Mimpi saya adalah menjadi wanita karier yang sukses. Selepas menyelesaikan studi di salah satu kampus terbaik di Indonesia, saya berhasil meniti karier dengan baik. Namun, di tengah perjalanan, saya didiagnosis mengidap skizofrenia. Saya harus banting setir mencoba pekerjaan lain demi mengobati penyakit mental ini. Meski mengidap skizofrenia, saya tetap berusaha untuk berkarya.
Mengidap skizofrenia di tengah perjalanan karier
Tahun 2004 merupakan tahun penting bagi saya. Pada tahun ini, saya giat meraih cita-cita sebagai wanita karier.
Hidup saya sudah cukup lengkap. Saya memiliki karier yang cemerlang, suami yang suportif, dan anak yang saya cintai.
Namun, tiba-tiba saya berteriak tanpa alasan jelas di kantor. Saya akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa dan didiagnosis mengalami skizofrenia paranoid.
Rupanya saya sudah mengalami sejumlah gejala skizrofenia sejak lama, tapi tak mengetahui bahwa itu berkaitan dengan gangguan mental.
Sebelumnya, saya selalu merasa ketakutan dan terancam. Tak jarang, saya mendengar bisikan-bisikan yang memerintah untuk melakukan tindakan yang tidak benar.
Saya juga selalu mencurigai suami berselingkuh dengan wanita lain. Tidak main-main, di pikiran saya, mereka sudah memiliki dua buah hati.
Ada juga perasaan aneh yang menumbuhkan kepercayaan bahwa saya adalah seorang nabi yang punya misi mulia mengajak orang lain bertaubat.
Mencoba memahami penyebab skizofrenia
Sedikit menilik ke belakang, saya dulu menempuh pendidikan psikologi di salah satu universitas di Yogyakarta. Apa yang saya pelajari ternyata membantu saya memahami kondisi yang saya alami.
Berdasarkan apa yang saya ketahui, skizofrenia tidak muncul karena satu penyebab saja, tapi bisa berhubungan dengan berbagai faktor.
Gangguan mental ini berkaitan dengan ketidakseimbangan zat kimia atau neurotransmiter otak, yaitu dopamin dan serotonin. Skizofrenia juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak mendukung.
Dari sini, saya menyadari jika saya cukup tertekan dengan pekerjaan. Kepribadian saya yang cenderung pendiam dan tertutup membuat saya semakin sulit mengelola stres. Beban pun terasa semakin berat.
Jauh sebelum saya didiagnosis, saya pernah mengalami kekerasan seksual. Hal ini tentunya bisa menciptakan trauma besar dan berkepanjangan.
Lingkungan keluarga yang dahulu cukup kaku ternyata juga bisa memengaruhi kondisi saya. Dokter pun menduga kuat jika hal-hal inilah yang menjadi pemicu.
Upaya saya menerima kondisi skizofrenia
Awalnya, saya tidak langsung mengetahui hasil diagnosis dokter. Orang pertama yang mengetahui saya mengidap skizofrenia justru suami saya.
Saya tak lantas begitu saja menerima kondisi ini. Dari apa yang saya pelajari saat kuliah, skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang paling berat dan sulit disembuhkan.
Suami membantu meyakinkan saya dengan memberikan jurnal-jurnal berkaitan dengan skizofrenia agar saya dapat mempercayai hasil diagnosis.
Ia terus memberikan bukti-bukti ilmiah, tapi saya tetap menyangkal mengidap skizofrenia. Mungkin diagnosis depresi lebih masuk akal.
Saya pun membuat janji dengan beberapa psikiater lain di Jakarta. Saya bahkan pulang ke Yogyakarta dan menemui psikiater lulusan universitas saya.
Berharap psikiater lain memberikan hasil diagnosis selain skizofrenia paranoid. Namun, seluruh dokter tenyata mengatakan hasil yang sama.
Saya sulit menerima kenyataan. Fase ini merupakan fase tersulit selama saya mengidap skizofrenia.
Terlebih, saya menyadari untuk bisa menjalani hidup yang normal seperti orang lain saya harus minum obat teratur.
Bertahun-tahun saya masih dalam fase penyangkalan dan ini berdampak cukup hebat terhadap kondisi saya.
Pada tahun 2005 dan 2011, gejala skizofrenia saya kumat. Saya mulai berpikir bahwa keluarga akan membunuh saya.
Sering kali saya mengontak kolega suami untuk mengatakan hal-hal yang sebenarnya tak terjadi. Saya kerap melarang suami untuk mengakses ponsel dan gawai lainnya.
Namun, saya juga lebih sering diam. Jika berbicara, konteks pembicaraan sering melompat-lompat sehingga terdengar tak beraturan.
Pada saat itu, saya pun tidak ingin minum obat, bahkan hingga membuangnya. Saya takut obat akan membuat ketergantungan dan merusak ginjal saya.
Bukan waktu sebentar untuk bisa lepas dari penyangkalan ini. Tidak dalam hitungan hari atau bulan. Butuh tujuh tahun untuk sepenuhnya menerima bahwa saya mengalami skizofrenia.
Keinginan sembuh dari skizofrenia
Pada tahun 2011, saya merasa lelah dengan suara dan bisikan tidak nyata yang terdengar, begitu pun dengan memercayai hal-hal yang tidak terbukti.
Saking lelahnya, saya bahkan tidak sanggup lagi membayangkannya.
Namun, jika saya rutin minum obat dan mengimbanginya dengan pola pikir yang tepat, saya tidak lagi merasakan gejala skizofrenia yang menyiksa.
Karena itu pula, saya mulai perlahan-lahan menerima kondisi yang saya alam.
Saya lebih menyadari gejala-gejala yang timbul. Jika halusinasi dan delusi muncul, saya tidak lagi langsung memercayainya. Hal itu tidaklah nyata, ucap saya meyakinkan diri.
Saya juga berusaha menahan diri untuk tidak mengambil tindakan apa pun atas dorongan tersebut.
Sedikit demi sedikit, saya berupaya menghindari untuk larut dalam beban pikiran (overthinking) atau terpenjara dalam kepercayaan yang belum tentu benar.
Dalam hal ini, saya beruntung karena tak memeranginya sendirian. Suami dan keluarga saya amat membantu dan terus memberikan dukungan.
Berdamai dengan skizofrenia dan berkarya
Salah satu stresor (pemicu stres) terbesar saya berasal dari cita-cita yang sudah saya rencanakan sejak bertahun-tahun.
Untuk mengendalikan skizofrenia yang saya miliki, saya pun memberanikan diri untuk berhenti bekerja. Tidak mudah bagi saya, mengingat menjadi wanita karier merupakan impian saya sejak lama.
Dalam pekerjaan, saya bahkan memiliki performa terbaik meskipun ternyata pada saat itu saya sudah memiliki skizofrenia.
Namun, psikiater saya pun menyarankan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Mertua saya pun menyatakan hal serupa kepada suami saya.
Setelah suami juga menjanjikan saya untuk tidak lagi melanjutkan pekerjaan. Saya pun sempat berpikir untuk beberapa saat.
Saya sudah terbiasa memiliki pemasukan sendiri, sudah menekuni minat di bidang sumber daya manusia dan karier, serta melatih para pegawai atau untuk menemukan potensinya.
Setelah saya resign, saya akan tidak memiliki ini semua. Saya pun memantapkan diri untuk keluar dari pekerjaan saya. Keluarga tak henti-hentinya memberikan dukungan atas keputusan besar ini.
Saya bahkan bisa menikmati hal-hal yang dulu tidak saya sukai, misalnya memasak dan melakukan pekerjaan domestik.
Karena ini pula, saya menemukan hobi baru, seperti fotografi, memasak sehat, dan menekuni eco printing (kesenian corak kain) dengan dedaunan dengan pewarna alami.
Menjalani dunia baru setelah skizofrenia
Perjuangan bertahun-tahun untuk menerima kondisi yang saya miliki perlahan-lahan membuahkan hasil.
Ya, sejak tahun 2013 hingga saat ini, saya hanya mengonsumsi obat dengan dosis terkecil untuk mempertahankan efek obat yang bermanfaat.
Saya pun bisa beraktivitas seperti pada umumnya. Skizofrenia bahkan tidak kambuh selama sebelas tahun.
Hal ini membuat saya percaya jika stigma skizofrenia di luar bisa dipatahkan jika ingin berusaha sungguh-sungguh.
Salah satu hal yang saya sangat tekuni semenjak memiliki skizofrenia adalah kegiatan eco printing. Ini membuat saya senang dan semakin rileks.
Dari sini, saya bisa menyimpulkan jika obat-obatan dan kontrol pikiran yang konsisten lah yang berperan penting dalam kondisi mental saya.
Saya pun memberanikan diri untuk mencoba hobi baru yang lebih menantang, yakni berpelesir atau backpacking hemat bersama teman saya. Tidak tanggung-tanggung, saya bahkan bisa terbang ke luar negeri.
Dukungan keluarga demi kesembuhan saya
Sejak awal saya menunjukkan gejala skizofrenia, keluarga saya tak henti-hentinya memberikan dukungan. Suami saya selalu memberikan opsi yang sebisa mungkin mengurangi stres saya.
Suami pula yang membantu saya menemukan minat terhadap fotografi. Dia lah yang mengajari saya teknik-teknik fotografi. Kami pun sering hunting foto setiap akhir pekan.
Saya pun mendapat dukungan dari suami dan anak saya untuk menulis buku terkait perjalanan skizofrenia dan backpacking saya. Mereka juga ingin saya bisa memberikan inspirasi bagi orang banyak.
Buah hati saya juga membantu mengingatkan saya untuk mengonsumsi obat, bahkan sejak ia berusia empat tahun.
Mertua saya pun menginginkan hal yang terbaik untuk kesehatan mental saya.
Saya pun sepakat, menjauhi stresor dengan berhenti bekerja adalah ide yang cukup bijak bagi saya. Keputusan ini berkat andil beliau.
Buktikan skizofrenia tetap bisa berkarya dan hidup normal
Ada berbagai stigma yang muncul bagi pemilik skizofrenia. Saya sama sekali tidak setuju dengan pernyataan miring tersebut.
Tudingan skizofrenia tidak bisa apa-apa atau kata-kata menyakitkan dan nyeleneh lainnya sama sekali tidak benar.
Kita bisa beraktivitas seperti biasa. Hal ini tentu harus didukung lingkungan yang suportif. Hargai keberadaan kita dan hentikan julukan-julukan, seperti “orang gila”.
Kita juga bisa berkarya jika ada lingkungan yang memberikan wadah. Jika semua aspek sudah sangat mendukung, kita pasti bisa menjalani kegiatan sehari-hari.
Karena perjalanan saya dengan skizofrenia, saya juga bisa membuka diri dengan hal-hal baru.
Pengalaman ini justru mengantarkan saya menemukan minat baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Andri (50) bercerita untuk Hello Sehat