Generasi Z (Gen Z) atau mereka yang lahir di antara tahun 1996–2012 belakangan ini kerap dianggap memiliki kondisi mental yang lemah.
Generasi ini dikenal memiliki mental “tempe” atau manja karena cukup sensitif dengan perubahan emosi yang ada.
Benarkah generasi z memiliki mental yang lemah?
Data yang dihimpun oleh Jakpat pada 2022 lalu menunjukkan bahwa gen Z memang menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan generasi X (1965–1980) dan generasi Milenial (1981–1996).
Setidaknya terdapat 59,1% Gen Z yang merasa memiliki masalah kesehatan mental, sementara generasi milenial hanya sebanyak 39,8% dan Gen X 24,1 persen.
Namun, apakah dari data tersebut menunjukkan bahwa Gen Z memiliki mental yang lemah? Faktanya, setiap generasi memiliki risiko yang sama untuk mengalami masalah mental.
Hanya saja, Gen Z hidup di era internet yang membuat mereka lebih mudah mencari informasi terkait kesehatan mental.
Informasi tersebut kemudian membuat Gen Z lebih “melek “ dengan kondisi mental yang dimilikinya.
Mungkin saja generasi terdahulu sebenarnya juga merasakan apa yang dirasakan oleh Gen Z.
Akan tetapi, mereka belum mengetahui istilah-istilah terkait kesehatan mental seperti anxiety, burnout, panic attack dan sejenisnya.
Selain itu, adanya pandemi selama 2019 hingga 2022 lalu juga berpengaruh pada kondisi mental, khususnya pada remaja.
Pasalnya, waktu yang umumnya digunakan untuk mengenal banyak orang, mencoba berbagai hal baru, dan memasuki tahap peralihan dari anak-anak ke remaja dan remaja ke dewasa terpaksa dihabiskan dengan berdiam diri di rumah.
Kondisi yang cukup mencekam pada masa pandemi, keterbatasan interaksi secara langsung, banyaknya kabar duka, dan ketidakpastian akan segala sesuatu rentan memicu berbagai masalah kesehatan mental pada generasi Z.
Media sosial dan Gen Z bagaikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sayangnya, jika tidak digunakan secara bijak, informasi pada media sosial bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental generasi Z.
Apa yang terlihat di media sosial sering kali menjadi standar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Padahal, apa yang terlihat di media sosial tak jarang hanyalah sisi baik dari satu hal saja.
Salah satu dampak media sosial pada remaja yaitu stres karena mereka tidak bisa mengikuti “standar” orang lain. Ini jugalah yang membuat risiko masalah kesehatan mental lebih tinggi pada generasi Z.
Oleh karena itu, penting untuk menyaring informasi yang beredar di internet. Bagi orangtua, apalagi dengan anak-anak di bawah umur, dampingilah anak Anda saat menggunakan internet.
Bekali anak dengan mengajarkannya cara menggunakan internet dengan bijak serta bermain media sosial dengan aman.
Media sosial sering kali juga digunakan sebagai tempat curhat untuk menyalurkan emosi negatif. Sayangnya, hal ini sering kali menjadi bumerang bagi kesehatan mental generasi Z.
Apa yang Anda tampilkan pada media sosial tidak lepas dari berbagai konsekuensinya.
Maka dari itu, semua orang perlu sangat berhati-hati dalam berkomentar, posting, maupun berbagi informasi di dunia maya.
Jika anda menghadapi suatu permasalahan, pertimbangkan kembali sebelum Anda membagikan segala sesuatu ke media sosial.
Akan lebih baik jika Anda mencari penyebab utama dari masalah yang Anda hadapi dan berusaha memperbaikinya dari sana ketimbang berkeluh kesah atau curhat pada media sosial.
Bagi para orangtua, bekali anak dengan pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan internet dengan bijak.
Hampir semua sosial media memiliki batasan usia bagi penggunanya. Selain mengajarkan anak untuk mematuhi batasan usia tersebut, diskusikan dengan anak mengenai risiko dari media sosial yang ia gunakan.
Ini termasuk apa dampaknya ketika anak oversharing (terlalu banyak mengumbar informasi), berkeluh kesah, dan berkomentar negatif melalui media sosial.
Apabila anda menemukan anak berkeluh kesah di sosial media, ajaklah ia berdiskusi. Coba tanyakan:
- apa yang sebenarnya mereka rasakan,
- kondisi seperti apa yang menyebabkannya,
- apa yang mereka harapkan dari membagikan perasaan tersebut di media sosial, dan
- apa dampaknya setelah mereka curhat pada sosial media.
Dampak tersebut bisa dibagi dua, yaitu dampak jangka pendek serta dampak jangka panjang. Lalu, jangan lupa berdiskusi dengan anak tentang cara mengatasi permasalahan yang ia hadapi.
Curhat ke media sosial tidak menyelesaikan permasalahannya. Bahkan, tidak jarang ini malah menimbulkan konsekuensi tambahan dari masalah yang sebenarnya.
Bagaimana cara menghadapi kondisi mental gen Z?
Kesadaran akan kesehatan mental pada generasi Z sebenarnya merupakan sesuatu hal yang bagus. Namun, jangan sampai informasi tersebut membuat Anda melakukan self-diagnosis.
Sebagai contoh, merasa cemas saat akan menghadapi ujian tidak selalu berkaitan dengan gangguan kecemasan. Rasa sedih yang hilang-timbul juga tidak sama dengan gangguan bipolar.
Selama itu terjadi pada satu periode dan segera menghilang ketika sumber masalahnya berlalu, itu adalah sesuatu hal yang normal.
Namun, segeralah cari bantuan profesional ke psikolog klinis atau psikiater jika rasa cemas terus berulang atau disertai dengan gejala gangguan mental, seperti:
- gemetar,
- keringat berlebih,
- perubahan suasana hati yang drastis,
- mual,
- kehilangan kesadaran, hingga
- keinginan untuk bunuh diri.
Setiap orang mungkin memiliki gejala gangguan mental yang berbeda, termasuk yang tidak dituliskan di atas.
Oleh karena itu, Anda perlu berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater untuk memastikan kondisi Anda dan menentukan penanganan yang tepat.
Penting untuk diingat
Kesehatan mental adalah kondisi yang sangat bersifat sangat individual. Maka, kemampuan seseorang dalam menghadapi suatu masalah mungkin juga berbeda-beda.
Satu masalah yang Anda anggap kecil mungkin memiliki dampak yang lebih besar bagi orang lain.
Peran lingkungan sekitar pada mental generasi Z
Bagi generasi Z yang masih berada pada fase remaja, peran orang tua dalam menjaga kesehatan mental anak sangatlah penting.
Pendampingan psikologis pada anak-anak dan remaja yang mengalami masalah kesehatan mental biasanya tidak hanya diberikan pada anak tersebut, tetapi juga orang tua.
Pasalnya, peran mereka dalam kehidupan sehari-hari anak masih sangatlah besar.
Orangtua perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan bagaimana mendampingi anak/remaja pada masa-masa sulitnya.
Tidak berhenti di situ, orangtua juga harus mengetahui bagaimana cara parenting yang tepat agar tumbuh kembang anaknya lebih optimal.
Sementara itu, bagi Gen Z yang sudah berada pada masa awal dewasa, wajar jika peran orang tua tidak sebesar pada diri remaja.
Sebagai individu dewasa awal, diharapkan generasi Z ini sudah lebih mandiri serta mampu mengatasi permasalahannya sendiri, tidak lagi bergantung sepenuhnya pada orangtua.
Meski begitu, kehadiran support system dari orang-orang terdekat, terutama keluarga, tetap dibutuhkan.
Cara setiap orang dalam menghadapi sesuatu hal buruk yang memengaruhi kondisi mental mereka mungkin berbeda-beda.
Beberapa orang mungkin memang memerlukan saran, tetapi tidak sedikit juga yang hanya butuh didengarkan.
Setidaknya dengan menanyakan keadaannya, orang terdekat Anda tidak akan merasa sendiri dalam menghadapi masalah yang terjadi.