Siapa pun dapat mengalami masalah psikologis, tapi para transgender memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan orang pada umumnya. Isu terkait kesehatan, pengucilan di lingkungan sekitar, dan perundungan (bully) hanyalah satu dari banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
Transgender sendiri bukanlah masalah kejiwaan, apalagi penyakit seperti yang dahulu dikira oleh banyak orang. Para transgender adalah individu yang merasa tidak berada di dalam tubuh yang tepat, tapi masih harus menghadapi diskriminasi berkepanjangan. Semua ini lantas berdampak buruk bagi kesehatan jiwa mereka.
Masalah psikologis yang kerap dialami oleh transgender
Orang-orang transgender mengalami kondisi yang disebut gender dysphoria. Kondisi ini membuat seseorang mengalami rasa tidak nyaman atau tertekan karena merasa jenis kelamin biologisnya tidak cocok dengan identitas gender yang mereka yakini.
Konflik gender menimbulkan dampak beragam bagi setiap orang yang mengalaminya. Seseorang mungkin ingin mengekspresikan dirinya dengan mengenakan pakaian lawan jenis, ada yang ingin mengubah sebutan dirinya, dan ada pula yang mengambil langkah lebih lanjut dengan menjalani operasi ganti kelamin.
Namun, tidak semua orang dengan gender dysphoria melewati jalan yang mulus dalam mengenali jati dirinya. Melansir laman University of Rochester Medical Center, banyak LGBTQ+ yang kesulitan dalam menentukan seksualitas mereka dan menyampaikannya kepada orang-orang terdekat.
Transgender dan gender dysphoria bukanlah penyakit kejiwaan, tetapi kesulitan yang mereka hadapilah yang lantas memicu berbagai masalah psikologis tersebut. Berikut beberapa masalah psikologis yang rentan mereka alami:
1. Gangguan kecemasan
Hampir setengah dari populasi transgender di Amerika Serikat mengalami gangguan kecemasan. Bahkan, sebuah penelitian dalam International Journal of Transgenderism menyebutkan bahwa risiko gangguan kecemasan pada transgender tiga kali lipat lebih besar dibandingkan orang-orang pada umumnya.
Gangguan ini biasanya muncul akibat penolakan selama transisi menuju gender yang baru. Menurut Simran Shaikh, aktivis HAM sekaligus anggota Aliansi HIV/AIDS di India, transgender kerap menghadapi penolakan kuat dari orang-orang yang paling dekat dengannya.
Penolakan tersebut membuat mereka tidak bisa mengekspresikan diri seutuhnya, atau bahkan sekadar mengungkapkan perasaannya. Akibatnya, mereka rentan mengalami gangguan kecemasan yang semakin tumbuh seiring waktu.
2. Depresi
Peneliti dari Boston University dan beberapa universitas lainnya mengadakan survei ke 71 kampus di Amerika Serikat. Survei ini bertujuan untuk mengetahui jumlah penderita masalah psikologis pada mahasiswa dengan gender minoritas, termasuk transgender.
Hasilnya, sekitar 78% peserta dari kelompok gender minoritas memenuhi kriteria satu masalah psikologis atau lebih. Sebanyak 60% peserta yang merasa tidak cocok dengan jenis kelaminnya memenuhi kriteria depresi, jauh lebih tinggi dibandingkan peserta yang merasa cocok dengan jenis kelaminnya.
Depresi biasanya timbul akibat pengucilan dan stigma negatif dari orang-orang sekitar. Perilaku yang mereka terima lambat laun memicu stres berkepanjangan, menurunkan kepercayaan diri, serta menghambat kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan bersosialisasi.
3. Self-harm dan pikiran untuk bunuh diri
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Boston University juga melihat angka pelaku self-harm dan mereka yang pernah memiliki pikiran untuk bunuh diri. Menurut penelitian tersebut, sebanyak 40% transgender mengaku pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya.
Mengacu Mental Health Commission of Canada, berikut beberapa faktor yang membuat transgender rentan melakukan percobaan bunuh diri:
- Mengalami diskriminasi serta kekerasan fisik, verbal, dan seksual.
- Kurangnya dukungan dari orangtua dan kerabat.
- Adanya kebijakan di tempat tertentu yang menimbulkan rasa tidak aman.
- Stres dan rasa takut akibat proses transisi gender.
- Perubahan besar-besaran dalam pola hidup setelah transisi gender.
4. Masalah psikologis pada transgender terkait penyalahgunaan zat
Masalah psikologis lain yang kerap terjadi pada transgender adalah penyalahgunaan zat seperti alkohol, rokok, dan narkotika. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena mereka kesulitan menempatkan diri dalam masyarakat yang bersikap diskriminatif.
Menurut The Center for American Progress, sekitar 20-30% gay dan transgender telah melakukan penyalahgunaan zat. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah penyalahguna zat pada populasi umum yang hanya sebesar 9 persen.
Penyalahgunaan zat dapat menimbulkan masalah baru seperti kecanduan, terlebih lagi apabila orang yang mengalaminya juga memiliki trauma dan dikucilkan. Padahal, angka tersebut mungkin saja dapat dikurangi dengan menghindari perilaku diskriminasi.
Transgender dan setiap orang yang merupakan bagian dari LGBTQ+ adalah kelompok yang rentan mengalami masalah psikologis. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari kesulitan dalam menerima jati diri hingga perilaku diskriminatif dari lingkungan.
Selain itu, orang-orang LGBTQ+ yang mengalami masalah psikologis juga cenderung mendapatkan stigma negatif ganda. Seksualitas mereka dianggap sebagai penyakit kejiwaan, dan pada saat yang sama juga dinilai sebagai penyebab masalah psikologis lain.
Masalah psikologis yang menimpa transgender sebenarnya dapat dikurangi risikonya. Salah satunya dengan menghilangkan peraturan diskriminatif di tempat umum sehingga setiap orang memiliki hak yang sama dalam beraktivitas. Selain itu, edukasi tentang seksualitas juga penting untuk mengurangi perilaku pengucilan terhadap transgender.
Anda bisa melakukan konseling kesehatan mental ke psikolog atau psikiater tepercaya jika membutuhkan bantuan terkait masalah psikologis ataupun kejiwaan.