backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Awas! Terlalu Sering Nonton Film Sadis Tumbuhkan Sifat Psikopatik Pada Anak

Ditinjau secara medis oleh dr. Yusra Firdaus


Ditulis oleh Novi Sulistia Wati · Tanggal diperbarui 07/09/2023

    Awas! Terlalu Sering Nonton Film Sadis Tumbuhkan Sifat Psikopatik Pada Anak

    Tak dapat dipungkiri lagi kalau nonton film dan sinetron menjadi aktivitas favorit banyak orang untuk melepas penat setelah seharian beraktivitas. Laporan dari KPI bahkan menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia menempati urutan teratas dalam urusan menonton siaran televisi terlama di antara negara-negara ASEAN. Anak-anak Indonesia rata-rata menonton TV hingga 5 jam bahkan lebih setiap hari, sementara anak-anak negara ASEAN lain hanya menghabiskan waktu di depan TV 2 sampai 3 jam per hari.

    Yang lebih disayangkan, kebanyakan tontonan yang mereka lahap setiap hari sarat akan unsur kekerasan dan hal-hal yang berbau sadis, yang sama sekali tidak mendidik. Lantas, apa pengaruhnya nonton film sadis dan penuh kekerasan bagi tumbuh kembang anak?

    Anak belajar meniru dari apa yang mereka lihat

    Anak belajar dengan cara meniru dari apa yang mereka lihat dari interaksi sosial. Pasalnya sejak lahir, jaringan otak yang mendukung pembelajaran interaktif sudah mulai berkembang.

    Itulah mengapa anak bisa mengenali dan meniru ekspresi wajah atau isyarat yang ada di lingkungan sekitarnya. Sifat meniru tersebut bahkan terus berlanjut hingga anak sedikit dewasa, sehingga jangan heran jika anak Anda bisa meniru gerakan, perkataan, emosi, bahasa, atau perilaku Anda. Hal inilah yang pada akhirnya membuat orangtua khawatir jika anak mereka meniru adegan-adegan yang ada di dalam televisi.

    Dan benar saja. Dilansir dari Tribun News, pada akhir April 2015 lalu seorang anak kelas 1 SD di Pekanbaru meninggal dunia akibat dikeroyok oleh teman-temannya. Menurut keterangan orang tuanya, korban dan teman-temannya sedang bermain sambil menirukan adegan perkelahian dalam sinetron “7 manusia harimau” yang sempat ditayangkan di televisi. Ini baru satu contoh dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi.

    Beberapa studi yang dilansir dalam Urban Child’s Institute menunjukkan bahwa terlalu banyak menonton televisi tak hanya berdampak negatif pada prestasi dan kesehatan anak secara keseluruhan, namun juga perkembangan perilakunya di masa depan.

    Keseringan nonton film kekerasan menumbuhkan sikap psikopatik pada anak

    Studi Guntarto tahun 2000 menunjukkan bahwa anak yang telalu banyak nonton film dan tayangan televisi yang berbau kekerasan dapat tumbuh menjadi sosok anak yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada lingkungan sekitar. Studi lain yang dilakukan oleh Anderson tahun 2012 juga menunjukkan bahwa anak-anak yang menonton film kekerasan lebih cenderung memandang dunia sebagai tempat yang kurang simpatik, berbahaya, dan menakutkan. Anggapan negatif terhadap dunia luar ini lama-kelamaan dapat menumbuhkan sikap dan kepribadian agresif pada anak.

    “Anak yang gemar menonton acara-acara sadis di televisi cenderung menunjukkan perilaku sadis di masa depan, sementara orang-orang yang terlalu sering menonton TV cenderung memiliki perilaku buruk nantinya,” ujar para peneliti dari University of Otaga di New Zealand, berdasarkan hasil studi yang diterbitkan di jurnal Pediatric.

    Para peneliti menemukan bahwa anak yang lebih sering menonton TV akan melakukan tindakan kriminal saat dewasa. Faktanya, setiap jam yang dihabiskan anak untuk menonton TV di malam hari, risiko mereka melakukan perbuatan kriminal akan meningkat sebesar 30 persen.

    Penelitian ini dilaksanakan pada 1,000 anak yang lahir pada tahun 1972 sampai 1973 di kota Dunedin, New Zealand. Saat berusia lima tahun, anak-anak mulai diwawancarai mengenai kebiasaan menonton TV mereka setiap 2 tahun sekali. Peneliti lalu membandingkan informasi yang telah mereka dapat dengan rekor kriminal partisipan pada umur 17-26 tahun, termasuk perampokan bersenjata, pembunuhan, serangan yang membahayakan, pemerkosaan, menyerang orang dengan binatang, dan vandalisme dengan kekerasan telah dicatat secara terpisah. Para peneliti menemukan adanya kemiripan pada sikap agresif, antisosial, dan emosi negatif pada partisipan yang sama pada umur 21-26 tahun.

    Sifat antisosial,  atau yang sering disebut dengan “sosiopat” atau “psikopat” adalah sebuah kondisi gangguan mental di mana seseorang tidak dapat merasakan empati terhadap sekitarnya dan sering dikaitkan dengan sikap manipulatif dan bertentangan dengan hukum seperti compulsive liar (berbohong terus menerus tanpa disadari), mencuri, merusak properti, dan kekerasan.

    Individu pengidap psikopati tidak memiliki rasa penyesalan dan bersalah atas perbuatannya terhadap orang lain, juga rasa tanggung jawab yang hampir nol besar.

    Orangtua perlu mendampingi anak saat menonton televisi

    Meskipun alasan kenapa nonton film dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya sikap antisosial masih belum jelas (terlalu banyak faktor lain mengenai penyebab kemungkinan terjadinya hal ini), para peneliti mengatakan bahwa ada satu hal yang jelas-jelas dapat meminimalisir dampak negatif kebanyakan nonton film dan sinetron pada tumbuh kembang anak: kurangi waktu menonton anak.

    Beberapa hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua untuk meminimalisir dampak buruk dari tayangan televisi adalah:

    • Mempelajari tentang jenis dan rating film yang dapat ditonton oleh anak-anak. Dengan mengetahui jenis dan rating film, maka orang tua dapat mengetahui film apa saja yang cocok atau tidak cocok untuk ditonton oleh anak sesuai usianya.
    • Hindari memfasilitasi kamar anak dengan televisi, terutama jika Anda dan anak tidak tidur dalam satu kamar.
    • Memberikan larangan tegas dan pendampingan kepada anak yang menonton film kekerasan. Tujuannya adalah agar orang tua dapat mengawasi apa yang ditonton oleh anak, serta dapat melakukan diskusi dengan anak terhadap film yang ditonton. Salah satunya adalah dengan memberitahu bahwa adegan dalam televisi tidaklah nyata; sehingga kekerasan tersebut akan menyebabkan rasa sakit jika dilakukan di kehidupan nyata, sehingga mereka tidak boleh meniru adegan berbahaya tersebut.
    • Ajak anak Anda melakukan aktivitas lain, seperti menikmati alam dan lingkungan, bersosialisasi dengan teman seusianya, atau orangtua dapat memperkenalkan anak dengan hobi baru yang menyenangkan.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Yusra Firdaus


    Ditulis oleh Novi Sulistia Wati · Tanggal diperbarui 07/09/2023

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan