Transfusi darah biasanya diberikan kepada orang-orang yang mengalami kondisi medis serius, seperti korban kecelakaan dan pasien yang akan menjalani operasi. Namun, tahukah Anda bahwa terkadang transfusi darah juga dibutuhkan saat hamil?
Kondisi seperti apa yang membuat bumil perlu segera menerima transfusi darah? Lalu, hal apa yang perlu diketahui sebelum melakukannya? Simak ulasan berikut untuk informasinya.
Kapan transfusi darah saat hamil dibutuhkan?
Selama manfaatnya lebih banyak dari pada risikonya, transfusi darah merupakan hal yang aman dilakukan untuk ibu hamil. Jadi, Anda tidak perlu khawatir saat melakukanya.
Berikut ini adalah beberapa kondisi yang bisa menjadi penyebab ibu hamil perlu mendapatkan transfusi darah.
1. Anemia defisiensi zat besi
Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi ketika tubuh ibu hamil kekurangan asupan zat besi sehingga terjadi penurunan hemoglobin.
Melansir dari laman American Pregnancy Association, transfusi darah biasanya mulai dipertimbangkan ketika jumlah hemoglobin ibu hamil berada di bawah 7 g/dl saat usia kehamilan menginjak 34 minggu.
Pemberian transfusi darah perlu segera dilakukan karena kadar hemoglobin di bawah 5 g/dl dapat meningkatkan risiko kematian ibu.
2. Talasemia
Transfusi darah adalah salah satu hal yang perlu dilakukan secara rutin oleh seseorang dengan talasemia. Pasalnya, tubuh mereka tidak bisa memproduksi sel darah merah yang .
Seorang wanita membutuhkan lebih banyak hemoglobin untuk mendukung pertumbuhan janin. Dengan begitu, transfusi darah yang dibutuhkan seseorang dengan talasemia mungkin meningkat saat hamil.
Ibu hamil dengan talasemia, terutama jenis mayor (bukan hanya membawa gen) biasanya disarankan untuk melahirkan secara caesar demi mengurangi risiko perdarahan postpartum.
3. Perdarahan
Alasan lain mengapa bumil membutuhkan transfusi darah adalah perdarahan berat.
Dua kondisi yang paling sering membuat ibu hamil membutuhkan tambahan darah pada awal kehamilan adalah keguguran dan kehamilan ektopik.
Masalah pada plasenta, seperti abruptio plasenta, infeksi vagina berat, hingga erosi serviks, juga bisa menjadi penyebab ibu hamil perlu mendapatkan transfusi darah.
Tidak hanya selama masa kehamilan, berbagai kondisi di atas juga dapat meningkatkan risiko perdarahan saat melahirkan.
Oleh karena itu, pertimbangkan untuk melahirkan di rumah sakit dengan layanan transfusi darah yang memadai jika Anda mengalami salah satunya.
Hal yang perlu diperhatikan sebelum transfusi darah saat hamil
Menerima tindakan medis, termasuk transfusi darah, mungkin terasa sedikit lebih menakutkan jika dilakukan selama masa kehamilan.
Namun, perlu Anda ingat bahwa transfusi darah yang diberikan selama kehamilan merupakan tindakan untuk mengurangi berbagai risiko komplikasi yang bisa dialami ibu dan janin akibat kekurangan darah.
Pasalnya, darah memiliki peran penting untuk menyebarkan oksigen dan zat gizi di dalam tubuh, termasuk ke tubuh janin.
Satu hal yang membedakan transfusi darah ibu hamil dengan wanita yang tidak hamil adalah komponen darah yang diberikan.
Mengutip situs Royal College of Obstetricians & Gynaecologists (RCOG), ibu hamil biasanya hanya menerima transfusi hemoglobin, tidak termasuk trombosit dan plasma.
Proses transfusi biasanya memakan waktu hingga tiga jam untuk satu kantong darah yang berisi sekitar 300 cc darah.
Pada kondisi tertentu, laju transfusi darah bisa ditingkatkan sehingga durasinya menjadi lebih singkat.
Risiko dan efek samping transfusi darah saat hamil
Setelah bumil menerima transfusi darah, biasanya dokter akan memintanya untuk tetap berada di rumah sakit.
Dokter juga akan memantau kadar hemoglobin secara berkala dan efek samping yang mungkin muncul dari prosedur transfusi darah.
Sakit kepala, demam, dan gatal pada area pembuluh darah bekas transfusi merupakan efek samping yang paling sering terjadi setelah transfusi.
Kondisi tersebut biasanya membaik dengan sendirinya tanpa pengobatan. Namun, jika dibutuhkan, dokter bisa memberikan paracetamol untuk ibu hamil.
Sementara itu, proses transfusi darah perlu segera dihentikan jika Anda mengeluhkan sesak napas, sakit kepala parah, hingga penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.
Pada kondisi tertentu, transfusi darah saat hamil juga bisa menimbulkan beberapa komplikasi seperti berikut.
- Hipotermia atau penurunan suhu tubuh secara tiba-tiba.
- Hiperkalemia atau kadar kalium darah terlalu tinggi.
- Hipokalsemia atau kadar kalsium darah terlalu rendah.
- Koagulopati atau gangguan proses penggumpalan darah.
- 2, 3 DPG depletion atau gangguan proses transfer oksigen dari hemoglobin ke jaringan tubuh.
- Penyakit kuning.
- Infeksi.
- Reaksi transfusi.
Selama dilakukan atas rekomendasi dokter, transfusi darah adalah prosedur yang aman bagi bumil. Namun, tidak salah jika Anda mengkhawatirkan kondisi janin selama menjalani transfusi.
Oleh karena itu, jangan ragu untuk mengajukan berbagai pertanyaan pada dokter terkait kekhawatiran Anda terhadap transfusi darah.
Kesimpulan
- Transfusi darah saat hamil bisa diberikan pada ibu hamil dengan anemia defisiensi zat besi, talasemia, hingga perdarahan.
- Transfusi darah selama kehamilan biasanya hanya meliputi hemoglobin, tidak dengan trombosit dan plasma.
- Efek samping yang paling sering muncul saat transfusi darah adalah sakit kepala, demam, dan gatal pada area pembuluh darah bekas transfusi.
[embed-health-tool-pregnancy-weight-gain]