Kecemasan, stres, atau depresi bisa hadir dalam hidup setiap orang. Terkadang, kondisi ini bisa menimbulkan keputusasaan yang mendalam dan memunculkan krisis eksistensi.
Apa itu krisis eksistensi?
Krisis eksistensi adalah perasaan tidak nyaman tentang makna, pilihan, dan kebebasan dalam hidup. Kondisi ini juga disebut kecemasan eksistensial (existential anxiety).
Orang yang mengalaminya kerap kali mempertanyakan tujuan hidupnya di dunia. Lalu, konflik dalam diri akan timbul karena ia gagal memperoleh jawaban yang memuaskan.
Kondisi ini menimbulkan frustasi dan kehilangan rasa suka cita. Ini bisa membuat seseorang beranggapan bahwa hidup pada dasarnya tidak ada gunanya dan keberadaan dirinya juga tidaklah berarti.
Krisis eksistensial sering muncul selama periode transisi, yaitu ketika seseorang merasa kesulitan beradaptasi. Hal ini kerap kali terkait dengan hilangnya rasa keamanan dan kenyamanan.
Tahukah Anda?
Macam-macam krisis eksistensi
Kecemasan eksistensial merupakan sebuah payung dari beberapa jenis masalah seperti di bawah ini.
1. Krisis akan kebebasan dan tanggung jawab
Eksistensialisme menekankan bahwa semua orang bebas untuk membuat pilihan dalam hidup. Dengan adanya kebebasan membuat pilihan, muncul rasa tanggung jawab.
Namun, mengingat semuanya akan berakhir dengan kematian, tindakan Anda bisa tampak tidak berarti.
Pada akhirnya, Anda akan menyimpulkan bahwa kebebasan menyebabkan keputusasaan. Tanggung jawab yang menyertai kebebasan ini pun menyebabkan kecemasan.
Ketakutan mengambil keputusan yang salah ini mencerminkan kecemasan tentang kebebasan yang terkait dengan masalah eksistensial.
2. Krisis dengan arti kehidupan dan kematian
Jika Anda punya krisis eksistensi, mungkin pernah tebersit, “Apa gunanya hidup?” saat Anda menghadapi perubahan dalam hidup dan merasa kehilangan rasa aman.
Apabila semua hal yang sudah dilakukan pada akhirnya berujung dengan kematian, Anda mungkin berkesimpulan untuk apa bekerja keras dan sebagainya.
Kecemasan ini umumnya menyerang pada usia tertentu. Contohnya pada orang yang berulang tahun ke-50 tahun, mereka dapat merefleksikan arti hidup yang sudah setengah abad ini.
Selain itu, mungkin juga timbul pertanyaan seperti, “Apa yang terjadi setelah kematian?”. Rasa takut akan apa yang terjadi setelah kematian bisa memicu kecemasan berlebihan.
3. Krisis isolasi dan keterhubungan
Meski Anda menikmati kesendirian, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Hubungan yang kuat dengan orang lain dapat membawa kepuasan dan kegembiraan batin.
Permasalahannya, hubungan ini tidaklah selalu permanen. Anda mungkin terpisah secara fisik dan emosional, bahkan kematian sering memisahkan orang yang dicintai.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan isolasi dan kesepian sehingga membuat beberapa orang merasa bahwa hidup mereka tidak ada gunanya.
4. Krisis emosi, pengalaman, dan perwujudan
Tidak membiarkan diri merasakan emosi negatif bisa menyebabkan krisis eksistensi. Sebagian orang menahan penderitaan dengan berpikir bahwa hal ini akan membuat mereka bahagia.
Namun, hal ini malah menjadi bumerang karena dapat menyebabkan rasa bahagia yang salah. Ketika Anda tidak mengalami kebahagiaan sejati, tentu hidup bisa terasa hampa.
Di sisi lain, mewujudkan emosi serta mengakui rasa sakit dan ketidakpuasan dapat membuka pintu menuju pertumbuhan diri dan meningkatkan pandangan hidup.
Ciri-ciri krisis eksistensi
Secara umum, krisis eksistensi pada manusia paling sering diawali dengan gejala kecemasan.
Kondisi ini selanjutnya diikuti dengan perasaan kewalahan, kurangnya motivasi dalam melakukan sesuatu, kecenderungan untuk menjauhkan diri dari orang sekitar, hingga depresi.
Kesemua tanda tersebut pada umumnya timbul setelah seseorang mengalami peristiwa besar dalam hidupnya, seperti:
- perubahan karier,
- kehilangan orang yang disayangi,
- didiagnosis penyakit yang mengancam jiwa,
- memasuki usia 40 tahun ke atas,
- pengalaman traumatis,
- menghadapi perceraian, dan
- memiliki anak.
Penyebab krisis eksistensi
Tantangan dan tekanan dalam hidup sehari-hari bisa menjadi pemicu kecemasan eksistensial.
Penyebab lain dapat mencakup perasaan bersalah yang berkepanjangan (guilt complex), menghadapi kematian karena sakit parah, ketidakpuasan pada diri sendiri, dan kehilangan orang yang dicintai.
Seseorang yang mengidap penyakit mental, seperti depresi, gangguan obsesif kompulsif (OCD), dan borderline personality disorder, juga berisiko mengalami kondisi ini.