backup og meta
Kategori
Cek Kondisi

1

Tanya Dokter
Simpan

Kisah Perjuangan Merawat Anak dengan Diabetes Tipe 1

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan · General Practitioner · None


Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 02/06/2022

    Kisah Perjuangan Merawat Anak dengan Diabetes Tipe 1

    Memiliki anak dengan diabetes tipe 1 memang tidak mudah. Namun, menghadapi kesulitan tidak lantas membuat saya menyerah. Berikut adalah kisah saya sebagai orangtua dalam merawat anak dengan penyakit diabetes.

    Kekhawatiran saya dengan Fulki yang suka mengompol di malam hari

    Perkenalkan nama saya Aisyah. Sebagai orangtua yang merawat anak di rumah, pembaca Hello Sehat pasti tidak asing dengan kebiasaan anak mengompol.

    Ya, kebiasaan mengompol adalah hal yang wajar terjadi pada anak dan umumnya tidak perlu dikhawatirkan.

    Fulki, anak saya yang saat itu berusia tiga tahun sudah tidak lagi mengompol dan ini membuat saya lega.

    Namun pada tahun 2015, tepatnya ketika Fulki berusia sembilan tahun, saya mendapati Fulki sering mengompol di malam hari.

    Ia juga sering bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air dan sangat mudah haus.

    Kondisi ini membuat saya khawatir, apalagi berat badan Fulki yang terus menurun, padahal ia makan dengan baik seperti biasanya.

    Melihat perubahan ini, akhirnya saya memutuskan untuk memeriksakan kondisi Fulki ke dokter.

    Dokter bilang Fulki terkena diabetes tipe 1

    mannitol manitol

    Awalnya, saya menduga ada masalah pada sistem saluran kemih Fulki karena ia sering mengompol.

    Namun, dugaan saya salah. Setelah menjalani tes gula darah sewaktu dan tes urine, dokter memberi tahu saya bahwa Fulki mengidap diabetes tipe 1.

    Mendengar hal tersebut, saya sontak kaget, sedih, dan tidak percaya. Namun dokter tidak mengubah diagnosisnya.

    Terbesit rasa bersalah dalam diri saya atas penyakit yang dialami Fulki. Di sisi lain saya juga bertanya-tanya, “apakah selama ini saya salah dalam memberikan asupan makanan kepada Fulki?”

    Selama ini, saya sangat jarang memberikan makanan atau minuman yang manis-manis untuk Fulki, apalagi Fulki sendiri lebih suka minum air putih.

    Dokter pun menjawab kebingungan yang saya hadapi. Menurutnya, penyakit Fulki terjadi bukan karena pola makan yang salah, tapi ada faktor genetik dalam keluarga yang jadi penyebab diabetes.

    Saya pun teringat, jika kakek dan omnya Fulki pun punya penyakit yang sama.

    Setelah diagnosis penyakit ditegakkan, bukan cuma saya yang perlu menerima kenyataan tersebut. Fulki sendiri juga harus tahu penyakit yang dimilikinya.

    Di sinilah peran saya sebagai seorang ibu sangat diperlukan.

    Saya harus bisa memberi kekuatan kepada Fulki agar ia bisa menerima kondisi tubuhnya yang tidak seperti anak-anak lain.

    “Anak saya tidak sakit, ia hanya perlu insulin dari luar agar tidak lemas, mengompol, dan kehausan. Fulki juga tidak boleh sering-sering makan cokelat supaya tetap sehat. “

    Aisyah, Ibunda Fulki

    Saya harus merawat Fulki sesuai arahan dokter

    merawat anak diabetes

    Diagnosis penyakit diabetes tipe 1 membuat banyak perubahan dalam hidup saya dan Fulki.

    Fulki harus mendapatkan suntik insulin sebelum makan dan mengonsumsi vitamin D sesuai dengan arahan dokter.

    Saya juga perlu mengecek kadar gula darah Fulki secara rutin dan memperhatikan pola makannya.

    Menurut dokter, ada tiga penting yang perlu diperhatikan dalam menjaga pola makan pasien diabetes, yakni jam makan, jenis makanan, dan jumlah porsinya.

    Mulai saat itu juga, saya mengunjungi Fulki saat jam istirahat. Saya membuatkannya bekal makanan yang nilai gizinya sesuai dengan arahan ahli gizi.

    Di rumah pun, menu makanan Fulki saya sajikan sesuai dengan arahan dokter dan ahli gizi.

    Dalam sehari, Fulki direkomendasikan makan sebanyak 6 kali sehari, yakni sarapan, camilan pagi, makan siang, camilan siang, makan malam, dan camilan malam.

    Tidak ada pantangan yang terlalu sulit menurut saya dalam merawat anak dengan diabetes. Fulki bisa makan apa saja, asalkan tahu toleransi karbohidratnya dan tidak lupa untuk suntik insulin agar kadar gula darahnya stabil.

    Cek gula darah idealnya dalam sehari adalah setiap jam makan besar, atau bisa lebih sering sesuai dengan kondisi yang dirasakan tubuh.

    Saya juga harus tahu tanda-tanda kalau Fulki sedang tidak sehat.

    Biasanya kalau kadar gula darahnya tinggi atau saya sebut juga dengan istilah hiperglikemia, Fulki jadi mudah haus, sering buang air kecil, dan mengantuk.

    Sebaliknya, jika Fulki mengalami hipoglikemia atau gula darah terlalu rendah, ia cenderung terlihat kelelahan dan berkeringat dingin.

    Nah, untuk puasa Ramadan, Fulki juga diperbolehkan asal kondisi kesehatan dan gula darahnya stabil.

    Selama berpuasa, Fulki harus sering mengecek gula darahnya dan saya juga selalu terhubung dengan dokter yang menangani kondisi Fulki.

    Ketika saya mendapati Fulki menunjukkan tanda-tanda hipoglikemia dan hasil pembacaan tes gula darahnya rendah, Fulki harus membatalkan puasanya.

    Selain perawatan dari saya sebagai orangtua, Fulki wajib menjalani pemeriksaan rutin minimal 3 bulan sekali.

    Dalam pemeriksaan ini, saya melaporkan hasil HbA1c. Hasil pembacaannya ini diibaratkan seperti rapor kesehatan Fulki.

    Walaupun mengidap diabetes, saya tidak membatasi aktivitas Fulki. Ia bisa bermain dan melakukan kegiatan seperti teman-temannya yang lain.

    Namun hal ini tetap dalam pengawasan saya. Biasanya, saya akan mengecek terlebih dahulu gula darahnya sebelum memulai aktivitas.

    Baru-baru ini kabar bahagia menyelimuti saya dan keluarga di rumah. Pengobatan yang awalnya menggunakan suntik insulin, sekarang beralih dengan pemasangan insulin pump. 

    Peralatan medis ini sangat mempermudah saya dalam merawat Fulki. Fulki sendiri juga menjadi lebih senang karena tidak perlu merasakan sakit disuntik lagi.

    Harapan saya untuk Fulki dan orangtua dengan anak diabetes

    Merawat anak memang menjadi sebuah tantangan bagi orangtua, apalagi jika anak memiliki masalah kesehatan, seperti halnya Fulki.

    Namun, tugas ini menjadi lebih ringan karena sikap Fulki yang percaya diri, tidak banyak mengeluh, dan selalu riang. Setiap kali merasa lelah, saya selalu teringat bahwa Allah menitipkan Fulki dengan penyakitnya adalah bagian dari rencana-Nya.

    Fulki anak yang hebat, saya sebagai orangtua saya harus mendukungnya untuk tetap sehat. Saya harus menjadi sosok yang kuat agar Fulki bisa menggapai cita-citanya.

    Untuk orangtua yang punya kisah yang sama, saya harap Anda selalu semangat merawat anak yang memiliki diabetes.

    Kita sebagai orangtua harus percaya bahwa kita mampu menghadapi hal ini. Semoga kisah saya sebagai orangtua yang merawat anak dengan diabetes ini bisa menjadi kekuatan bagi Anda.

    Kelak, sesuatu yang indah akan hadir sebagai balasan atas semua pengorbanan yang telah kita lakukan selama ini.

    Aisyah (40) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Andreas Wilson Setiawan

    General Practitioner · None


    Ditulis oleh Aprinda Puji · Tanggal diperbarui 02/06/2022

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan