backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Pengalaman Mengidap Gagap Membuat Saya Sempat Terpuruk

Ditinjau secara medis oleh dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H. · General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


Ditulis oleh Winona Katyusha · Tanggal diperbarui 06/12/2021

    Pengalaman Mengidap Gagap Membuat Saya Sempat Terpuruk

    Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan relasi dengan orang sekitarnya. Untuk membangun sebuah relasi, manusia dituntut mampu berkomunikasi dengan baik, salah satunya dengan berbicara. Namun kemampuan bicara bukanlah hal yang mudah dilakukan bagi kami pengidap gagap.

    Kesulitan yang kami rasakan malah sering dijadikan bahan candaan para pelawak untuk ditertawakan. Padahal, banyak teman yang tengah berjuang mengatasinya kondisi ini, seperti saya. Inilah pengalaman hidup saya mengidap gagap.

    Mengidap gagap sejak kecil

    benjolan di leher anak

    Di umur 8 tahun, saya merasa ada yang berbeda dari cara saya berbicara dibanding teman-teman seumuran lainnya. Saat berbicara saya kerap mengulang-ulang kata depan dari kalimat yang ingin saya ucapkan. “Kok begini, ya?” ujar saya dalam hati tiap kali berbicara.

    Tapi saya mencoba untuk tidak terlalu khawatir dan tak berpikir aneh-aneh.

    Tahun demi tahun berlalu, kendala berbicara yang saya alami tak kunjung menghilang. Saya makin merasa ada yang salah dan berbeda dengan diri saya.

    Saya kemudian mencoba bertanya kepada kedua orang tua terkait kondisi yang saya rasakan. Namun kedua orang tua saya menganggap kesulitan bicara yang saya alami ini biasa saja. Menurut mereka kondisi ini hanya karena usia saya masih kecil dan kemampuan berbicara belum berkembang sempurna.

    Ketika kelas 6 SD, saya mulai mencari tahu penjelasan kondisi yang saya alami dan bagaimana mengatasinya. Meski dianggap bukan hal serius, saya tetap bersikeras untuk memeriksakan kondisi ini ke dokter.

    Dari pemeriksaan itu, saya kemudian mengetahui bahwa saya mengidap gagap. Orang tua saya yang belum benar-benar memahami gangguan bicara ini sempat merasa kebingungan. Namun mereka mencoba mencari cara untuk membantu mengatasi kondisi yang menimpa anaknya ini.

    Saya kemudian dibawa untuk menjalani terapi saraf, dengan harapan terapi tersebut bisa membantu mengatasi gagap yang saya miliki. Terapi tersebut dilakukan dengan cara memijat bagian kaki dan tangan menggunakan alat khusus yang tidak saya tahu namanya.

    Rasa sakitnya tak tertahankan bagi saya yang masih anak-anak saat itu. Akhirnya saya tidak sanggup menjalani terapi terus menerus. Selain itu, hasilnya juga tidak begitu efektif.

    Saya juga pernah mencoba menjalani hipnoterapi. Berbeda dengan sebelumnya, saya merasa cukup terbantu dengan terapi ini. Secara psikis saya jadi lebih tenang, berbicara pun lebih rileks.

    Namun biaya yang cukup mahal, membuat saya tidak sanggup melanjutkan terapi.

    Perundungan di sekolah membuat saya tertekan

    Kondisi gagap yang saya alami membuat saya mengalami perundungan sewaktu sekolah menengah pertama. Masa remaja yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi salah satu masa-masa terburuk dalam hidup saya.

    Gangguan bicara membuat saya sulit memiliki teman. Jangankan mendapat teman baik, dapat melalui hari sekolah dengan tenang saja rasanya sungguh sulit.

    Hingga har ini wajah-wajah orang yang mem-bully saya ketika sekolah masih saya ingat. Tiap lontaran kata-kata kasar dan ejekan yang saya dapatkan masih terekam jelas di ingatan. Sebagian dari mereka tak hanya menyakiti saya melalui kata-kata, tapi juga mereka tak segan main fisik.

    Memori buruk ini membuat saya trauma. Saya tak mau bertemu dengan mereka lagi atau pergi ke acara reuni sekolah.

    Kehidupan sosial saya mulai membaik di masa SMA. Saya bisa mendapatkan lingkaran pertemanan yang positif. Sampai sekarang, kami masih menjaga hubungan pertemanan.

    Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Cobaan datang di masa awal saya kuliah. Bukan dari teman seangkatan atau kakak kelas, cemoohan karena kondisi gagap saya miliki kali ini berasal dari seorang dosen, di ruang kelas, di depan teman-teman saya.

    Saat itu, sang dosen memberi pertanyaan secara bergilir. Begitu tiba giliran saya, beliau malah mengomentari cara berbicara saya yang disebutnya belibet. Ia mengejek saya dengan kata-kata ejekan lain yang tidak mengenakkan. Seisi ruang kelas pun menertawai saya.

    Hal tersebut seketika membuat saya terpuruk.

    Mungkin untuk sebagian orang, kata-kata yang diucapkan oleh dosen itu tidak begitu berarti atau hanya ejekan biasa. Namun bagi saya yang sedang kesulitan karena gangguan bicara yang saya miliki, perkataan dari dosen cukup memberi tekanan dan membuat saya sakit hati.

    Alhasil, saya kehilangan semangat untuk pergi kuliah. Saya enggan menghabiskan waktu berlama-lama di kampus. Bahkan sempat terpikir untuk pindah jurusan atau pindah ke universitas lain.

    Dari tujuh mata kuliah yang saya pilih, saya memutuskan untuk hanya fokus pada dua mata kuliah selama tiga bulan terakhir di semester kelima. Dampaknya, nilai indeks prestasi saya turun drastis.

    Saya tahu betul bahwa tak seharusnya saya membiarkan perkataan negatif dari orang lain terus memengaruhi saya. Di saat yang sama, masih ada sisi di dalam diri saya yang tak bisa menerima kondisi ini.

    Mulai bangkit kembali dan fokus dengan terapi

    pengalaman komunitas gagap

    Selama tiga bulan lamanya saya berusaha menenangkan diri. Sebagai anak pertama dan laki-laki, saya merasa begitu lemah. Mengapa saya tidak bisa mengatasi kondisi gagap ini? 

    Saya berusaha berdamai dengan keadaan dan tidak mau membiarkan ejekan atau perkataan orang lain menghancurkan saya. Masih banyak hal-hal yang harus saya raih dalam hidup.

    Memasuki awal semester 6, saya mulai menata ulang kondisi perkuliahan dan memperbaiki ketertinggalan akibat semester sebelunya. Saya sadar bahwa saya tidak bisa terus-menerus menghindar dari keadaan.

    Saya mengambil SKS lebih banyak dan memberanikan diri untuk berbagi tentang kondisi gagap yang saya miliki kepada teman-teman. Saya belajar membuka diri kepada orang lain agar mereka bisa memahami kondisi saya.

    Bukan hal yang mudah memang, tapi pada akhirnya banyak teman yang berangsur-angsur menerima kondisi gagap saya. Bahkan, banyak dari mereka yang memberikan dukungan.

    Tak lupa saya juga mulai fokus melakukan terapi wicara. Dengan bantuan teman-teman dari Akademi Terapi Wicara di Jakarta Pusat, saya mengikuti terapi secara intens hampir setiap minggu selama lima bulan.

    Kondisi saya jauh lebih baik setelah menjalani terapi wicara. Di sana, saya diberi pelatihan agar bisa lebih tenang dan lancar saat berbicara.

    Salah satu latihan yang masih sering saya lakukan hingga kini adalah fluency shaping. Pada latihan ini, saya diminta untuk menulis daftar kata-kata yang sulit diucapkan.

    Kemudian, saya berlatih mengucapkan kata-kata ini dengan membaginya menjadi suku kata. Kata tersebut dieja perlahan dan berulang dalam sekian menit sampai saya terbiasa.

    Selain itu, saya juga bergabung di  Indonesian Stuttering Community (ISC). Tak hanya menambah teman sesama pengidap gagap, pengalaman yang saya miliki juga meningkatkan kemampuan dalam berorganisasi di komunitas ISC.

    Keterlibatan di Indonesian Stuttering Community

    pengalaman komunitas gagap

    Saya bergabung sebagai anggota di Indonesian Stuttering Community sejak tahun 2014. ISC adalah sebuah organisasi non-profit pertama dan terbesar di Indonesia yang mewadahi orang-orang dengan gangguan bicara kategori gagap.

    Melalui komunitas ISC, diharapkan para anggota bisa berbagi keluh kesah dan pengalaman saat mengidap gagap. Selain itu, ISC juga bertujuan untuk mengedukasi dan menghidupkan kesadaran masyarakat terhadap isu gagap.

    Pada awal terbentuknya di tahun 2009, ISC hanyalah komunitas kecil di grup Facebook. Saat saya bergabung, ISC belum memiliki banyak agenda. Kegiatannya masih bersifat internal saja.

    Melihat antusiasme anggota grup yang begitu besar ditambah dengan semakin banyaknya anggota yang bergabung, maka saya dan teman-teman lainnya mulai mengusulkan untuk membuat banyak kegiatan yang berskala lebih besar.

    Banyak pengalaman berharga yang coba kami berikan untuk teman-teman pengidap gagap di komunitas ISC. Kami membuat pertemuan antar anggota secara rutin yang menjadi ajang berkumpul serta menjadi wadah untuk saling berbagi cerita. Kegiatan ini sekaligus dimanfaatkan untuk latihan berbicara.

    Kami pernah mengadakan sesi konsultasi dengan psikolog dan pemeriksaan gratis bersama teman-teman dari Akademi Terapi Wicara.

    Berkolaborasi dengan Klobility, kami juga membantu para anggota yang sedang membutuhkan agar bisa mendapatkan pekerjaan atau bekerja melalui jalur inklusi.

    Bisa dibilang, keterlibatan saya dalam agenda-agenda di ISC cukup banyak hingga akhirnya saya dipercaya untuk menjadi ketua.

    Banyak teman-teman pengidap gagap yang tidak terbuka mengenai kondisinya. Maka dari itu, keberadaan komunitas ISC diharapkan dapat membantu teman-teman yang mengidap gagap dalam menghadapi permasalahan di kehidupan sehari-hari, berbagi pengalaman, dan saling memberi dukungan agar mereka tak merasa berjuang sendirian.

    ISC sendiri telah diresmikan sejak 13 Januari 2016. Hingga saat ini, anggota yang telah bergabung dalam ISC terhitung sudah lebih dari 1000 orang.

    Gagap bukanlah penghalang

    Menjalani hidup dengan gangguan bicara memang tak mudah. Akan tetapi, bukan berarti kondisi ini pasti akan menjadi penghalang untuk menggapai mimpi.

    Saya percaya setiap manusia dilahirkan dengan tujuan yang mulia. Akan ada masanya di mana saya bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain.

    Rasa lelah dan ingin menyerah itu mungkin ada. Namun, cobalah untuk fokuskan perhatian pada kemampuan yang dimiliki serta lebih pahami diri sendiri. Asah terus kemampuan diri agar bisa menjadi lebih baik.

    Gagap juga bisa dikendalikan, asal terus berlatih setiap hari. Sampai sekarang pun saya masih berlatih setiap pagi dan malam. Tidak ada proses yang sia-sia, semua pasti akan ada hasilnya. Jadi, jangan patah semangat.

    Dwiki (25) bercerita untuk pembaca Hello Sehat.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Mikhael Yosia, BMedSci, PGCert, DTM&H.

    General Practitioner · Medicine Sans Frontières (MSF)


    Ditulis oleh Winona Katyusha · Tanggal diperbarui 06/12/2021

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan