Setiap ibu hamil tentu mendambakan kehamilan yang sehat. Sayangnya, kadang ada beberapa gangguan yang mungkin terjadi saat hamil, salah satunya kelainan plasenta. Tak bisa disepelekan, gangguan plasenta pada ibu hamil berisiko menimbulkan komplikasi bagi janin di dalam kandungan.
Oleh karena itu, ibu hamil perlu mewaspadai kondisi ini dengan memahami berbagai kelainan plasenta, baik dari letak maupun bentuk. Simak pembahasannya lebih dalam, yuk!
Berbagai kelainan plasenta yang berisiko bagi kehamilan
Plasenta adalah lapisan yang melindungi janin selama tumbuh dan berkembang di dalam rahim.
Umumnya, plasenta menempel pada dinding rahim di bagian atas, samping, depan, maupun belakang. Organ ini terhubung langsung ke bayi melalui bantuan tali pusar.
Fungsi plasenta selama kehamilan sangatlah penting karena memberikan pasokan oksigen dan nutrisi bagi janin.
Selain itu, plasenta juga bertugas membuang sisa kotoran yang tidak terpakai dari janin.
Namun, kondisi plasenta tidak selalu baik. Ada kalanya organ ini bermasalah sehingga menimbulkan risiko bagi janin.
Ketika ada gangguan, dokter biasanya baru bisa mendeteksi kelainan plasenta melalui pemeriksaan USG kandungan sekitar trimester kedua, yakni di kisaran usia kehamilan 18—20 minggu.
Meski begitu, ada pula gangguan plasenta pada ibu hamil yang baru terlihat di trimester ketiga.
Nah, apa saja gangguan atau kelainan plasenta yang mungkin terjadi? Berikut jenisnya.
1. Plasenta previa
Ibu hamil dikatakan mengalami plasenta previa ketika plasenta menutupi sebagian maupun seluruh jalan lahir, yakni leher rahim (serviks).
Plasenta previa, atau disebut juga plasenta letak rendah, tak hanya menutupi tapi juga menempel di bagian bawah rahim.
Biasanya, plasenta previa muncul di awal masa kehamilan dan dapat hilang maupun semakin parah seiring berkembangnya rahim.
Kelainan plasenta yang satu ini tidak boleh disepelekan karena dapat mengakibatkan perdarahan vagina yang parah selama kehamilan maupun persalinan.
Jika kondisi ini tidak kunjung membaik, bahkan masih terus ada hingga trimester ketiga, dokter umumnya menyarankan Anda untuk menjalani operasi caesar.
2. Solusio plasenta
Solusio plasenta atau abrupsi plasenta terjadi ketika plasenta lepas (luruh) dari dinding rahim sebelum persalinan.
Gangguan plasenta pada ibu hamil ini berisiko menyebabkan janin tidak mendapatkan aliran nutrisi dan oksigen yang seharusnya karena sudah terputus.
Pendarahan vagina, kontraksi, sakit perut, serta kelainan detak jantung janin adalah tanda-tanda dari solusio plasenta.
Kondisi ini perlu diwaspadai di trimester ketiga kehamilan. Namun, solusio plasenta bisa terjadi kapan saja, khususnya setelah usia kehamilan 20 minggu.
Jika ibu hamil mengalami solusio plasenta, kemungkinan besar akan terjadi persalinan prematur.
3. Plasenta akreta
Kebalikan dari solusio plasenta, plasenta akreta adalah kondisi saat plasenta melekat terlalu erat di dinding rahim.
Kelainan plasenta ini terjadi karena pembuluh darah dan bagian lain dari plasenta berkembang atau tumbuh terlalu dalam pada rahim.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan (Obgyn) dapat mendiagnosis kondisi ini melalui pemeriksaan USG.
Seperti jenis gangguan plasenta lainnya, plasenta akreta juga berisiko membahayakan ibu hamil dan janinnya.
Kondisi ini dapat menyebabkan persalinan prematur, perdarahan hebat, bahkan berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
4. Retensi plasenta
Saat proses persalinan, idealnya plasenta sudah harus keluar dari rahim tidak lama setelah bayi lahir.
Akan tetapi, pada kondisi tertentu, plasenta mungkin saja tertahan di dalam rahim sehingga tidak bisa keluar. Ini disebut dengan retensi atau retensio plasenta.
Penyebab retensio plasenta bisa disebabkan beberapa hal, entah karena masih menempel di dinding rahim atau terjebak di belakang rahim yang sudah tertutup sebagian.
Kelainan plasenta ini harus segera ditangani agar tidak menimbulkan infeksi dan perdarahan yang berisiko fatal.
5. Pengapuran plasenta
Pengapuran plasenta adalah penuaan plasenta yang bisa disebabkan oleh penumpukan kalsium.
Kondisi ini dapat terdeteksi selama pemeriksaan USG kehamilan ketika tampak bintik-bintik putih pada plasenta.
Pengapuran plasenta berisiko terjadi di usia kehamilan berapa pun, khususnya 28—34 minggu.
Ibu hamil dengan plasenta previa, diabetes, dan tekanan darah tinggi, berisiko mengalami kelainan plasenta ini.
Pada usia kehamilan sebelum 32 minggu, ibu hamil punya risiko untuk mengalami pengapuran plasenta.
Ini disebut dengan pengapuran plasenta prematur awal yang berisiko menimbulkan risiko berikut:
- solusio plasenta,
- kelahiran prematur,
- bayi lahir dengan skor Apgar rendah, dan
- kelahiran mati (still birth).
6. Insufisiensi plasenta
Selanjutnya, kelainan pada bentuk plasenta yang mungkin terjadi selama kehamilan adalah insufisiensi plasenta.
Jenis gangguan plasenta yang satu ini ditandai dengan perkembangan plasenta yang tidak sempurna atau cenderung rusak.
Alhasil, janin di dalam kandungan tidak mendapatkan asupan nutrisi dan oksigen secara optimal.
Insufisiensi plasenta berisiko membuat janin tidak tumbuh dengan baik, janin stres, bahkan kesulitan saat persalinan.
Faktor yang meningkatkan risiko kelainan plasenta
Ibu hamil di usia berapa pun sebenarnya berisiko mengalami kelainan plasenta. Namun, risiko ini bisa lebih tinggi pada ibu hamil berusia 40 tahun ke atas.
Selain dari segi usia, faktor risiko kelainan plasenta adalah sebagai berikut, dilansir dari Mayo Clinic.
- Hamil dengan tekanan darah tinggi.
- Hamil bayi kembar.
- Gangguan pembekuan darah saat hamil.
- Sebelumnya pernah menjalani operasi pada rahim, seperti operasi caesar maupun operasi menghilangkan fibroid.
- Ketuban pecah dini sebelum melahirkan.
- Pernah mengalami gangguan plasenta di kehamilan sebelumnya.
- Merokok saat hamil.
- Pernah mengalami cedera di perut sebelumnya.
Jangan sepelekan bila Anda mengalami gejala yang tidak biasa selama kehamilan dan segera konsultasikan ke dokter.
Tak lupa, penting untuk rutin melakukan pemeriksaan kehamilan setiap bulan guna mengetahui kondisi kehamilan dan janin di dalam kandungan.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]