Sejak merebaknya COVID-19 yang berasal dari Wuhan pada akhir tahun 2019, kehidupan masyarakat dunia telah mengalami perubahan yang signifikan. Pembatasan sosial hingga kondisi ekonomi memengaruhi kesehatan mental perempuan dengan gangguan kesuburan. Seperti apa dampak pandemi COVID-19 terhadap perempuan dengan gangguan kesuburan?
Kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia
Di Indonesia, angka infeksi COVID-19 sempat mencapai rekor 15.308 kasus baru pada 23 Juni 2021. Pada 17-23 Juni 2021, terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 50% dalam waktu satu minggu. Per 30 November 2021, jumlah kasus terkonfirmasi mencapai 4.256.409 kasus dengan kematian total mencapai 143.830 kasus.
Program vaksinasi COVID-19 di Indonesia baru mencapai 34,14% untuk dosis kedua dan 15,99% untuk dosis pertama dari seluruh populasi. Padahal vaksinasi sangat penting karena dapat mengurangi angka transmisi dan rawat inap di rumah sakit.
Masuknya varian Delta ke Indonesia dan munculnya varian baru Omicron yang berasal dari Afrika Selatan menambah panjang daftar permasalahan. Mutasi virus COVID-19 menyebabkan sifatnya jauh lebih mudah menular dan diprediksi berisiko menurunkan efektivitas vaksin.
Akibat adanya pandemi COVID-19, muncul masalah-masalah baru, baik dari segi kesehatan, perekonomian, maupun mobilitas masyarakat. Tidak terkecuali pada perempuan dengan permasalahn infertilitas.
Pada awal pandemi, the American Society for Reproductive Medicine (ASRM) dan The European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE), badan organisasi terkait reproduksi dan fertilitas dari Amerika dan Eropa, mengeluarkan kebijakan untuk menunda terapi kesuburan. Padahal saat itu belum banyak penelitian mengenai efek COVID-19 terhadap kehamilan dan bayi.
Penundaan ini berlangsung selama beberapa bulan dan berdampak pada angka kemungkinan hamil pada calon ibu, khususnya perempuan yang berusia lebih tua.
Dampak COVID-19 pada perempuan dengan gangguan kesuburan
Pengaruh COVID-19 terhadap ekonomi tidak bisa dikesampingkan. Pada perempuan dengan gangguan kesuburan hal ini akan terasa lebih berat. Sebab, sebagai contoh, menjalani program bayi tabung memerlukan biaya yang tak sedikit. Sementara itu, asuransi kesehatan di Indonesia tidak menanggung biaya terapi kesuburan.
Untuk menjalani terapi kesuburan, perempuan dengan pendapatan menengah ke bawah cenderung akan datang dalam usia yang lebih tua karena memerlukan waktu untuk menyiapkan dana. Penundaan-penundaan ini dapat menurunkan potensi untuk memiliki anak.
Dalam banyak kasus, kondisi ini dapat berujung pada problem psikologis karena adanya stigma sosial bahwa seorang perempuan harus memiliki anak. Terapi kesuburan juga merupakan proses yang panjang dan dapat menimbulkan stres psikologis dan ganguan emosional.
Ketakutan akan tertular virus, permasalahan ekonomi, dan pembatasan pergerakan masyarakat dapat memperburuk depresi dan kecemasan pada perempuan dengan gangguan kesuburan. Beberapa penelitian di luar negeri membuktikan bahwa perempuan dengan gangguan kesuburan memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi, terutama perempuan yang mengalami penundaan terapi infertilitas akibat pandemi COVID-19.
Pencegahan transmisi, penggunaan sumber daya kesehatan lainnya untuk penanganan pandemi, dan kekhawatiran transmisi infeksi dari ibu ke bayi menyebabkan perempuan dengan gangguan kesuburan memilih untuk menunda terapi.
Kondisi COVID-19 dan gangguan kesuburan di Indonesia
Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh pandemi terhadap perempuan dengan gangguan kesuburan telah dilakukan di beberapa klinik infertilitas di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuisioner khusus untuk menilai tingkat depresi perempuan dengan gangguan kesuburan saat pandemi COVID-19.
Penelitian dilakukan melalui survei terhadap 533 perempuan dengan gangguan kesuburan. Usia responden berkisar antara 21-45 tahun dan lamanya gangguan infertilitas sekitar 1-19 tahun. Sekitar 3/4 subjek berusia lebih dari 35 tahun. Lebih dari setengah responden perempuan telah menjalani terapi kesuburan kurang dari 12 bulan.
Gejala depresi ditemukan pada lebih dari sepertiga perempuan dengan gangguan kesuburan, di mana sepertiganya berupa depresi ringan. Kejadian depresi lebih sering ditemukan pada perempuan berusia kurang dari 35 tahun, memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, serta bekerja di sektor swasta, pendidikan, maupun tidak bekerja.
Agama, etnisitas, dan domisili tidak memengaruhi status depresi perempuan dengan gangguan kesuburan.
Sekitar 98% perempuan mengetahui penyakit COVID-19 dan kurang dari 15% pernah tertular COVID-19 saat survei dilakukan. Perempuan dengan riwayat positif COVID-19 tanpa gejala memiliki skor depresi yang lebih tinggi.
Sekitar 90% perempuan khawatir mengenai pandemi COVID-19 dan mengambil langkah ekstra agar tidak tertular COVID-19. Lebih dari setengah responden merasa bahwa pemerintah belum mengambil usaha yang maksimal dalam menghadapi COVID-19.
Angka kejadian depresi yang lebih rendah pada perempuan yang berusia lebih tua dapat disebabkan oleh mekanisme koping yang lebih baik. Perempuan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pekerjaan dan pendapatan yang lebih memadai sehingga angka depresi lebih rendah.
Kegagalan terapi kesuburan sebelumnya juga dapat menjadi faktor tambahan yang menyebabkan depresi pada perempuan dengan gangguan kesuburan.
Sektor ekonomi di masa pandemi COVID-19 mengalami perubahan yang signifikan. Hampir setengah dari sektor pendidikan dan manufaktur mengalami penurunan pendapatan karena pengurangan jam kerja. Beberapa bahkan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Tidak dapat dipungkiri sektor swasta merupakan salah satu yang paling terkena dampak pandemi di Indonesia. Padahal selama pandemi kebutuhan sehari-hari terus bertambah termasuk adanya kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini dapat menjadi faktor lainnya yang berperan dalam kejadian depresi pada perempuan dengan gangguan kesuburan.
Masalah kesuburan dan risiko depresi
Terapi kesuburan merupakan rangkaian proses yang panjang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Topik infertilitas di Indonesia menjadi hal yang cukup sensitif karena tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk memiliki anak.
Masyarakat Asia cenderung sangat mengagungkan kehadiran seorang anak. Jika perempuan tidak mampu memiliki keturunan, maka akan dianggap sebagai aib. Hal-hal ini menambah daftar panjang tekanan yang harus dihadapi bagi seorang perempuan dengan gangguan kesuburan di Indonesia.
Sekitar sepertiga perempuan khawatir mengenai penundaan terapi kesuburan akibat COVID-19. Kurang lebih 40% perempuan mengalami penundaan terapi kesuburan selama pandemi COVID-19 di Indonesia.
Lebih dari 80% perempuan khawatir tertular COVID-19 saat hamil dan 76% perempuan merasa bahwa penundaan terapi yang dilakukan akan menurunkan kemungkinan mereka untuk hamil.