Fisik dan jiwa merupakan satu kesatuan dari makhluk hidup. Namun tidak jarang, Anda mungkin merasakan bahwa keduanya terpisah, sehingga merasa hidup dalam mimpi. Jika perasaan tersebut terus-menerus terjadi, bisa jadi Anda mengidap gangguan depersonalisasi.
Apa itu gangguan depersonalisasi?
Gangguan depersonalisasi adalah kondisi di mana Anda merasa terpisah dari diri Anda sendiri. Anda bahkan merasa menjadi “penonton” diri Anda sendiri layaknya di dalam mimpi.
Dengan kondisi seperti itu, gangguan depersonalisasi bisa membuat pengidapnya merasa kehilangan kendali untuk mengontrol pikiran dan perbuatan. Sebab, mereka merasa terpisah dari diri sendiri.
Gangguan depersonalisasi memang termasuk dalam gangguan disosiatif.
Oleh karena itu, kondisi ini erat kaitannya dengan terganggunya kemampuan seseorang untuk berpikir, bertindak, bahkan mengenali diri sendiri.
Depersonalization disorder juga erat kaitannya atas derealisasi atau perasaan terpisah dari lingkungan sekitar.
Tanda dan gejala gangguan depersonalisasi
Mengutip dari laman Cleveland Clinic, berikut adalah gejala utama seseorang mengidap gangguan depersonalisasi.
- Terputus dari pikiran, perasaan, dan tubuh.
- Terputus dari lingkungan.
- Bertindak seperti robot.
- Tidak percaya dengan ingatan yang Anda miliki.
- Merasa bukan diri sendiri.
- Melihat diri sendiri di luar tubuh.
- Berpikir seperti hidup di dalam mimpi.
- Mati rasa secara emosional atau fisik.
- Panik, cemas, hingga depresi karena merasa hilang kendali atas diri sendiri.
Jika Anda pernah merasakan berbagai kondisi tersebut secara singkat, depersonalisasi bukanlah sesuatu hal yang berbahaya.
Namun, jika berbagai kondisi tersebut terus berulang hingga mengganggu aktivitas harian, penting untuk segera konsultasi ke psikolog.
Penyebab gangguan depersonalisasi
Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebab gangguan depersonalisasi.
Kondisi ini bisa muncul dengan sendirinya atau berkaitan dengan gangguan kesehatan mental lainnya seperti skizofrenia hingga demensia.
Selain itu, depersonalization disorder juga kerap dikaitkan sebagai gejala penyakit otak atau gangguan kejang.
Gangguan depersonalisasi juga lebih rentan terjadi pada beberapa kondisi seperti berikut.
- Kepribadian tertentu yang membuat seseorang ingin menghindari atau menyangkal situasi sulit.
- Trauma, baik mengalaminya sendiri atau melihat orang lain.
- Riwayat keluarga dengan kondisi serupa.
- Stres berat terkait hubungan, keuangan, hingga pekerjaan.
- Depresi atau kecemasan berkepanjangan.
- Mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti halusinogen.
Tahukah Anda?
Komplikasi gangguan depersonalisasi
Dari proses depersonalisasi yang berkepanjangan, pengidapnya bisa merasakan berbagai dampak negatif . Sebab kondisi ini bisa melumpuhkan kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Berikut adalah risiko komplikasi lain pada seseorang dengan depersonalization disorder.
- Kesulitan untuk fokus dan mengingat sesuatu.
- Kehilangan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
- Perasaan putus asa.
- Timbul masalah dalam hubungan keluarga, teman, dan pekerjaan.
- Kecemasan atau depresi.
Diagnosis gangguan depersonalisasi
Situs Sparrow menjelaskan beberapa cara berikut untuk mendiagnosis depersonalization disorder.
- Pemeriksaan fisik: Melihat gejala yang ada dan mencari tahu apakah ada kondisi fisik yang mendasarinya.
- Tes laboratorium: Tes darah atau urine untuk mencari tahu ada tidaknya kondisi lain yang menyebabkan depersonalisasi pasiennya. CT Scan bisa juga dibutuhkan untuk melihat ada tidaknya penyakit otak.
- Evaluasi psikiatri: Mengajukan pertanyaan terkait gejala, pikiran, perasaan, dan pola perilaku pasien.
- DSM-5: Panduan diagnosis penyakit mental sesuai dengan American Psychiatric Association
Selama proses pemeriksaan, dokter perlu mengesampingkan kondisi lain yang mungkin berkaitan dengan gejala yang ada.