Kecemasan, stres, atau depresi bisa hadir dalam hidup setiap orang. Terkadang, kondisi ini bisa menimbulkan keputusasaan yang mendalam dan memunculkan krisis eksistensi.
Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)
Kecemasan, stres, atau depresi bisa hadir dalam hidup setiap orang. Terkadang, kondisi ini bisa menimbulkan keputusasaan yang mendalam dan memunculkan krisis eksistensi.
Krisis eksistensi adalah perasaan tidak nyaman tentang makna, pilihan, dan kebebasan dalam hidup. Kondisi ini juga disebut kecemasan eksistensial (existential anxiety).
Orang yang mengalaminya kerap kali mempertanyakan tujuan hidupnya di dunia. Lalu, konflik dalam diri akan timbul karena ia gagal memperoleh jawaban yang memuaskan.
Kondisi ini menimbulkan frustasi dan kehilangan rasa suka cita. Ini bisa membuat seseorang beranggapan bahwa hidup pada dasarnya tidak ada gunanya dan keberadaan dirinya juga tidaklah berarti.
Krisis eksistensial sering muncul selama periode transisi, yaitu ketika seseorang merasa kesulitan beradaptasi. Hal ini kerap kali terkait dengan hilangnya rasa keamanan dan kenyamanan.
Kecemasan eksistensial merupakan sebuah payung dari beberapa jenis masalah seperti di bawah ini.
Eksistensialisme menekankan bahwa semua orang bebas untuk membuat pilihan dalam hidup. Dengan adanya kebebasan membuat pilihan, muncul rasa tanggung jawab.
Namun, mengingat semuanya akan berakhir dengan kematian, tindakan Anda bisa tampak tidak berarti.
Pada akhirnya, Anda akan menyimpulkan bahwa kebebasan menyebabkan keputusasaan. Tanggung jawab yang menyertai kebebasan ini pun menyebabkan kecemasan.
Ketakutan mengambil keputusan yang salah ini mencerminkan kecemasan tentang kebebasan yang terkait dengan masalah eksistensial.
Jika Anda punya krisis eksistensi, mungkin pernah tebersit, “Apa gunanya hidup?” saat Anda menghadapi perubahan dalam hidup dan merasa kehilangan rasa aman.
Apabila semua hal yang sudah dilakukan pada akhirnya berujung dengan kematian, Anda mungkin berkesimpulan untuk apa bekerja keras dan sebagainya.
Kecemasan ini umumnya menyerang pada usia tertentu. Contohnya pada orang yang berulang tahun ke-50 tahun, mereka dapat merefleksikan arti hidup yang sudah setengah abad ini.
Selain itu, mungkin juga timbul pertanyaan seperti, “Apa yang terjadi setelah kematian?”. Rasa takut akan apa yang terjadi setelah kematian bisa memicu kecemasan berlebihan.
Meski Anda menikmati kesendirian, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Hubungan yang kuat dengan orang lain dapat membawa kepuasan dan kegembiraan batin.
Permasalahannya, hubungan ini tidaklah selalu permanen. Anda mungkin terpisah secara fisik dan emosional, bahkan kematian sering memisahkan orang yang dicintai.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan isolasi dan kesepian sehingga membuat beberapa orang merasa bahwa hidup mereka tidak ada gunanya.
Tidak membiarkan diri merasakan emosi negatif bisa menyebabkan krisis eksistensi. Sebagian orang menahan penderitaan dengan berpikir bahwa hal ini akan membuat mereka bahagia.
Namun, hal ini malah menjadi bumerang karena dapat menyebabkan rasa bahagia yang salah. Ketika Anda tidak mengalami kebahagiaan sejati, tentu hidup bisa terasa hampa.
Di sisi lain, mewujudkan emosi serta mengakui rasa sakit dan ketidakpuasan dapat membuka pintu menuju pertumbuhan diri dan meningkatkan pandangan hidup.
Secara umum, krisis eksistensi pada manusia paling sering diawali dengan gejala kecemasan.
Kondisi ini selanjutnya diikuti dengan perasaan kewalahan, kurangnya motivasi dalam melakukan sesuatu, kecenderungan untuk menjauhkan diri dari orang sekitar, hingga depresi.
Kesemua tanda tersebut pada umumnya timbul setelah seseorang mengalami peristiwa besar dalam hidupnya, seperti:
Tantangan dan tekanan dalam hidup sehari-hari bisa menjadi pemicu kecemasan eksistensial.
Penyebab lain dapat mencakup perasaan bersalah yang berkepanjangan (guilt complex), menghadapi kematian karena sakit parah, ketidakpuasan pada diri sendiri, dan kehilangan orang yang dicintai.
Seseorang yang mengidap penyakit mental, seperti depresi, gangguan obsesif kompulsif (OCD), dan borderline personality disorder, juga berisiko mengalami kondisi ini.
Apabila Anda merasa mengalami krisis eksistensi, konsultasi dengan psikolog dapat membantu Anda mengatasi masalah ini.
Dikutip dari laman Cleveland Clinic, berikut ini adalah beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk mengatasi dan menghadapi kecemasan eksistensial.
Alih-alih menganggap situasi tertentu sebagai sumber kecemasan atau hal yang buruk, Anda dapat melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Sebagai contoh, alih-alih merasa takut dengan lingkungan tempat kerja yang baru, Anda bisa menjadikannya kesempatan untuk belajar hal baru.
Cobalah untuk melihat situasi tersebut sebagai peluang untuk melakukan perubahan yang akan membuat diri menjadi lebih bahagia.
Buat jurnal dan tuliskan hal-hal yang Anda syukuri agar hidup terasa lebih bermakna.
Selain itu, Anda juga bisa mencatat apa saja yang ingin Anda lakukan untuk membuat hidup Anda menjadi lebih bahagia ke depannya.
Krisis eksistensi bisa terjadi karena Anda terputus dari orang-orang dalam hidup Anda. Bangun lagi komunikasi dengan orang terkasih, misalnya dengan menghubungi teman atau orangtua.
Anda juga bisa menjalin pertemanan dengan orang baru yang memiliki minat atau hobi yang sama. Dengan begitu, Anda bisa merasa terhubung dengan orang lain.
Luangkan sebagian waktu untuk merasakan hal-hal di sekitar Anda menggunakan indera yang Anda miliki.
Contohnya, Anda bisa menikmati keindahan alam dengan berkemah atau mendaki gunung. Hirup udara bersih melalui hidung dan dengarkan desir angin di sekitar Anda.
Cobalah move on dari masa lalu yang membuat Anda tertekan, stres, atau merasa tidak berdaya.
Daripada terus melihat ke belakang dan menyesali apa yang telah terjadi, cobalah mulai melangkah ke depan untuk menciptakan perubahan dalam hidup Anda.
Pada beberapa kasus, krisis eksistensi dapat memicu perilaku menyakiti diri sendiri (self harm) dan bahkan pemikiran untuk bunuh diri.
Jika muncul pikiran untuk bunuh diri, Anda mungkin bisa mempertimbangkan konsultasi dengan psikolog atau psikiater untuk mengatasinya.
Catatan
Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.
Ditinjau secara medis oleh
dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.
General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar