Istilah vaginismus mungkin masih terdengar awam di telinga Anda. Kondisi ini merujuk pada ketegangan otot-otot di sekitar vagina yang dapat terjadi secara mendadak. Salah satu akibatnya adalah sulitnya penetrasi ketika berhubungan intim. Sayangnya, masih banyak orang salah paham tentang vaginismus, sehingga muncul berbagai mitos yang tak terbukti kebenarannya.
Supaya Anda tidak lagi salah dalam mengenali kondisi ini, pahami apa saja mitos dan fakta terkait penyakit wanita satu ini melalui ulasan berikut.
Mitos seputar vaginismus yang perlu Anda ketahui kebenarannya
Rasa nyeri pada vagina hingga gagalnya penetrasi menjadi salah satu gejala khas yang sering dikeluhkan.
Gejala lainnya yang serupa adalah nyeri saat memakai tampon atau ketika menjalani pemeriksaan ginekologis.
Kondisi vaginismus tidak hanya menimbulkan nyeri secara fisik, tapi juga bisa berdampak buruk pada hubungan dengan pasangan maupun kesehatan wanita secara umum.
Dengan pemahaman dan perawatan yang tepat, kondisi ini sebenarnya bisa disembuhkan.
Untuk mengenali kondisi ini lebih baik, Anda, pasangan, dan keluarga di rumah perlu mengetahui kekeliruan informasi yang selama ini beredar dan dipercayai banyak orang.
Berikut ini adalah berbagai kekeliruan yang beredar mengenai vaginismus.
1. Vaginismus adalah masalah psikis
Banyak orang beranggapan bahwa vaginismus disebabkan oleh masalah psikis atau kejiwaan. Anggapan ini menjadi salah satu mitos vaginismus yang dipercayai banyak orang.
Dalam acara Vaginismus Awareness Day yang diselenggarakan oleh Komunitas Pejuang Vaginismus pada Rabu (15/9) secara daring, dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, menegaskan bahwa kondisi vaginismus tidak termasuk ke dalam masalah kejiwaan.
dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG
Masalah kejiwaan mungkin membuat seseorang kehilangan minat atau rangsangan seksual, tetapi tidak mengakibatkan vaginismus atau mengencangnya otot vagina sehingga penis gagal masuk.
Inilah mengapa vaginismus sebagai masalah kejiwaan itu adalah mitos. Sebab, banyak pasien yang mengalami vaginismus memiliki hasrat seksual seperti pada umumnya.
Namun, kondisi vaginismus yang dialaminya memang bisa menyebabkan masalah psikis karena kegagalan dan rasa sakit yang dialami ketika hendak melakukan penetrasi seksual.
Di samping itu, WHO juga memasukkan vaginismus ke dalam penyakit fisik pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10 dengan kode N94.2.
2. Vaginismus itu penyakit langka
Mitos kedua yang paling umum beredar adalah vaginismus merupakan penyakit langka. Memang istilah vaginismus kurang awam bagi kebanyakan orang. Akan tetapi, bukan berarti kondisi ini langka terjadi.
Faktanya, angka kejadian kelainan nyeri penetrasi atau kegagalan penetrasi hingga 15%, berdasarkan data DSM-5 tahun 2013.
“Vaginismus merupakan kasus terbanyak disfungsi seksual pada perempuan yang muncul ke permukaan. Berdasarkan data lain, kasus vaginismus berkisar pada angka 7—17%. Dalam dunia medis angka 17% itu banyak sekali,” ungkap dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang bertugas di RSIA Limijati, Bandung.
Keluhan pengidapnya pun bervariasi, seperti tidak bisa penetrasi saat berhubungan seksual dan penetrasi vagina terasa sangat sakit meski sudah melakukan foreplay dan enggunakan pelumas tambahan.
Bukan cuma itu, beberapa yang mengalaminya pun tidak bisa menjalani pap smear karena alat medis tidak bisa masuk ke vagina.
3. Trauma seksual adalah penyebab vaginismus
Tak sedikit orang yang percaya jika vaginismus terjadi akibat trauma seksual atau gangguan psikis di masa lalu. Perlu Anda pahami bahwa hal ini sepenuhnya tidaklah benar, bisa jadi mitos.
Beberapa kasus vaginismus mungkin saja terjadi karena hal tersebut. Akan tetapi, tidak semua wanita yang terkena vaginismus pernah mengalami trauma seksual atau memiliki gangguan psikis.
Faktanya, beberapa pasien yang mengalami vaginismus mengaku tidak pernah mengalami trauma seksual atau gangguan psikis sebelumnya.
Hingga saat ini, penyebab pasti dari vaginismus tidak diketahui secara pasti, seperti dikutip dari laman Cleveland Clinic.
Hal ini juga meluruskan bahwa melahirkan, takut melakukan hubungan seks, atau memiliki pandangan yang negatif tentang seks, bukan menjadi penyebab dari vaginismus.
Namun, bisa jadi faktor-faktor pendukung yang mungkin meningkatkan risikonya.
4. Vaginismus tidak bisa disembuhkan
Salah satu mitos yang bisa berdampak buruk bagi pasien vaginismus adalah mengenai penyakitnya yang tidak bisa disembuhkan.
Faktanya, vaginismus adalah penyakit yang bisa sembuh dengan pengobatan yang tepat. Umumnya, vaginismus bisa disembuhkan dengan terapi dilatasi serta konseling bersama psikolog.
“Terapi dilatasi sendiri adalah metode penyembuhan kekakuan otot pada vaginismus dengan bukti ilmiah paling valid dan jumlah pasien paling banyak,” papar dr. Robbi.
Lewat pengobatan vaginismus ini kekakuan otot-otot pada vagina akan dikurangi dengan alat bantu medis sehingga menjadi tidak kaku lagi.
Selain dua terapi tersebut, perawatan lainnya yang bisa membantu pasien untuk sembuh dari vaginismus meliputi senam kegel, hipnoterapi, injeksi botolinum toxin, psikoterapi, dan prosedur dilatasi berbantu.