Kondisi itu berbeda dengan pasien program bayi tabung lain yang mengalami mual dan muntah-muntah. Saya merasa nyaman seperti biasa saja.
Hal tersebut membuat saya waswas. Apakah embrio tersebut tak bisa berkembang dalam rahim saya seperti kasus sebelumnya? Apa embrionya tidak menempel? Apakah program ini akan kembali gagal? Apakah saya tak akan bisa memiliki kesempatan untuk memiliki anak?
Saya cemas. Semua pikiran negatif memenuhi kepala saya. Namun, sepulang dari rumah sakit perut saya mulai membesar. Ukurannya seperti kehamilan usia trimester ketiga. Saya merasa amat sesak, kembung, dan tidak merasa nyaman sama sekali menjalani berbagai aktivitas.
Dokter berkata bahwa kondisi yang saya alami adalah sindrom hiperstimulasi ovarium (ovarian hyperstimulate syndrome/OHSS). Saya mengalami komplikasi akibat suntik rangsangan hormon yang saya lakukan.
Ovarium saya, menurut dokter, menghasilkan sel telur lebih banyak dari kondisi normal. Sebelum sel telur itu luruh semua, embrio bayi tabung masuk ke dalam rahim saya.
Saya cuma bisa tiduran setengah duduk hampir sepanjang waktu. Jika saya rebahan, cairan di dalam perut bisa masuk paru-paru. Hal tersebut harus saya lakukan selama dua minggu.
Menjalani 2WW (two weeks waiting) tersebut membuat saya menangis terus menerus karena menahan rasa sakit. Namun, semua ini harus saya jalani demi menunggu dan memastikan perkembangan embrio dalam rahim saya.
Kadang kala, sakit yang teramat saya rasakan membuat saya berpikiran untuk mengempiskan perut ini dan menyerah menjalani program bayi tabung. Namun, pikiran itu segera saya buang.
Perawat yang mengunjungi saya berkata bahwa kondisi OHSS ini langka dan merupakan tanda-tanda keberhasilan program bayi tabung. Hal tersebut meningkatkan kadar harapan dalam hati yang sebelumnya sudah jatuh terpuruk. Saya kembali bersemangat menjalani program ini.
Meski perut terasa begah, saya memaksakan diri untuk tetap makan demi menjamin asupan nutrisi. Rasa sakit dan nyeri yang timbul terkalahkan oleh perasaan bahagia dalam hati. Saya ikhlas menjalani semua ini asalkan impian memiliki buah hati dapat terwujud.
Penantian selama dua pekan itu berakhir di hari Senin. Dua hari sebelumnya saya ingin mengecek sendiri menggunakan test pack apakah kesempatan terakhir kami ini akan berhasil atau tidak. Tapi rasa takut membuat saya tak berani melihat hasilnya, saya tak lagi mau patah hati.
Alhasil suami saya lah yang melihat hasilnya. “Sayaaaang, kita berhasil. Subhanallah,” teriaknya saat itu. Saya sangat terkejut. Kami langsung berpelukan dan menangis, mensyukuri semua kerja keras yang kami jalani selama ini.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar