backup og meta

Pengalaman Mengidap Skizofrenia dan Bergelut dengan Narkoba

Pengalaman Mengidap Skizofrenia dan Bergelut dengan Narkoba

Karena stigma yang masih terus melekat, pengidap skizofrenia kerap ditakuti dan dianggap berbahaya. Padahal, pasien yang memiliki kondisi ini juga bisa hidup normal seperti orang yang lainnya. Inilah pengalaman saya mengidap skizofrenia dan bergelut dengan narkoba di saat yang sama.

Didiagnosis skizofrenia pada usia 24 tahun

Saya Muhammad Agung Novel, seorang pengidap skizofrenia. Saya telah didiagnosis mengalami kondisi ini sejak usia 24 tahun.

Awalnya, saya sering mengalami halusinasi seakan mendengar suara orang-orang berbicara. Saat itu, saya mengira bahwa suara-suara tersebut hanyalah perasaan dari hati saja.

Namun, lambat laun suara-suara itu mulai mengganggu dan tidak menyenangkan. Ketika mendengarnya, saya merasa seperti ada orang-orang yang ingin berniat buruk pada saya. Saya pun jadi terdorong untuk melakukan hal-hal negatif sebagai bentuk perlindungan diri.

Puncaknya hal ini membuat saya jadi terlibat dalam sebuah pertengkaran.

Ini terjadi ketika suatu hari saya melihat mobil merah terparkir di depan rumah. Pikiran saya menganggap warna merah itu sebagai tanda bahwa pemilik mobil sedang ingin menantang saya. Alhasil, saya menghampiri si empunya mobil dengan niat mengusir mobil agar berpindah tempat.

Di lain hari, pernah saya keluar rumah di tengah malam disertai perasaan ingin marah-marah tanpa tahu sebab.

Perubahan perilaku inilah yang akhirnya mendorong ibu saya untuk mengajak saya pergi ke psikiater. Di sana, saya berkonsultasi tentang apa yang saya alami. Setelahnya, psikiater meminta saya untuk mengerjakan sebuah tes. Saya masih ingat lelahnya menjawab 200 pertanyaan dalam tes tersebut.

Dari hasil tes itu, dokter mendiagnosis bahwa saya mengidap skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid adalah penyakit kejiwaan yang membuat seseorang sulit membedakan khayalan dan kenyataan.

Kala itu, saya sempat merasa tak terima dengan diagnosis dari dokter, sebab saya merasa normal dan baik-baik saja.

Diagnosis itu membuat saya terus mencari tahu tentang skizofrenia dan gejalanya. Ternyata, skizofrenia paranoid juga kerap membuat penderitanya mengalami delusi bahwa orang lain ingin mencelakakan dirinya atau keluarganya.

Lewat penjelasan ini, saya jadi menyadari apabila tindakan dan emosi yang saya rasakan sebelumnya merupakan gejala dari skizofrenia. Perlahan, saya menerima kondisi yang ada serta mulai mencoba menjalani terapi dengan minum obat dan datang di sesi konsultasi bersama psikiater.

Sempat terjerat narkoba dan masuk rumah sakit jiwa

Setelah lulus SMA di Jakarta, saya meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi di Amerika Serikat. Tak hanya menempuh pendidikan, saya juga sempat bekerja di sana.

Kesibukan yang saya jalani lambat laun terasa sangat melelahkan. Bahkan, saya sampai mengalami depresi akibat tekanan yang saya dapatkan di tempat kerja.

Untuk melampiaskan stres, saya menghabiskan waktu setelah kerja dengan berkumpul bersama teman-teman. Dari kelompok pertemanan tersebut, saya mulai mengenal ganja.

Awalnya saya hanya coba-coba. Semakin lama, saya merasa beban saya terangkat setiap kali mengisap ganja. Perasaan bebas ini membuat saya jadi terus-menerus menggunakannya. Saya mulai kecanduan.

Kecanduan ini turut serta perlahan mengubah perilaku saya, ditambah dengan gejala skizofrenia yang saya alami. Saya jadi sering melakukan tindakan impulsif dan agresif tanpa sebab. Tante yang melihat perubahan saya akhirnya memanggil polisi untuk membawa saya ke rumah sakit jiwa.

Di sana, saya harus menjalani pemeriksaan untuk mencari penyebab tindakan-tindakan aneh yang saya lakukan. Setelah itu, petugas membawa saya ke ruang tidur. Suara dengkuran dari orang lain bahkan terasa sangat menakutkan saat itu, sampai-sampai saya harus keluar dari ruangan.

Usai perawatan di rumah sakit, sesekali saya masih bertemu dengan teman-teman. Namun, lama kelamaan muncul titik jenuh dan perasaan ingin sembuh. Saya memutuskan untuk berhenti menggunakan ganja sepenuhnya dengan usaha sendiri.

Dukungan orang terdekat membantu saya mengatasi gejala skizofrenia

dukungan untuk pengalaman narkoba dan skizofrenia

Sulit memang untuk bangkit dari kondisi ini, apalagi efeknya yang sedikit banyak telah memengaruhi kehidupan sehari-hari. Saya sempat kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas, belum lagi masih ada pikiran negatif yang sesekali datang menghantui.

Akan tetapi, saya sudah membulatkan tekad untuk sembuh. Saya sadar bahwa saya tidak bisa terus bermalas-malasan. Saya harus mencari aktivitas baru yang bisa mendorong saya agar lebih produktif.

Secara perlahan, saya mencoba untuk kembali menjalani hidup normal dengan membiasakan bangun pagi dan minum obat secara teratur. Syukur alhamdulillah, kondisi saya mulai membaik setelahnya.

Selain orang tua, dukungan istri juga sangat membantu saya agar lebih semangat menjalani pengobatan.

Saya menikahi istri saya di tahun 2012. Sebelumnya, saya tidak pernah bercerita mengenai kondisi saya dengan sang  istri. Begitu hubungan kami mulai memasuki masa-masa yang lebih serius, ibu saya kemudian menceritakan perihal kondisi saya yang mengidap skizofrenia.

Mulanya, istri saya tak percaya bila saya memiliki pengalaman mengidap skizofrenia dan memakai narkoba. Menurutnya, saya terlihat baik-baik saja. Sekian lama kami bersama, istri saya mulai memahami bahwa kondisi skizofrenia pada setiap orang dapat berbeda-beda.

Hingga saat ini, sang istri masih setia menemani saya kontrol ke psikiater. Terkadang, istri juga membantu saya mengambil obat ke rumah sakit.

Sebenarnya, sempat terjadi pertengkaran di antara kami, lantaran kebutuhan untuk mengonsumsi ganja kambuh kembali. Namun setelah berpikir panjang, saya tidak akan bisa lepas dari kondisi ini bila saya tidak disiplin saat menahan keinginan tersebut.

Saya merasa saya harus fokus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Lagipula, saya tak mau menjadi contoh yang buruk untuk anak saya.

Selain itu, saat ini saya juga bergabung dalam Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Melalui komunitas ini, saya bisa saling berbagi cerita tentang pengalaman mengidap skizofrenia dan memberi dukungan satu sama lain.

Lingkungan pekerjaan saya pun tak mempermasalahkan kondisi saya, selama saya tidak melakukan perbuatan yang mengganggu mereka.

Pasien skizofrenia butuh dirangkul, bukan dikucilkan

Saya sadar betul bahwa stigma yang masih melekat pada pengidap gangguan mental membuat banyak orang enggan untuk mendekat. Bahkan, pengidap skizofrenia juga kerap dikucilkan dan dipasung karena dianggap berbahaya.

Namun, ketahuilah bahwa orang-orang dengan skizofrenia juga bisa hidup dengan normal layaknya orang lain. Terutama bila ditangani dengan baik, pasien skizofrenia bisa menjalani hidup yang produktif.

Untuk mencapai kondisi yang baik, pasien skizofrenia sangat membutuhkan dukungan dari keluarga dan orang-orang di sekitar.

Selain itu, yang tak kalah penting dalam pemulihan skizofrenia adalah motivasi dari diri sendiri. Cobalah untuk lebih aktif dan berpikiran positif. Bila perlu, konsultasikan ke psikiater mengenai apapun yang dirasakan dan bila ada keluhan mengenai kecocokan obat.

Hingga saat ini pun saya masih rutin minum obat setiap harinya. Saya percaya, dengan disiplin menjalani pengobatan, kondisi saya bisa berangsur-angsur stabil kembali.

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Versi Terbaru

11/04/2022

Ditulis oleh Winona Katyusha

Ditinjau secara medis oleh dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

Diperbarui oleh: Angelin Putri Syah


Artikel Terkait

Apakah Rokok Bisa Memicu Gejala Skizofrenia, atau Malah Mengobati?

Jangan Sampai Tertukar, Ini Perbedaan Skizofrenia dan Bipolar Disorder


Ditinjau secara medis oleh

dr. Nurul Fajriah Afiatunnisa

General Practitioner · Universitas La Tansa Mashiro


Ditulis oleh Winona Katyusha · Tanggal diperbarui 11/04/2022

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan