Pernahkah Anda mendengar tentang kehamilan postmatur? Postmatur adalah kondisi ketika waktu kehamilan sudah melebihi usia normalnya, yakni lebih dari 42 minggu. Kehamilan postmatur dapat menimbulkan komplikasi kehamilan baik bagi ibu maupun janin. Apa penyebab postmatur dan adakah bahayanya? Simak penjelasannya berikut.
Apa penyebab postmatur?
Kehamilan postmatur, kehamilan post term, atau kehamilan serotinus, adalah kondisi kehamilan yang lewat waktu atau lebih dari hari perkiraan lahir (HPL).
Kehamilan yang dikatakan postmatur adalah ketika usia kehamilan sudah melewati 42 minggu (294 hari) terhitung, tapi belum kunjung melahirkan.
Ini dihitung dari hari pertama haid terakhir atau lewat dari hari taksiran persalinan lebih dari 14 hari.
Penyebab terjadinya kehamilan postmatur sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Namun, salah satu faktor risiko paling umum dari kehamilan postmatur adalah kekeliruan mengingat tanggal hari pertama haid terahir (HPHT).
Padahal, HPHT tetap menjadi informasi yang penting bagi dokter untuk memperkirakan tanggal persalinan meski mereka akan memastikan kondisi janin serta usia kehamilan yang lebih akurat lewat USG di trimester pertama.
Melansir dari Baby Injury Guide, beberapa hal lain yang turut menjadi faktor risiko kehamilan postmatur adalah sebagai berikut.
- Ibu hamil mengalami obesitas.
- Riwayat kehamilan post-term sebelumnya.
- Defisiensi sulfat pada plasenta (kelainan genetik yang sangat jarang).
- Kelainan sistem saraf pusat
- Anensefali
Apa risiko jika ibu mengalami kehamilan postmatur?
Hasil data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 menyebutkan bahwa angka kejadian kehamilan lewat waktu (lebih dari 42-43 minggu) di Indonesia kira-kira 20 persen.
Pada ibu dan janin, kehamilan postmatur secara umum dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi berikut ini.
1. Makrosomia janin
Makrosomia adalah istilah medis untuk bayi yang lahir dengan berat badan lebih dari 4000 gram (>4 kg).
Artinya, tubuh bayi jauh lebih besar dari ukuran bayi baru lahir pada umumnya. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah masalah persalinan.
Bayi yang terlalu besar butuh waktu yang lebih lama dan proses yang lebih rumit untuk dilahirkan.
Ini dapat meningkatkan risiko distosia bahu bayi yang dapat menyebabkan cedera parah, asfiksia (tercekik karena kekurangan oksigen), hingga bahkan kematian.
Makrosomia juga sering kali dihubungkan dengan faktor risiko terjadinya penyakit kuning (jaundice), diabetes, obesitas, dan sindrom metabolik lainnya pada anak-anak.
2. Insufisiensi plasenta
Insufisiensi plasenta terjadi ketika kondisi plasenta tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi pada janin.
Plasenta akan mencapai ukuran paling maksimal pada usia kehamilan 37 minggu.
Setelah memasuki usia kehamilan 41 minggu, plasenta semakin lama akan semakin menyusut dan mulai mengalami penurunan fungsi.
Oleh karena itu, jika usia kehamilan 42 minggu ibu belum melahirkan juga, janin berisiko tidak bisa mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi yang cukup.
Hal ini bisa meningkatkan risiko janin mengalami masalah kesehatan di dalam kandungan, misalnya kekurangan oksigen yang dapat menyebabkan terjadinya cerebral palsy dan gangguan tumbuh kembang.