Situasi COVID-19 di Indonesia dan beberapa negara lain sedang membaik, tapi bukan berarti pandemi telah berakhir. Setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan adanya varian Omicron beberapa bulan lalu, kini diketahui bahwa varian Omicron memiliki dua subvarian yang mesti diwaspadai, yakni Omicron BA.4 dan BA.5.
Apa itu varian Omicron COVID-19?
Pada 26 November 2021, WHO mengumumkan adanya varian baru virus SARS-CoV-2 yang disebut dengan Omicron. Varian ini pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.
Tak berapa lama, WHO segera menyatakan bahwa varian yang memiliki strain B.1.1.529 sebagai kategori varian perlu yang perlu diwaspadai (variants of concern).
Itu artinya, varian ini memiliki karakter yang perlu diwaspadai seperti varian Delta, Gamma, Beta, dan Alpha.
Varian Omicron memiliki sekitar 30 kombinasi mutasi dari sejumlah varian COVID-19 sebelumnya seperti C.12, Beta dan Delta.
Mutasi pada spike protein yang dimiliki Omicron dikhawatirkan akan membuat virus lebih cepat menular dibanding varian Delta dan memungkinkan terjadinya reinfeksi atau infeksi berulang.
Hingga saat ini, WHO masih melakukan pengamatan lebih dalam mengenai varian baru ini dan akan terus memperbarui informasi sesuai dengan penelitian yang dilakukan.
Meski begitu, WHO menegaskan bahwa vaksin, pengobatan, dan pencegahan yang dilakukan selama ini masih ampuh dalam melawan berbagai varian virus penyebab COVID-19.
Sebaran varian Omicron COVID-19
Varian Omicron pertama kali dilaporkan Afrika Selatan kepada WHO pada 24 November 2021. Afrika Selatan telah mengalami tiga kali gelombang wabah COVID-19, gelombang terakhir didominasi oleh varian Delta.
Beberapa minggu setelah gelombang terakhir, angka infeksi COVID-19 kembali meningkat tajam bersamaan dengan ditemukannya strain B.1.1.529.
Selain Afrika Selatan, beberapa negara yang mengonfirmasi adanya kasus varian B.1.1.529 adalah Inggris, Kanada, Hongkong, Botswana, Australia, Italia, Belgia, dan Republik Ceko.
Selain itu, varian ini juga kemungkinan sudah masuk ke negara Jerman, Denmark, Belanda, dan Austria.
Kemunculan varian ini menimbulkan kekhawatiran, termasuk bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kasus pertama varian omicron di Indonesia tercatat pada 16 Desember 2021.
Subvarian baru Omicron, BA.4 dan BA.5
Beberapa bulan belakangan, ditemukan subvarian Omicron yang dinamai BA.4 dan BA.5. Subvarian ini pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan, masing-masing pada Januari dan Februari 2022. Sejak saat itu, subvarian BA.4 dan BA.5 menjadi varian dominan di sana.
Omicron BA.4 dan BA.5 memiliki karakteristik yang mirip dengan varian Omicron asli. Namun, kedua subvarian ini memiliki lebih banyak kemiripan dengan subvarian BA.2 yang juga disebut son of Omicron.
Sejauh ini, tidak ada indikasi bahwa subvarian BA.4 dan BA.5 dapat menimbulkan gejala baru atau gejala yang lebih parah. Meski demikian, hal ini masih terus dipantau oleh WHO dan ahli kesehatan.
Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, subvarian BA.4 dan BA.5 telah terdeteksi di Indonesia. Pada 6 Juni 2022, terhitung sudah ada empat kasus subvarian ini.
Empat kasus tersebut terdiri dari seorang WNI yang positif memiliki BA.4 dan tiga orang sisanya yang memiliki BA.5.
Tiga pasien tidak menunjukkan gejala, sedangkan satu pasien mengeluhkan gejala ringan berupa sakit tenggorokan dan badan pegal.
Sejauh ini, subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 telah tersebar di 58 negara. Laporan yang terbanyak berasal dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Britania Raya, Denmark, dan Israel.
Apa beda Omicron dengan varian COVID-19 lainnya?
Dibandingkan dengan varian Delta sebelumnya, varian Omicron menggandakan dirinya 70 kali lebih cepat pada jaringan tubuh yang melapisi saluran udara. Hal tentu meningkatkan penularannya.
Akan tetapi, pada jaringan paru-paru, varian ini bereplikasi 10 kali lebih lambat daripada versi asli virus corona. Ini menandakan efeknya pada paru-paru cukup ringan atau tidak parah.
Dr. Michael Chan Chi-wai, Peneliti Utama di Pusat Imunologi dan Infeksi Hong Kong Science and Technology Park, menegaskan, “Penting untuk dicatat bahwa tingkat keparahan penyakit pada manusia tidak hanya ditentukan oleh replikasi virus, tetapi juga oleh respons imun setiap orang terhadap virus.”
Ia pun menambahkan, “Infeksi yang ringan terkadang bisa berkembang menjadi peradangan yang mengancam jiwa.”
Sebelumnya studi melaporkan kemungkinan varian B.1.1.529 yang tidak terdeteksi lewat tes antigen. Namun, kabar terbaru menunjukkan bahwa tes antigen butuh waktu lebih lama mendeteksi varian baru ini.
Food and Drug Administration (FDA) di AS pun menegaskan bahwa tes antigen bisa mendeteksi varian tertentu SARS-CoV-2, tetapi sensivitasnya kurang.
Penelitian yang diterbitkan bulan Desember lalu dalam British Medical Journal menunjukkan berbagai gejala COVID-19 varian Omicron yang paling sering dikeluhkan, di antaranya:
- pilek,
- sakit kepala,
- kelelahan (baik ringan atau parah),
- terus-menerus bersin, dan
- sakit tenggorokan.
“Kebanyakan mengalami hidung meler, sakit tenggorokan, dan hidung tersumbat,” kata Dr. John Vanchiere dari Center for Emerging Viral.”
Batuknya pun lebih ringan daripada varian sebelumnya. Ada yang tidak batuk sama sekali dan demam jarang terjadi,” tambahnya.
Gejalanya ini muncul lebih cepat setelah seseorang terinfeksi. Masa inkubasi atau waktu yang diperlukan untuk memunculkan gejala setelah terinfeksi yakni sekitar tiga hari.
Sementara itu, varian Delta membutuhkan waktu sekitar empat hari dan varian asli SARS-CoV-2 membutuhkan waktu lebih dari lima hari.
Sebagian besar orang yang terinfeksi varian Omicron memiliki gejala campuran yang sembuh dengan relatif cepat dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Tidak menutup kemungkinan, ada juga beberapa pasien yang merasakan gejala khas dari sebagian besar kasus COVID-19, yakni:
- demam yang ditandai dengan kenaikan suhu tubuh,
- batuk yang terjadi terus-menerus selama lebih dari satu jam atau beberapa kali batuk yang lebih buruk dari batuk biasa dalam kurun 24 jam, serta
- kehilangan kemampuan untuk mencium bau dan merasakan makanan (anosmia).
Jika Anda atau keluarga di rumah sedang mengalami gejala COVID-19 yang disebutkan di atas, terutama anosmia, segeralah periksa ke dokter untuk memastikan kondisinya lebih lanjut dan memperoleh pengobatan yang tepat.
Mampukah vaksinasi melawan varian Omicron COVID-19?
Penelitian awal menunjukkan kemungkinan adanya peningkatan risiko infeksi ulang terhadap varian ini. Maksudnya, orang yang sebelumnya pernah terinfeksi COVID-19 akan lebih mudah terinfeksi ulang oleh varian ini.
Walaupun demikian, informasi mengenai hal tersebut masih terbatas, dan peneliti masih melakukan pengamatan lebih lanjut.
Varian B.1.1.529 mencengkeram sel lebih erat dan menahan beberapa antibodi. Sebagian antibodi bisa memberikan perlawan terhadap virus ini, tapi sebagian lagi tidak bisa memberikan perlawanan karena virus menempel sangat erat.
Hal tersebut mungkin bisa menurunkan efikasi vaksin COVID-19. Meski begitu, vaksinasi masih terus menjadi langkah tepat untuk melindungi seseorang dari infeksi yang menimbulkan gejala parah serta menurunkan risiko kematian bila terkena.
Terlebih dengan kemunculan subvarian BA.4 dan BA.5 yang telah menyebabkan kenaikan kasus COVID-19, pemberian vaksin booster kepada masyarakat diharapkan bisa lebih digencarkan.
Bila dilihat dari kasus subvarian baru yang telah dilaporkan, pasien yang tidak mengalami gejala atau hanya bergejala ringan rata-rata sudah mendapatkan vaksin booster.
Selain vaksin, pencegahan COVID-19 juga bisa dilakukan dengan tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Caranya antara lain dengan menjaga jarak, menjauhi kerumunan, menghindari mobilisasi bila tidak mendesak, dan menggunakan masker.
Bila Anda belum mendapatkan vaksin, segera kunjungi fasilitas kesehatan terdekat untuk mendaftar vaksin COVID-19.