backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Mengapa Orang Mudah Terprovokasi di Keramaian

Ditinjau secara medis oleh dr. Andreas Wilson Setiawan · General Practitioner · None


Ditulis oleh Ajeng Quamila · Tanggal diperbarui 31/01/2020

    Mengapa Orang Mudah Terprovokasi di Keramaian

    Masih kental melekat dalam ingatan bagaimana aksi demo dan kerusuhan ‘98 memporak-porandakan negeri setelah Soeharto mengumumkan lengser dari kursi kepresidenan. Atau, bagaimana kerusuhan antara pengemudi taksi yang berseteru dengan pengendara layanan transportasi berbasis aplikasi yang belum lama ini terjadi, menyebabkan pemblokiran jalanan dan jumlah korban luka yang tidak sedikit.

    Entah itu aksi demo yang berujung kerusuhan skala besar, atau kerumunan orang yang sibuk main hakim sendiri saat menangkap basah pelaku kriminal sampai babak belur, tidak ada yang tahu pasti apa yang bear-benar memicu perilaku menghancurkan ini. Apakah ini produk dari pemuda yang semata-mata ingin menuntut hak mereka, atau hanya murni radikalisme?

    Penonton dan korban dari aksi kerusuhan tak urung akan menarik kesimpulan pribadi untuk mencoba memahami apa alasan di balik keberingasan massa ini. Apakah ada sudut pandang ilmiah rasional untuk dapat memahami apa yang memicu kerusuhan?

    Daya tarik kerumunan

    Kerumunan adalah suatu hal yang selalu menarik perhatian. Coba bayangkan, di mana pun Anda berada, setiap Anda melihat sekelompok besar orang tergabung dalam sebuah kerumunan, Anda pasti akan tertarik untuk mencari tahu apa yang terjadi, dan bergabung menjadi bagian kerumunan tersebut. Di satu sisi, kerumunan dipandang sebagai sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang “menular’, bahkan sesuatu yang menakutkan. Namun di saat yang sama, kerumunan juga dipandang dengan kagum dan penuh daya tarik.

    Menjadi bagian dari sekelompok besar orang, baik itu di pertandingan sepak bola atau konser rock, bisa menjadi suatu pengalaman yang unik. Berapa dari kita yang pernah secara tidak sadar ikut-ikutan bertepuk tangan atau menyorakkan cemoohan karena orang di sekitar kita melakukan hal yang sama, padahal kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perilaku kelompok kolektif aneh ini dipelajari dalam bidang sosial psikologi yang disebut dengan ‘psikologi kerumunan’.

    Teori 1: Anggota kerumunan cenderung tak jadi diri sendiri

    Yang paling penting dari perilaku kerumunan, terutama pada aksi kerusuhan, adalah bahwa aksi ini terjadi secara spontan dan pada dasarnya tak dapat diduga. Menurut teori ini, ketika berada dalam suatu kelompok, anggotanya menjadi anonim, mudah terpengaruh, cenderung penurut dan/atau menutup mata terhadap apa yang anggota lain lakukan dalam kelompok tersebut. Mereka juga akan seperti kehilangan identitas diri mereka, sehingga tanpa sadar mereka berperilaku yang sebenarnya berlawanan dengan norma pribadi.

    Inilah yang membuat banyak orang tersedot ke dalam massa dan mengikuti segala ide atau emosi dari pemimpin kelompok tersebut, bahkan jika emosi tersebut bisa merusak. Dalam sebuah kerumunan, orang-orang hanya meniru apa yang mereka lihat tanpa berpikir.

    Teori 2: Anggota kerumunan mengedepankan solidaritas

    Masalahnya, gagasan dasar dari teori psikologi kerumunan tersebut terbilang cukup usang dan sulit untuk dijadikan sebuah patokan dalam zaman modern. Penelitian sejarah dan psikologis menunjukkan bahwa dalam kelompok dan kerumunan, para anggota umumnya tidak anonim satu sama lain, tidak kehilangan identitas, maupun kehilangan kontrol perilaku mereka. Sebaliknya, mereka biasanya bertindak sebagai suatu entitas kelompok atau identitas sosial.

    Kerumunan bertindak dengan pola sedemikian rupa untuk mencerminkan budaya dan masyarakat; terbentuk atas pemahaman kolektif, norma dan nilai, serta ideologi dan struktur sosial. Sebagai akibatnya, peristiwa kerumunan selalu memiliki pola yang mengungkapkan bagaimana orang melihat posisi mereka dalam masyarakat, serta rasa benar dan salah.

    Berlawanan dengan keyakinan bahwa massa bertindak semata-mata membabi-buta, teori Clifford Stott dari University of Liverpool, dilansir dari Live Science, mengklasifikasikan perilaku kolektif dari sebuah kerumunan sebagai Model Identitas Sosial Terinci (Elaborated Social Identity Model), yang menyatakan bahwa setiap individu dalam kerumunan masih memegang nilai dan norma pribadi, dan masih memikirkan dirinya sendiri. Meski begitu, di atas identitas individu masing-masing, mereka juga mengembangkan identitas sosial darurat yang mencakup kepentingan kelompok.

    EP Thompson, pakar sejarawan dari teori perilaku kerumunan, dikutip dari The Guardian, berpendapat bahwa di dunia di mana kelompok minoritas cenderung dinomorduakan, kerusuhan adalah bentuk “perundingan bersama’. Setidaknya, menurut para perusuh, masalah mereka telah menjadi masalah yang sama bagi pihak mayoritas, dan maka dari itu pihak mayoritas (polisi atau pemerintah) telah dituntut untuk menyelesaikan masalah mereka yang sebelumnya diabaikan.

    Kerusuhan biasanya terjadi saat satu kelompok memiliki rasa solidaritas tentang bagaimana mereka diperlakukan secara tidak adil oleh kelompok lain, dan mereka melihat konfrontasi kolektif sebagai satu-satunya cara untuk menebus situasi. Memang, dengan berkelompok, orang menjadi berdaya untuk menciptakan pergerakan sosial guna membalikkan hubungan sosial yang normal.

    Teori 3: Kerumunan vs orang lain

    Dalam suatu kerumunan, orang-orangnya dapat bertindak berdasarkan satu set pemahaman kelompok, namun aksi dari masing-masing orang akan diinterpretasikan dengan berbagai cara berbeda oleh orang di luar kelompok tersebut.

    Saat orang-orang di luar kelompok ini memiliki kekuasaan lebih untuk mengartikan tindakan kerumunan tersebut (misalnya, pendemo terlihat oleh polisi sebagai bagian terpisah dari masyarakat, dan membawa bahaya bagi tatanan sosial) hal ini dapat mengakibatkan para pelaku yang terlibat dalam kerumunan massa ke dalam suatu situasi yang tidak terbayangkan. Terlebih lagi, polisi mampu memaksakan pemahaman ini kepada kerumunan tersebut melalui upaya menghentikan segala akitivitas demo dengan segala cara, mengingat sumber daya teknologi dan komunikasi aparat kepolisian yang lebih unggul.

    Karena usaha pembungkaman aksi dan karena juga dianggap sebagai musuh masyarakat dan potensi bahaya, para pendemo yang semula menjalankan aksi damai pun akan mulai bekerja sama untuk memerangi apa yang dilihatnya sebagai penindasan. Anggota massa merasa terancam dan bereaksi keras untuk melestarikan kelompok mereka. Selain itu, akibat dari pernah memiliki pengalaman yang sama di tangan polisi, kelompok-kelompok kecil yang terpisah kini melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok umum, namun dengan elemen radikal yang lebih intens dari kelompok tersebut, dan motivasi dasar yang mungkin berbeda dari kelompok utama. Beberapa memiliki motivasi politik, beberapa ingin ikut menjarah, sementara yang lainnya hanya ingin terlibat dalam perilaku merusak tanpa alasan pasti. Sehingga sulit untuk berteori tentang perilaku yang sama, yang disebabkan oleh impuls yang sangat berbeda.

    Perpanjangan kelompok ini, bersamaan dengan rasa solidaritas yang diharapkan dan diperoleh dari antar anggota dalam kelompok, menyebabkan rasa pemberdayaan diri dan keinginan untuk menantang polisi. Tantangan ini dilihat oleh polisi sebagai tindakan konfirmasi atas persepsi awal mereka dan, pada akhirnya, menyebabkan mereka untuk meningkatkan pengendalian dan kekuasaan atas kerumunan tersebut. Dengan pola ini, tingkat keparahan kerusuhan akan semakin meningkat dan berkelanjutan.

    Latar belakang sosial dan ekonomi juga berpengaruh

    Stott menunjukkan bahwa perilaku kerumunan dalam kerusuhan hanya merupakan satu gejala dari sebuah masalah utama yang mendasarinya. Penjarahan massal dan aksi bakar-bakaran saat krisis moneter tahun 1998, misalnya, menunjukkan kemarahan publik terhadap ketidakseimbangan ekonomi atau kurangnya kesempatan yang adil bagi masyarakat.

    Simon Moore, peneliti dari Violence & Society Research Group di Cardiff University, Wales, berpendapat bahwa ada satu faktor penentu yang mungkin menyatukan semua perusuh, yaitu persepsi bahwa mereka datang dari status rendah secara sosial, ekonomi, dan politik. Pada studi yang ia lakukan, Moore menemukan bahwa status ekonomi rendah (lebih tidak mampu secara finansial daripada orang-orang lain di area yang sama) dan bukan kemiskinan nyata (yang didefinisikan sebagai tidak adanya kemampuan untuk membayar hal-hal yang Anda butuhkan) menimbulkan penderitaan. Bersamaan dengan penderitaan, status diri yang rendah dalam masyarakat juga mengakibatkan rasa permusuhan. Menurut Moore, status rendah mendorong stres, yang dijadikan nyata dalam bentuk agresi.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Andreas Wilson Setiawan

    General Practitioner · None


    Ditulis oleh Ajeng Quamila · Tanggal diperbarui 31/01/2020

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan