Kenapa masih digunakan di Indonesia?
Meskipun terbukti tidak bermanfaat dalam menurunkan waktu perawatan dan tidak menurunkan tingkat kematian, TPK terbukti masih memiliki sedikit peran dalam pengobatan COVID-19.
Studi multisenter yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia ini menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen bisa memperpanjang sedikit waktu hidup sehingga memberi kesempatan modalitas/pengobatan lain untuk masuk.
Di Indonesia beberapa modalitas yang terbukti ampuh untuk pasien COVID-19 gejala berat hingga kritis di antaranya remdesivir, antikoagulan, kortikosteroid, ventilator, dan therapeutic plasma exchange (TPE)—semacam cuci darah untuk membuang sitokin yang berguna mencegah terjadinya badai sitokin.
Namun ketersediaan alat maupun obat-obatan terapi ini serba terbatas. Beberapa kasus mengharuskan dokter menunggu beberapa hari hingga obat ini tersedia.
Ketika ada modalitas penting yang belum diberikan, terapi plasma konvalesen dapat memperpanjang beberapa hari waktu hidup pasien sambil menunggu obat tersebut tersedia. Peluang keselamatan pada akhirnya terdapat pada modalitas utama, bukan karena terapi plasma konvalesen itu sendiri.
Apabila semua modalitas penting sebagai senjata paling ampuh sudah diberikan, maka plasma konvalesen tidak menjadi opsi terapi karena terbukti tidak memberikan manfaat.
Meski diumumkan hasil penelitian tersebut, kami para dokter tidak menolak terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19. Hal ini karena terapi plasma konvalesen sudah tercantum dalam protokol dari Kementerian Kesehatan, kami hanya menggunakannya dengan tepat.
Pada praktiknya, dokter tidak akan menolak jika pasien dan keluarga meminta diberikan terapi plasma konvalesen misalnya karena keluarga mendengar testimoni terapi ini dari media sosial atau kerabatnya. Dokter akan menjelaskan efektivitas dan manfaat terapi ini, namun keputusan tetap berada di tangan pasien dan keluarga.
Hasil studi plasma konvalesen di negara lain

Terapi plasma konvalesen sebelumnya telah digunakan untuk meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien SARS-CoV-1 (SARS 2002). Pada 2014, WHO juga merekomendasikan penggunaan terapi ini atas dasar empirik pada penanganan wabah MERS (20150, Ebola Afrika Barat (2014), Flu H1N1 (2009), dan flu burung H5N1 (2019).
Atas pengalaman ini, terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 juga dianggap memiliki potensi mengurangi keparahan gejala dan mengurangi waktu rawat. Namun satu persatu penelitian menunjukkan hasil yang cukup mengecewakan.
Selain di Indonesia, berikut hasil uji klinis di beberapa negara yang sama-sama mendapatkan hasil bahwa terapi plasma konvalesen tidak memiliki manfaat mengurangi angka kematian akibat COVID-19.
- Selasa (2/3/2021), Institusi Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) menyatakan bahwa terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 gejala ringan dinilai aman namun tidak memberikan manfaat yang signifikan.
- Studi yang dilakukan para peneliti di Argentina menyatakan bahwa kondisi klinis antara pasien yang menerima terapi plasma konvalesen dan tidak menerima terapi, tidak jauh berbeda. Uji klinis ini dilakukan selama 30 hari pada pasien COVID-19 dengan gejala pneumonia berat. Hasil studi ini telah dipublikasi data studi di New England Journal of Medicine, pada Sabtu (24/11/2020).
- Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Oxford dan Departemen Kesehatan Inggris (NHS) menunjukkan plasma konvalesen tidak menurunkan angka kematian pada pasien COVID-19 di rumah sakit.
Selain ini, masih ada setidaknya puluhan uji klinis yang sedang mencari tahu manfaat terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar