Di Indonesia, ada 6% orang yang memiliki gejala depresi dan kecemasan, serta 400.000 penderita skizofrenia. Tentu tak semua dari orang-orang ini merupakan pasien rawat inap di Rumah Sakit Jiwa, karena faktanya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih tetap dapat beraktivitas rutin seperti orang-orang sehat lainnya, termasuk bekerja.
Bekerja dapat memainkan peran yang sangat penting dalam pemulihan kondisi dengan menyediakan struktur dan rutinitas sehari-hari, serta memberikan makna dan tujuan hidup. Selain itu, bekerja memfasilitasi dukungan sosial dan menjaga kestabilan finansial. Namun, seperti halnya karyawan lain yang flu atau masuk angin, beberapa karyawan dengan masalah kesehatan mental juga perlu cuti sakit.
Pentingnya mengambil cuti sakit untuk karyawan yang mengalami gangguan psikologis
Sebagian besar absen kerja yang melibatkan masalah kesehatan mental adalah karena dipicu stres pekerjaan, kegelisahan deadline, dan depresi. Masalah kesehatan mental memengaruhi cara Anda berpikir, merasa, dan berperilaku. Tak jarang mereka yang memiliki depresi atau masalah kesehatan mental lainnya (seperti gangguan kecemasan, serangan panik, atau bipolar) mudah mengalami kelelahan, penurunan kepercayaan diri dan konsentrasi, minat bekerja dan beraktivitas juga berkurang, hingga nafsu makan yang juga berkurang.
Selain itu, gejalanya bisa memakan waktu hingga harian bahkan berminggu-minggu tanpa menunjukkan gejala fisik sekalipun. Ini membuat penderita gangguan mental seringnya mengabaikan tanda-tanda peringatannya sampai gejala penyakit mental itu akhirnya berbuah menjadi penyakit “beneran”.
Stres dan depresi berhubungan dengan penyakit jantung. Setidaknya ada 2 penelitian yang menunjukkan bahwa depresi mampu meningkatkan potensi seseorang mengalami serangan jantung. Gangguan ini tentu tidak hanya akan menghambat dirinya saja, akan tetapi secara tidak langsung juga mengganggu kehidupan di lingkungan kerjanya, terutama saat fase depresifnya sedang muncul.

“Stres memengaruhi performa karyawan dalam pekerjaannya dan dapat menjadi pembuka untuk masalah di dalam dan luar kantor yang lebih besar,’ ungkap Melissa Burdorf, pengacara dan editor hukum di XpertHR, dilansir dari Fox News.
Padahal, untuk dapat hidup normal serta bekerja lebih efisien dan produktif, pekerja perlu merasa sejahtera tidak hanya secara fisik namun juga mentalnya. Mengambil cuti sakit untuk memperbaiki kesehatan mental memungkinkan Anda mengisi ulang tenaga, menyegarkan dan mengatur ulang perspektif Anda, serta membiarkan tubuh dan pikiran Anda beristirahat.
Ketika kita lelah, kita bisa kehilangan kesabaran dan cara pandang logis kita, yang dapat menyebabkan kinerja buruk dan komunikasi yang buruk — dua hal yang tak hanya bisa merugikan karir pekerja sebagai individual, namun juga merugikan bisnis kantor.
Oleh karena itu, Burdoff menyarankan para atasan dan organisasi membolehkan karyawannya yang rentan stres atau yang punya gangguan kejiwaan (baik yang terdiagnosis resmi atau masih kecurigaan) untuk cuti sakit dan beristirahat di rumah demi membantu mereka kembali menjadi pekerja yang jauh lebih handal dan kuat.
Apa yang harus dilakukan karyawan jika ingin cuti sakit demi memulihkan kesehatan mentalnya?
Minta cuti sakit karena “stres” atau untuk berobat gangguan mental lainnya mungkin akan cukup sulit dilakukan di Indonesia. Pasalnya, di Indonesia belum ada peraturan spesifik yang menyebutkan karyawan boleh meninggalkan kantor untuk pengobatan mental. Bahkan di Inggris sekalipun, 7 dari 10 bos dan supervisor percaya bahwa stres, kecemasan, atau depresi bukanlah alasan yang tepat untuk cuti sakit.
Peraturan pemerintah Indonesia sejauh ini hanya mengizinkan pekerja untuk izin cuti sakit sekitar 1 (satu) sampai dengan 14 (empat belas) hari, dengan ketentuan karyawan yang bersangkutan harus mengajukan permintaan cuti secara tertulis kepada atasannya dengan melampirkan surat keterangan dokter.
