Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.
Nuraidah yang sedang menimba ilmu magister keperawatan memutuskan untuk menunda pendidikannya dan kembali bertugas sebagai perawat saat COVID-19 masuk ke Indonesia. Tatang Sutisna, perawat yang bertugas di ruang bedah kini harus menyesuaikan keadaan baru, mendampingi dokter di ruang operasi dengan pakaian ‘astronot’ lengkap.
Katanya, profesi perawat itu ‘bergaji kecil dengan risiko besar’. Apalagi pada masa pandemi saat kerentanan tertular coronavirus penyebab COVID-19 sangat tinggi. Hal itu tidak membuat para perawat di Indonesia gentar.
Dua potret perawat ini tidak bisa merepresentasikan semua kalangan perawat, tapi kisah mereka menyesuaikan diri dalam situasi pandemi perlu kita dengar bersama.
Perawat Indonesia yang bekerja merawat pasien COVID-19
Sudah belasan tahun Nuraidah menjadi perawat. Tahun ini, ia sedang meneruskan pendidikan magister ilmu keperawatan di Universitas Indonesia.
Seharusnya Nuraidah aman-aman saja berada di rumah untuk melanjutkan tesisnya. Namun, ia memilih jalan lain. Pandemi COVID-19 memanggilnya untuk menunda pendidikan dan kembali ke lapangan.
“Saya rasa ini panggilan jiwa,” kata Nuraidah kepada Hello Sehat, Minggu (19/4). “Teman-teman di grup PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) membahas keadaan pekerjaan mereka setelah pandemi ini muncul,” lanjutnya.
Di antara rekan sejawatnya di PPNI Jakarta Utara, Nuraidah terbilang senior dan menjadi tempat curahan hati rekan sejawatnya. Ia tak tega mendengar kebutuhan perawat yang meningkat sejak pandemi COVID-19 menyerang Indonesia.
Ia kemudian membicarakan keinginannya untuk kembali bertugas di rumah sakit tempatnya bekerja yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan pasien COVID-19. Tentu saja pihak rumah sakit menerimanya dengan penuh syukur.
[covid_19]
Mereka yang memiliki kecintaan besar pada pekerjaannya tahu betul kenapa Nuraidah memutuskan untuk kembali menerjunkan diri. Belasan tahun bekerja, Nuraidah merasa inilah saat profesinya sebagai perawat paling dibutuhkan.
“Saat saya membantu orang lain, saya yakin Tuhan akan menjaga keluarga saya. Yang penting sudah berikhtiar,” jawab Nuraidah saat ditanya soal kekhawatirannya atas virus yang berpotensi menular ke keluarganya.
Perawat Indonesia memakai APD lengkap berjam-jam
Mengenakan alat pelindung diri adalah hal mutlak, apalagi untuk Nuraidah yang bertugas langsung di ruang isolasi.
Sesampainya di rumah sakit, perawat berganti baju dinas lalu mulai mengenakan satu per satu setelan alat pelindung diri (APD) yang terdiri atas masker, jumpsuit coverall (baju hazmat), sarung tangan, kacamata goggles, penutup kepala, dan sepatu boot karet. Setelah siap dengan amunisi APD-nya, perawat lalu menemui pasien.
Setiap perawat diberi tanggung jawab untuk menangani dua pasien. Lama tindakan rata-rata 3-4 jam tergantung apa saja yang mesti dilakukan.
Pemberian obat, memeriksa kondisi, mengurus kebersihan personal pasien, dari mengganti sprei hingga membantu mandi adalah beberapa hal yang perlu dilakukan oleh perawat. Karena pasien COVID-19 tidak dijaga oleh keluarga, perawat harus mengerahkan perhatian ekstra.
Selama 3-4 jam tersebut perawat tidak bisa makan, minum, atau ke toilet karena APD tersebut hanya digunakan untuk satu kali pakai.
“Pokoknya sebelum mengenakan APD kita harus sudah siap. Tidak lapar, tidak haus, dan sudah buang air kecil,” ujar Naraidah. Hal ini dilakukan perawat dan petugas medis di Indonesia yang menangani COVID-19 demi menghemat APD.
“Tentu saja tidak nyaman, haus, gerah. Seluruh tubuh terasa basah oleh keringat,” lanjutnya.
Sementara itu, Tatang Sutrisna, perawat ruang bedah Rumah Sakit Pertamina mengatakan langkah-langkah membuka dan melepaskan alat pelindung diri (APD) jauh lebih sulit dan berisiko.
“Setelah dikenakan, kita menganggap bagian luar APD sudah terkontaminasi virus, maka kehati-hatian sangat diperlukan,” terang Tatang.
Tatang akan melepas sarung tangan terlebih dahulu, lalu membuangnya ke tempat sampah khusus. Ia kemudian membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Ia melanjutkan prosesnya dengan membuka baju hazmat, membuangnya di tempat sampah khusus, lalu mencuci tangan. Ia kemudian melepas masker lalu mencuci tangannya lagi.
Langkah-langkah tersebut dilakukannya di ruangan khusus. Setelah itu, Tatang diharuskan bersih-bersih dengan mandi dan keramas sebelum mengganti pakaiannya.
Tidak jarang saat ada pasien dengan kondisi darurat, Tatang harus mengulang lagi proses mengenakan dan melepaskan APD yang harus dilakukan secara saksama itu.
Sebagai catatan saja, durasi mengenakan APD bisa jauh lebih lama untuk petugas medis yang menangani pasien COVID-19 di ruang unit gawat darurat (UGD).
Lelah mental perawat COVID-19 harus diwaspadai
“Walau pekerjaan lebih berat dari biasanya, tapi kalau lelah badan sepertinya sudah biasa karena sudah belasan tahun jadi perawat,” kata Nuraidah.
Tatang pun berkomentar senada. Menurutnya, lelah fisik para petugas medis itu masih bisa diterima. Sulitnya kerja pakai APD, sesaknya bernapas, dan beratnya penutup kepala harus dilaluinya sedangkan otak harus tetap fokus pada pekerjaan.
“Psikologis itu yang harus diperhatikan. Harus terus dijaga agar tidak sampai lelah psikis,” ujar Tatang.
Keduanya tidak memungkiri bahwa ada rasa waswas dan takut tertular yang ikut membahayakan keluarga di rumah.
Tapi kecintaan pada profesi dan dukungan dari keluarga menjadi motivasi terbesar para perawat untuk tetap waras dalam bekerja menangani pasien COVID-19, hingga pandemi ini hilang dari Indonesia.
“Saya lillahita’ala, yang penting kita sudah ikhtiar. Selebihnya kita serahkan pada Allah saja, karena kami bekerja dengan hati,” terang Nuraidah.
Bisakah Masker Kain Buatan Sendiri Memperlambat Penyebaran Coronavirus?