Beberapa bulan terakhir ini, Anda mungkin pernah mendengar tentang terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19. Di media sosial, grup percakapan, ataupun berita banyak berita terkait terapi ini. Anda mungkin juga pernah diminta menjadi pendonor plasma darah, menerima terapi, atau paling tidak mendapat kabar bahwa ada kawan yang membutuhkan pendonor untuk keluarganya yang sedang dirawat karena COVID-19.
Seberapa efektif sebenarnya terapi plasma konvalesen bagi pasien COVID-19?
Terapi plasma konvalesen tidak mengurangi angka kesakitan dan kematian
Terapi plasma konvalesen (TPK) banyak digunakan untuk pasien COVID-19 rawat inap. Terapi ini digunakan berdasarkan teori bahwa antibodi dari pasien yang telah sembuh COVID-19 dapat membantu pasien yang sedang terinfeksi dan mengalami gejala berat.
Saat seseorang sembuh dari COVID-19, sistem kekebalan tubuh umumnya akan membentuk antibodi yang mampu melawan penyakit tersebut. Antibodi ini terkandung di dalam plasma darah.
Maka terapi plasma konvalesen dilakukan dengan mentransfusi antibodi dari pasien sembuh ke dalam tubuh pasien yang sedang terinfeksi COVID-19. Harapannya transfusi antibodi tersebut dapat langsung membantu pasien melawan virus.
Namun ternyata uji klinis menunjukkan hasil yang meleset dari perkiraan. Pengobatan yang awalnya dianggap sangat potensial ini terbukti tidak mengurangi lama waktu perawatan di rumah sakit maupun mengurangi angka kematian.
Pada Februari lalu, pusat uji klinis terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 di Indonesia melaporkan hasil uji klinis tersebut. Tiga pusat penelitian yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Brawijaya sepakat pada 2 kesimpulan yang sama.
- Pengobatan COVID-19 standar ditambah dengan terapi plasma konvalesen tidak menurunkan tingkat kematian dibandingkan dengan pasien yang menerima terapi standar tanpa plasma konvalesen.
- Terapi plasma konvalesen tidak memperpendek length of stay atau lama masa perawatan.
Kesimpulan ini diambil dari uji klinis terapi plasma pada 3 kategori pasien COVID-19 yakni pada pasien kritis, pasien bergejala sedang-berat, dan pasien COVID-19 usia anak.
Kenapa masih digunakan di Indonesia?
Meskipun terbukti tidak bermanfaat dalam menurunkan waktu perawatan dan tidak menurunkan tingkat kematian, TPK terbukti masih memiliki sedikit peran dalam pengobatan COVID-19.
Studi multisenter yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia ini menunjukkan bahwa terapi plasma konvalesen bisa memperpanjang sedikit waktu hidup sehingga memberi kesempatan modalitas/pengobatan lain untuk masuk.
Di Indonesia beberapa modalitas yang terbukti ampuh untuk pasien COVID-19 gejala berat hingga kritis di antaranya remdesivir, antikoagulan, kortikosteroid, ventilator, dan therapeutic plasma exchange (TPE)—semacam cuci darah untuk membuang sitokin yang berguna mencegah terjadinya badai sitokin.
Namun ketersediaan alat maupun obat-obatan terapi ini serba terbatas. Beberapa kasus mengharuskan dokter menunggu beberapa hari hingga obat ini tersedia.
Ketika ada modalitas penting yang belum diberikan, terapi plasma konvalesen dapat memperpanjang beberapa hari waktu hidup pasien sambil menunggu obat tersebut tersedia. Peluang keselamatan pada akhirnya terdapat pada modalitas utama, bukan karena terapi plasma konvalesen itu sendiri.
Apabila semua modalitas penting sebagai senjata paling ampuh sudah diberikan, maka plasma konvalesen tidak menjadi opsi terapi karena terbukti tidak memberikan manfaat.
Meski diumumkan hasil penelitian tersebut, kami para dokter tidak menolak terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19. Hal ini karena terapi plasma konvalesen sudah tercantum dalam protokol dari Kementerian Kesehatan, kami hanya menggunakannya dengan tepat.
Pada praktiknya, dokter tidak akan menolak jika pasien dan keluarga meminta diberikan terapi plasma konvalesen misalnya karena keluarga mendengar testimoni terapi ini dari media sosial atau kerabatnya. Dokter akan menjelaskan efektivitas dan manfaat terapi ini, namun keputusan tetap berada di tangan pasien dan keluarga.
Hasil studi plasma konvalesen di negara lain
Terapi plasma konvalesen sebelumnya telah digunakan untuk meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien SARS-CoV-1 (SARS 2002). Pada 2014, WHO juga merekomendasikan penggunaan terapi ini atas dasar empirik pada penanganan wabah MERS (20150, Ebola Afrika Barat (2014), Flu H1N1 (2009), dan flu burung H5N1 (2019).
Atas pengalaman ini, terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 juga dianggap memiliki potensi mengurangi keparahan gejala dan mengurangi waktu rawat. Namun satu persatu penelitian menunjukkan hasil yang cukup mengecewakan.
Selain di Indonesia, berikut hasil uji klinis di beberapa negara yang sama-sama mendapatkan hasil bahwa terapi plasma konvalesen tidak memiliki manfaat mengurangi angka kematian akibat COVID-19.
- Selasa (2/3/2021), Institusi Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) menyatakan bahwa terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 gejala ringan dinilai aman namun tidak memberikan manfaat yang signifikan.
- Studi yang dilakukan para peneliti di Argentina menyatakan bahwa kondisi klinis antara pasien yang menerima terapi plasma konvalesen dan tidak menerima terapi, tidak jauh berbeda. Uji klinis ini dilakukan selama 30 hari pada pasien COVID-19 dengan gejala pneumonia berat. Hasil studi ini telah dipublikasi data studi di New England Journal of Medicine, pada Sabtu (24/11/2020).
- Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Oxford dan Departemen Kesehatan Inggris (NHS) menunjukkan plasma konvalesen tidak menurunkan angka kematian pada pasien COVID-19 di rumah sakit.
Selain ini, masih ada setidaknya puluhan uji klinis yang sedang mencari tahu manfaat terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19.