Anak-anak memang punya rasa ingin tahu yang besar, termasuk terhadap tubuhnya sendiri. Tak jarang mereka memegang alat kelaminnya, misalnya setelah mandi atau sebelum tidur. Hal ini sebenarnya wajar, tapi bila terus dibiarkan bisa jadi kebiasaan yang merugikan. Orangtua perlu tahu cara menghilangkan kebiasaan anak memegang alat kelamin dengan cara yang tepat.
Penyebab anak memegang kelamin
Anak yang memegang alat kelaminnya sering kali membuat orangtua khawatir atau bingung.
Meski begitu, perilaku ini umumnya merupakan bagian dari perkembangan yang normal, terutama pada usia 2 tahun hingga 6 tahun.
Pada usia ini, anak sedang memasuki fase phallic, yaitu salah satu tahapan dalam teori perkembangan psikoseksual Freud.
Dalam fase ini, anak mulai menunjukkan ketertarikan pada perbedaan anatomi tubuh dan menjadi penasaran terhadap organ genital.
Rasa ingin tahu terhadap tubuh sendiri menjadi sangat besar pada masa ini.
Seiring dengan perkembangan kemampuan motorik, anak mulai mampu menggerakkan tangan dan menjangkau berbagai bagian tubuhnya, termasuk area genital.
Melansir dari situs Healthy Children, tindakan menyentuh area tersebut biasanya bukan didorong oleh hasrat seksual, melainkan rasa penasaran terhadap bentuk, letak, serta sensasi yang muncul saat disentuh.
Bahkan, anak mungkin mengulanginya karena merasakan sensasi yang berbeda dibandingkan saat menyentuh bagian tubuh lainnya.
Selain karena rasa ingin tahu, anak di usia ini juga belum memahami batasan sosial mengenai perilaku yang pantas, terutama di tempat umum.
Akibatnya, mereka mungkin menyentuh alat kelamin di depan orang lain atau menunjukkan ketertarikan pada tubuh teman sebayanya.
Yang perlu diingat oleh orangtua adalah bahwa kebiasaan ini masih tergolong perilaku seksual yang wajar dalam masa perkembangan anak.
Meski demikian, penting bagi orangtua untuk memberikan arahan secara tenang dan mendidik agar anak dapat belajar mengenali tubuhnya sekaligus memahami norma sosial yang berlaku.
[embed-health-tool-vaccination-tool]
Bahaya kebiasaan anak memegang kelamin
Kebiasaan anak memainkan penis atau memegang alat kelamin pada dasarnya tidak berbahaya bila masih dalam konteks eksplorasi dan terjadi sesekali, terutama pada perkembangan balita.
Namun, bila perilaku ini terjadi secara berulang dan berlebihan hingga usia anak lebih besar tanpa mengenal tempat dan situasi, maka perlu diwaspadai karena bisa berdampak negatif, baik secara sosial maupun psikologis.
Berikut adalah beberapa potensi bahaya atau dampak dari kebiasaan anak memegang kelamin.
1. Gangguan sosial
Jika anak terbiasa memegang alat kelamin di tempat umum, ia bisa dianggap melakukan perilaku yang tidak sopan.
Anak bisa mendapatkan reaksi negatif dari lingkungan, seperti ejekan, teguran kasar, atau bahkan dikucilkan oleh teman sebayanya.
2. Risiko infeksi
Tidak hanya dianggap negatif di lingkungan sosial, kebiasaan ini juga membawa risiko kesehatan bagi anak itu sendiri.
Jika tangan anak tidak bersih, memegang kelamin atau memainkan penis dapat menyebabkan infeksi saluran kemih atau iritasi kulit.
3. Ketergantungan sebagai bentuk self-soothing
Beberapa anak menjadikan kebiasaan ini sebagai cara untuk menenangkan diri, misalnya saat stres, bosan, atau mengantuk.
Jika tidak diarahkan dengan cara yang sehat, ini bisa berkembang menjadi pola coping yang tidak ideal.
Cara menghilangkan kebiasaan anak memegang alat kelamin
Meski perilaku ini tergolong wajar bila terjadi sesekali, tetap penting bagi orangtua untuk mengarahkan dan membimbing anak dengan cara yang tepat.
Jika dibiarkan tanpa pendampingan, perilaku ini bisa terbawa hingga usia lebih besar atau dilakukan di tempat dan situasi yang tidak semestinya.
Berikut adalah beberapa cara menghilangkan kebiasaan anak memegang alat kelamin yang bisa orangtua lakukan.
1. Jangan bereaksi berlebihan
Saat melihat anak memegang alat kelaminnya, hindari membentak anak, menepis tangannya, atau menunjukkan ekspresi marah.
Reaksi seperti ini justru bisa membuat anak merasa bahwa tubuhnya memalukan atau salah.
Alih-alih menghentikan kebiasaannya, anak mungkin hanya akan menyembunyikannya dari Anda dan merasa tidak nyaman untuk bertanya soal tubuhnya di masa depan.
2. Ajarkan anak tentang privasi
Penting bagi orangtua untuk mulai mengenalkan konsep ruang pribadi.
Anda bisa menjelaskan bahwa menyentuh alat kelamin bukanlah hal buruk, tetapi itu adalah bagian dari tubuh yang bersifat pribadi.
Oleh karena itu, jika anak ingin memegang kelamin, ajarkan bahwa hal tersebut hanya boleh dilakukan di tempat yang privat, seperti kamar tidur, dan bukan di ruang publik.
3. Bicarakan tentang batasan dan kenyamanan orang lain
Jelaskan kepada anak bahwa setiap orang punya batas kenyamanan, termasuk Anda sebagai orangtua.
Jika Anda tidak nyaman anak melakukan itu di depan Anda, sampaikan secara jujur dan penuh kasih bahwa hal itu sebaiknya dilakukan sendiri.
Ini juga mengajarkan anak tentang pentingnya menghormati batasan orang lain.
4. Gunakan istilah tubuh yang benar
Sebisa mungkin, biasakan menyebut nama-nama alat kelamin dengan benar, seperti penis atau vagina.
Hal ini membantu anak memahami bahwa tubuh mereka bukan sesuatu yang tabu, dan mereka dapat membicarakannya secara terbuka dan sehat.
5. Jangan buat anak merasa malu
Rasa ingin tahu terhadap tubuh, termasuk alat kelamin, adalah bagian dari perkembangan normal anak.
Jangan memberi kesan bahwa kebiasaan anak memegang kelamin adalah sesuatu yang buruk atau menyimpang. Anggap ini sebagai fase eksplorasi yang alami dan tangani dengan tenang.
Perlu dipahami bahwa cara untuk menghilangkan kebiasaan anak memegang alat kelamin ini mungkin perlu dilakukan secara tenang dan berulang.
Namun, bila perilaku ini tampak berlebihan, disertai kecemasan, atau muncul tanda-tanda tidak biasa lainnya, penting untuk berkonsultasi dengan dokter anak atau psikolog anak.
Kesimpulan
- Memegang alat kelamin merupakan bagian dari eksplorasi normal pada anak usia dini, biasanya didorong oleh rasa ingin tahu, bukan hasrat seksual.
- Namun, perilaku ini bisa berdampak negatif jika berlebihan atau dilakukan di tempat umum, seperti risiko infeksi, gangguan sosial, dan pola coping yang tidak sehat.
- Orangtua sebaiknya merespons dengan tenang dan edukatif, tanpa menghukum atau mempermalukan anak, serta mengajarkan konsep privasi dan batasan sosial.