🔥 Diskusi Menarik

ODGJ dan Kewajiban Beribadah

Saya penyintas depresi psikotik, yang masih konsumsi obat di bawah pengawasan psikiater. Sudah 4 bulan ini saya tidak mampu bersantai, karena insecure tentang kewajiban beribadah.

Saya dibesarkan dari keluarga yang taat beragama. Sholat tarawih yang notabennya sunnah, dikerjakan satu bulan penuh oleh keluarga ku terutama ayahku. Saya mampu pulih hingga mampu mencapai dosis terminima, tentu saja tidak hanya mengandalkan obat. Terutama mengubah pola pikir dan belajar di grup kesehatan mental. Mindset saya yang dulu good girl syndrome, dan sangat patuh dg aturan keluarga. Perlahan saya ubah. Menjadi berbeda dari keluarga dan menjadi diri sendiri. Dulu saya seorang people pleaser untuk keluarga. Sekarang saya harus sadar bahwa pola asuh keluarga tidak harus saya ikuti meskipun saya harus tetap hormat kepada mereka. Pola pikir positif ini, saya dapat dari buku Loving The Wounded Soul karangan Regis Machdy. Setelah setahun saya mengikuti buku tsb. Kemajuan kesehatan saya makin signifikan, dan saya merasa pulih. Di keluargaku tidak hanya aku yang sakit, tetapi ada bapakku yg bipolar, bulik skizoafektif. Tetapi mereka tidak tahu diagnosis, dan hanya konsumsi obat saja. Saya tdk ingin seperti itu. Saya harus tahu diagnosis saya dan tidak minder dengan sakit saya.

Saya berada di lingkungan keluarga dan pekerjaan yang sangat mengapresiasi ibadah. Tidak ada yg aware tentang kesehatan mental.

Saya terjebak dalam pola pikir ruminasi. Ketika saya kondisi sehat dan sibuk sibuknya. Saya seorang single parent, saat itu baru 4 bulan cerai dari suami. Pagi hari saya mengajar, siang dan sore saya memberikan les di bimbel. Suatu ketika ibuku bertanya "mau puasa lo, hutang puasamu tidak kamu bayar? ". Pertanyaan yang biasa, tetapi berhasil membuat saya termenung. Saya mulai mempertanyakan kebenaran pola pikir dari buku LTWS karangan Regis. Makin merenungkan diri saya yang berbeda dengan keluarga dan teman kerja. Ditambah saat di sekolah kepsekku mengobrol santai dengan rekan guru. " Ada yang bertanya, hutang puasa yang nagih siapa ya". Seketika cerita sederhana itu membuat saya insecure. Dan membuat saya mempertanyakan tujuan hidup saya. Kenapa saya tidak bisa seperti yang lain, mampu kerja sekaligus bayar hutang puasa. Selain depresi, saya juga mempunyai sakit typus dan magh. Yang membuat saya sangat menjaga pola makan dan aktifitas. Sejak saya merubah mindset, depresi dan sakit typus saya tidak pernah kambuh. Bahkan mampu memberi les di bimbel. Tetapi untuk berpuasa, saya memang tidak mampu.

Saya tahun ini mampu menjalankan puasa ramadhan. Tetapi rasa bersalah masih terus menggelayut. Kemudian saya bercerita ke ibuku tentang perasaanku. Ibuku menyuruhku untuk tidak memikirkan itu, karena kondisi ku sakit. Bahkan di luar dugaan ibuku mengatakan kalau dalam agama, orang dg depresi berat tidak wajib puasa. Meskipun begitu saya tetap tidak tenang. Akhirnya ibuku membayarkan fidyah hutang puasaku selama setelah melahirkan. Dahulu saya tidak membayar hutang puasaku, karena ortu dan mantan suami sering konflik, anakku masih bayi. Dan hampir sebulan sekali typusku kambuh karena beban pikiran dg suami dan ortuku.

Saat ramadhan tiba, aku kembali merasa insecure dg ayahku yang meskipun ODB tetap mampu sholat tarawih satu bulan full. Sedangkan aku puasa wajib saja masih banyak yg belum terbayar. Ditambah adikku yg bekerja sebagai pegawai pajak, pulang. Dan dia sangat rajin beribadah seperti ayahku. Membuatku merasa menjadi manusia paling berbeda dari lingkungan. Aku terjebak dalam perasaan negatif. Dan tidak lagi ingat tentang mindset dari buku LTWS.

Kemudian aku browsing artikel . Yang sedikit membuat hatiku lapang. Artikel ini membahas mengenai ibadah bagi ODGJ. Orang depresi kesulitan untuk menerima hal yg abu-abu. Harus benar atau salah.

Saya mulai menyadari bahwa saya tidak selaras dengan alam. Saya harus sadar dan ikhlas kapasitas saya sebagai orang dg depresi pasti ada beberapa hal yg tidak mampu saya kerjakan dg baik. Bahkan hal seperti ibadah. Allah sendiri sudah memaklumi tentang ibadah bagi ODGJ. Saya juga harus belajar mengapresiasi diri, meskipun ibadah saya tidak bisa seperti yg lain. Tetapi kemajuan saya sangat pesat dibanding ayah dan bulik saya mengenai mental illness. Dosis saya sudah terminimal dibanding ayah dan bulik. Karena saya mau belajar dan berusaha dg sakit saya, tidak semata mata hanya mengandalkan obat.

Semoga dokter, mau memberi solusi tentang masalah saya. Sehingga saya bisa pulih kembali seperti biasanya.

Suka
Bagikan
Simpan
Komentar
30
1
2

2 komentar

Halo, terima kasih atas pertanyaan anda


Sebelumnya, saya ingin menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya atas upaya dan perjuangan yang anda lakukan untuk kehidupan anda sehingga dapat tetap berguna bagi sekitar (mengajar, dll). Tentu melewati proses ini membutuhkan waktu, serta tidak bisa dipungkiri juga dalam prosesnya terdapat up and down. Namun, bukan berarti kondisi tersebut membuat usaha anda selama ini menjadi gagal, justru anda sedang berada di babak baru setiap harinya.


Pengendalian pola pikir menjadi penting untuk diperhatikan karena cara kita memandang dan menghayati sesuatu yang akan mempengaruhi emosi dan perilaku kita. Anda tetap melanjutkan proses mencari alternatif pikiran yang lebih sehat . Selain itu, mencoba mengenali kondisi/ situasi yang menyebabkan overthinking anda mudah muncul (misal: ketika kelelahan/ kurang istirahat, dsb).

Tetap semangat ya, serta rutin untuk berkonsultasi ke psikolog/ psikiater yang menangani anda

1 tahun yang lalu
Suka
Balas
1
@Ririn Nur Abdiah Bahar, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Makasih dok ❤❤

1 tahun yang lalu
Suka
Balas
Temukan komunitas Anda
Jelajahi berbagai jenis komunitas yang ada dan paling sesuai dengan kondisi kesehatan yang Anda hadapi.
Iklan
Iklan