Sindrom Stockholm atau Stockholm Syndrome adalah reaksi psikologis yang ditandai oleh rasa simpatik atau kasih sayang yang muncul dari korban penculikan terhadap pelaku.
Stockholm Syndrome muncul sebagai mekanisme pertahanan diri yang bisa dilakukan secara sadar atau tidak sadar oleh korban. Pada dasarnya, reaksi pertahanan diri membuat seseorang menunjukkan perilaku atau sikap yang berlawanan dengan apa yang sesungguhnya mereka rasakan atau harusnya lakukan.
Mekanisme pertahanan diri ini dilakukan semata-mata dilakukan korban untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman, kejadian traumatis, konflik, serta berbagai perasaan negatif seperti stres, gelisah, takut, malu, atau marah.
Korban justru bersimpati terhadap pelaku
Ketika seorang sandera penculikan atau korban KDRT ditahan dalam situasi yang menakutkan, korban akan merasa marah, malu, sedih, takut, dan benci pada pelaku. Namun, menanggung beban perasaan-perasaan tersebut untuk waktu yang cukup lama akan membuat mental korban kelelahan.
Akibatnya, korban mulai membentuk mekanisme pertahanan diri dengan cara membentuk reaksi yang berlawanan sepenuhnya dengan apa yang sesungguhnya dirasakan atau seharusnya dilakukan. Maka, rasa takut akan berubah menjadi rasa iba, amarah akan berubah menjadi kasih sayang, dan kebencian akan berubah menjadi rasa solidaritas.
Selain itu, beberapa ahli menyebutkan bahwa tindakan-tindakan penyandera seperti memberi makan atau membiarkan korbannya tetap hidup justru diterjemahkan sebagai bentuk penyelamatan.
Hal tersebut mungkin terjadi karena korban merasa bahwa nyawanya sedang terancam. Sementara satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan dan menerima dirinya adalah pelaku itu sendiri. Entah itu lewat makanan yang diberikan pelaku atau sekadar membiarkan korban tetap hidup.
Gejala Sindrom Stockholm yang khas
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar