Baca semua artikel berita seputar coronavirus (COVID-19) di sini.
COVID-19 menular melalui droplet atau tetesan air liur. Biasanya terjadi ketika pasien positif bersin atau batuk dan memercikan cairan yang mengandung virus. Penyebaran COVID-19 tidak terjadi melalui airborne (udara), tapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa percikan air liur pasien positif bisa bertahan di udara dalam beberapa kondisi.
Pada Kamis (9/7), organisasi kesehatan dunia (WHO) resmi mengakui bukti-bukti penelitian yang menunjukkan penularan virus corona penyebab COVID-19 bisa terjadi melalui udara.
Pengakuan ini merupakan respons dari surat terbuka yang disampaikan oleh 239 ilmuwan dari 30 negara. Para ilmuwan mendesak WHO meninjau penelitian dan merevisi rekomendasi protokol pencegahan penularan COVID-19 di masyarakat sesuai bukti baru tersebut.
Bukti droplet pasien COVID-19 bisa bertahan di udara dan menular
Diskusi tentang potensi penularan COVID-19 melalui udara telah berlangsung berbulan-bulan. Salah satu bukti dipublikasi di jurnal preprint medRxiv, menunjukkan COVID-19 bisa bertahan di udara selama tiga jam dalam bentuk aerosol. Virus dalam bentuk aerosol tersebut bisa terhirup dan membuat seseorang tertular.
Aerosol adalah partikel halus dan bisa melayang di udara. Contoh cairan yang berbentuk aerosol adalah kabut. Ia bisa bertahan melayang di udara berjam-jam dan bisa terhirup
Sebelumnya diketahui, COVID-19 menular melalui percikan air liur atau droplet yang keluar saat orang yang telah terinfeksi batuk, bersin, atau bicara. Karena percikan air liur itu berat maka ia hanya bisa mengudara beberapa detik sebelum jatuh ke permukaan karena tertarik gaya gravitasi. Makanya salah satu protokol pencegahannya adalah untuk menjaga jarak aman sekitar 2 meter.
Namun aerosol adalah keadaan fisik yang berbeda dengan droplet. Virus dalam bentuk aerosol bisa bertahan di udara dalam waktu lama dan berpotensi bergerak melintasi jarak jauh. Misalnya menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
Bagaimana droplet bisa menyebar secara aerosol atau airborne?
Droplet pasien COVID-19 bisa berubah bentuk menjadi aerosol salah satunya saat dokter melakukan pemasangan alat bantu pernapasan (ventilator) pada pasien gagal napas.
Dalam proses pemasangan alat tersebut cairan pernafasan pasien bisa berubah bentuk menjadi aerosol dan mengudara.
“Ketika melakukan prosedur yang menghasilkan aerosol, ada kemungkinan untuk terjadinya aerosolisasi atau pembentukan aerosol dari droplet pasien,” kata dr. Maria Van Kerkhove, kepala unit penyakit dan zoonosis WHO.
Pada tahap ini peringatan WHO hanya tertuju pada petugas medis, terutama mereka yang menangani pasien COVID-19 secara langsung.
Teori terbaru mengatakan virus dalam bentuk aerosol ini juga bisa terbentuk saat menguap, bicara, dan bernafas normal. Namun WHO masih mencari tahu seberapa besar kemungkinan aerosolisasi yang dikeluarkan melalui cara ini.
Dengan pengakuan dari organisasi kesehatan dunia terhadap bukti baru ini, protokol pencegahan penularan COVID-19 melalui transmisi udara harus diaplikasikan juga di kalangan masyarakat umum.
Di lingkungan masyarakat, penularan COVID-19 melalui udara ditakutkan bisa terjadi di ruangan dengan sirkulasi udara yang buruk, ruangan padat dan sesak seperti dalam kendaraan umum.
WHO melakukan sedikit revisi dalam rekomendasi pencegahan yang dituliskan WHO di website resminya. Dalam pedoman barunya, WHO menyebut beberapa area yang rentan terjadi penularan melalui udara yakni, kelab malam, tempat ibadah, tempat kerja yang banyak orang berbicara atau teriak, tempat latihan paduan suara, dan tempat fitnes.
Protokol pencegahannya masih sama yakni seperti jaga jarak, menggunakan masker, dan sering mencuci tangan.
Studi awal yang menunjukkan virus corona bisa bertahan di udara
Sebelum dipublikasinya bukti droplet bisa berubah bentuk menjadi aerosol. Penelitian lainya juga dilakukan peneliti di National Centre for Infectious Diseases (NCID) dan DSO National Laboratories.
Dalam penelitian yang diterbitkan Journal of the American Medical Association (JAMA), para ahli ini meneliti ruangan isolasi tempat merawat pasien positif COVID-19.
Penelitian ini sebetulnya lebih berfokus pada pengetesan peralatan-peralatan yang digunakan oleh pasien. Tapi mereka juga melakukan tes udara dan mengambil sampel dari permukaan saluran udara.
Pada semua sampel udara yang diambil hasilnya negatif. Namun, tes sampel usapan yang diambil dari ventilasi udara menunjukkan hasil positif. Ini menunjukkan bahwa mikro-droplet atau tetesan air liur yang sangat kecil dapat dibawa oleh udara dan menempel di benda-benda seperti ventilasi.
Para ilmuwan saat ini secara khusus sedang mencari tahu bagaimana kelembaban, suhu, dan cahaya matahari dapat mempengaruhi lama virus bisa bertahan di permukaan benda.
Robert Redfield direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), bulan lalu mengatakan lembaganya sedang melakukan studi untuk mengetahui berapa lama COVID-19 bisa bertahan. Khususnya berapa lama virus tersebut bisa bertahan di permukaan benda.
Mata Merah dan Berair: Gejala Coronavirus COVID-19 yang Jarang Diketahui