Selama kehamilan, Ibu perlu menjalani pemeriksaan rutin untuk memantau tumbuh-kembang janin. Selain ultrasonografi (USG), dokter mungkin menyarankan ibu hamil untuk menjalani pemeriksaan amniosentesis.
Lantas, apa yang bisa diketahui dari pemeriksaan amniosentesis? Kapan tes ini dibutuhkan? Simak jawabannya melalui uraian berikut.
Apa itu amniosentesis?
Amniosentesis adalah pemeriksaan kehamilan yang berfungsi untuk mendeteksi kelainan pada janin. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sampel cairan ketuban (cairan amnion).
Berbeda dengan USG, amniocentesis bukanlah pemeriksaan yang wajib dilakukan ibu hamil.
Tes ini umumnya hanya disarankan pada ibu hamil yang memiliki risiko melahirkan anak dengan kelainan kromosom atau genetik.
Berikut adalah beberapa kondisi yang bisa diketahui atau dideteksi melalui amniosentesis.
- Kelainan genetik atau kromosom, seperti Down syndrome, fibrosis kistik, sindrom Patau, spina bifida, dan sindrom Fragile X.
- Infeksi bakteri pada ketuban atau korioamnionitis.
- Perkembangan paru-paru janin.
- Ketidakcocokan rhesus antara ibu dan janin (inkompatibilitas rhesus).
- Penumpukan cairan abnormal pada tubuh janin atau hidrops fetalis.
Selain mendeteksi risiko cacat genetik, tes ini dapat membantu dokter mengetahui jenis kelamin janin lebih awal dan digunakan sebagai penanganan polihidramnion.
Amniosentesis biasanya dilakukan ketika usia kehamilan memasuki 16–20 minggu atau sekitar trimester kedua. Pada momen ini, janin diselubungi cairan ketuban sebanyak kurang-lebih 130 mililiter (ml).
[embed-health-tool-due-date]
Kapan ibu hamil perlu menjalani amniosentesis?
Pemeriksaan amniosentesis biasanya disarankan untuk ibu hamil yang memiliki kondisi berikut.
- Hamil di atas usia 37 tahun.
- Punya riwayat kelainan kromosom atau genetik dalam keluarga, termasuk keluarga pasangan.
- Pernah melahirkan anak dengan kelainan kromosom.
- Hasil tes darah serum screen menunjukkan tanda tidak normal.
- Pemeriksaan USG menunjukkan kelainan pada janin.
Sementara itu, ibu hamil dengan beberapa kondisi berikut biasanya diminta lebih berhati-hati sebelum menjalani amniocentesis.
- Kekurangan cairan ketuban atau oligohidramnion.
- Riwayat gangguan pembekuan darah.
- Alergi obat bius atau bahan lateks.
- Kelainan posisi plasenta.
- Hamil dengan hepatitis atau HIV.
Tahukah Anda?
Apa saja persiapan sebelum amniocentesis?
Tidak ada persiapan khusus yang perlu Ibu lakukan sebelum amniosentesis.
Namun, Ibu mungkin diminta untuk tidak buang air kecil beberapa jam sebelum tes karena terkadang tes lebih mudah dilakukan saat kandung kemih penuh.
Selain itu, dokter biasanya melakukan pemeriksaan USG sebelum dan selama amniosentesis.
Prosedur amniosentesis
Sebelum menjalani amniocentesis, Ibu perlu melakukan pemeriksaan genetik terlebih dahulu. Jika ditemukan risiko, dokter bisa memberikan jadwal pemeriksaan.
Pada jadwal yang sudah ditentukan, dokter akan melakukan pengambilan sampel cairan ketuban dengan langkah‐langkah berikut.
- Pasien berbaring dengan nyaman di tempat yang disediakan.
- Dokter mengamati posisi janin dan plasenta melalui pemeriksaan ultrasound (USG).
- Setelah menemukan lokasi penyuntikan, dokter akan membersihkan perut pasien dengan cairan antiseptik untuk mencegah infeksi.
- Jika dibutuhkan, dokter bisa menyuntikkan anestesi lokal ke dalam kulit perut pasien menggunakan jarum panjang dan tipis.
- Dokter akan mengambil 15–20 ml atau sekitar tiga sendok teh cairan ketuban menggunakan jarum. Proses ini biasanya hanya berlangsung selama 1–2 menit.
Setelah mengambil cairan ketuban, dokter akan mengoleskan cairan antiseptik dan menutup area suntikan.
Meski proses amniosentesis terbilang cepat, ada beberapa risiko kegagalan pengambilan sampel. Sebagai contoh adalah ketika cairan ketuban tercampur dengan darah sehingga gagal diperiksa. Dalam kondisi ini, dokter bisa menjadwalkan tes ulang.