Kecanduan zat terlarang
Menurut penelitian pada jurnal Social Work in Public Health, anak yang diasuh oleh orangtua yang mengalami kecanduan zat terlarang (NAPZA) atau alkohol cenderung memiliki masalah kecanduan yang sama pada kemudian hari.
Sebagai contoh, anak-anak yang menyaksikan orangtua mereka menggunakan narkotika akan lebih mudah terdorong untuk menggunakan zat yang sama.
4. Gangguan Mental
Sering kali, bukan hanya penderita yang mengalami dampak negatif gangguan mental, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, terutama anggota keluarganya.
Gangguan mental pada orangtua bisa memengaruhi fungsi keluarga, sehingga tidak berjalan dengan baik atau mengalami disorganisasi.
Ini karena orangtua dengan gangguan mental lah yang cenderung bergantung kepada anak untuk mendapat dukungan emosional, bukan sebaliknya.
Bahkan, orangtua mungkin bersikap manipulatif terhadap anak dan menyebabkan anak merasa terbebani secara emosional.
Anak-anak dari orangtua penderita gangguan mental juga memiliki kecenderungan untuk menderita penyakit yang sama karena faktor genetik.
6. Terlalu menuntut dan mengkritik
Setiap orangtua pasti mengharapkan anaknya berprestasi. Namun, jika orangtua terlalu menuntut anak untuk bisa sesuai dengan harapan mereka, anak mungkin akan merasa tertekan.
Tentunya, hal ini bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Anak mungkin akan menjadi takut gagal dan terlalu perfeksionis.
Orangtua yang sering merendahkan dan menggurui anak dengan kejam juga bisa menanamkan rasa tidak berdaya dan kurang percaya diri pada anak. Anak pun berisiko memiliki harga diri yang rendah.
7. Kekerasan dan pelecehan
Pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun verbal, bisa berdampak buruk pada anak.
Anak yang terbiasa dibentak atau dipukul sedari kecil bisa menganggap bahwa hal ini merupakan sesuatu yang wajar, sehingga ia berpotensi melakukan hal yang sama kepada keturunannya.
Bisa juga, anak yang tahu bahwa ini sesuatu yang salah mungkin akan merasa malu. Anak pun akhirnya menjadi takut untuk meminta pertolongan dan memilih menyembunyikannya dari orang lain.