backup og meta

Seks BDSM Tidak Sama dengan Kekerasan Seksual

Seks BDSM Tidak Sama dengan Kekerasan Seksual

Pemerintah mengeluarkan wacana pelarangan praktik BDSM dalam kegiatan seksual melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan tahun 2020. Kendati bentuk kegiatannya identik dengan aksi sadistik dan tidak lazim, BDSM sebenarnya sama sekali berbeda dengan tindak kekerasan seksual.

BDSM adalah kegiatan seksual yang dilakukan dengan consent atau persetujuan, serta dilakukan untuk menyenangkan setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Tidak seperti kekerasan seksual yang merampas hak salah satu pihak, BDSM justru dapat menambah kenikmatan seksual dan memperkuat ikatan emosional dengan pasangan.

Perbedaan BDSM dan kekerasan seksual

seks BDSM

BDSM merupakan beragam kegiatan seksual yang melibatkan praktik bondage and discipline (perbudakan dan disiplin), dominance and submission (dominansi dan penyerahan diri), atau sadism and masochism (sadisme dan masokisme). Seluruh kegiatan tersebut bertujuan untuk memperoleh kepuasan berhubungan intim.

Pada hubungan BDSM, ada seorang dominan sebagai pemegang kendali dan ada yang mengambil peran sebagai submisif yang menurut. Meskipun submisif tunduk pada dominan, BDSM dilakukan dengan prinsip komunikasi dan kesepakatan yang setara.

Gambaran yang keliru pada film, media, dan sebagainya kerap membuat BDSM salah diartikan sebagai penyimpangan seksual, bahkan tindak kekerasan. Padahal, keduanya merupakan hal yang berbeda.

Melansir laman National Domestic Violence Hotline, berikut beberapa perbedaannya:

1. Persetujuan kedua pihak

Persetujuan adalah kunci penting dalam hubungan seksual, dan aspek ini menjadi lebih penting lagi dalam praktik BDSM. Baik bagi sang dominan maupun submisif, keduanya perlu memberikan persetujuan jelas dalam keadaan sadar sebelum melakukan kegiatan seksual apa pun.

Seperti jenis hubungan lainnya, BDSM juga tidak luput dari risiko. Kegiatan ini bisa saja menyebabkan kecelakaan, cedera, serta dampak psikologis seperti sakit hati dan stres setelah berhubungan intim. Persetujuan adalah unsur yang penting untuk mencegah berbagai efek tersebut.

Kekerasan seksual berbeda dengan BDSM karena tidak dilakukan dengan persetujuan dan hanya bertujuan untuk keuntungan pelaku. Tidak ada peran dominan ataupun submisif, justru yang ada hanyalah pihak pelaku dan korban.

2. Komunikasi dan aturan yang jelas

Hubungan BDSM melibatkan komunikasi dan aturan yang jelas. Tak jarang, pasangan yang menjalani BDSM bahkan memiliki aturan hitam di atas putih yang ditandatangani. Aturan inilah yang membuat praktik BDSM menjadi aman, sekalipun melibatkan aksi yang terkesan sadis.

BDSM dan kekerasan seksual amat berbeda karena pihak dominan maupun submisif sama-sama berhak mengutarakan keinginannya. Si submisif berhak ikut bernegosiasi saat menyusun aturan. Ia berhak menolak kegiatan seksual apa pun yang tidak disukainya atau membuatnya tidak nyaman.

Sementara itu, kekerasan seksual adalah tindakan tanpa aturan, negosiasi, ataupun komunikasi. Korban tidak berada dalam situasi yang aman dan nyaman, sebab tidak ada batasan maupun negosiasi sejak awal selayaknya hubungan BDSM.

3. Tujuan dari setiap tindakan

BDSM bertujuan untuk menyenangkan kedua pihak. Sang submisif memang menerima perilaku sadis, rasa sakit, dan direndahkan oleh sang dominan. Akan tetapi, semua itu dilakukan dalam situasi yang terkendali dengan memerhatikan kenyamanan si submisif.

Melalui perlakuan tersebut, pihak dominan dan submisif sama-sama membangun ikatan batin dan kepercayaan antara satu sama lain. Mereka juga saling menunjukkan rasa menghargai dengan caranya tersendiri.

Berbeda dengan BDSM, kekerasan seksual tidak melibatkan keamanan, rasa percaya, dan rasa menghargai pasangan. Pelaku melakukan tindakannya untuk menakut-nakuti, meneror, dan menunjukkan kepada korban bahwa ia memiliki kekuasaan.

4. Ada-tidaknya kendali pada kedua pihak

Selain aturan yang jelas, satu lagi faktor yang membuat BDSM menjadi aman adalah kendali pada kedua pihak. Kendali ini berasal dari safe word atau ‘kata aman’. Safe word digunakan oleh submisif untuk mengendalikan situasi bila sewaktu-waktu kegiatan seksual sudah melebihi batas yang ditetapkan.

Begitu si submisif mengatakan safe word-nya, si dominan harus menghentikan kegiatan seksual yang ia lakukan, apa pun bentuknya. Hal ini tidak membuat si dominan menjadi pihak yang lemah, tapi justru menunjukkan bahwa ia peduli terhadap keselamatan pasangannya.

Ini pula yang membedakan BDSM dan kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak mengenal batasan ataupun safe word. Saat terjadi kekerasan, pihak korban tidak bisa menghentikan perbuatan si pelaku sehingga membahayakan dirinya.

Batas antara BDSM dan kekerasan seksual

BDSM sering kali dianggap sebagai penyimpangan seksual atau gangguan kejiwaan. Padahal, BDSM yang dilakukan dengan aman dapat menjadi salah satu cara mewujudkan fantasi seksual yang membuat hubungan semakin membara.

Walau cukup lekat dengan stigma negatif, ternyata praktik BDSM lebih umum daripada yang dikira. Sebuah survei global tahun 2005 menemukan bahwa sebanyak 36% orang dewasa mengaku pernah mencoba praktik BDSM saat berhubungan seksual.

Tidak hanya itu, beberapa penelitian pun turut menemukan dampak positif dari praktik BDSM. Menurut studi dalam The Journal of Sexual Medicine, praktisi BDSM cenderung tidak mudah marah, lebih antusias terhadap pengalaman baru, dan berkeinginan besar melakukan sesuatu dengan benar.

Mereka juga lebih terbuka, lebih tahan terhadap penolakan, dan secara umum memiliki kondisi kejiwaan yang lebih sejahtera. Inilah yang kemudian menjadi perbedaan besar antara BDSM dan kekerasan seksual.

Kendati demikian, perlu diingat bahwa BDSM hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang terlatih. Praktik ini tetap memiliki risiko yang besar sehingga tidak boleh dilakukan sembarangan tanpa pengetahuan terkait.

BDSM ataupun hubungan seks biasa, semuanya mempunyai keunikan masing-masing. Beberapa orang mungkin lebih menikmati hubungan intim dengan sedikit bumbu sadis, tapi seks penuh kasih sayang pun tidak ada salahnya. Apa pun selera Anda, yang terpenting lakukan dengan aman berdasarkan persetujuan kedua pihak.

[embed-health-tool-ovulation]

Catatan

Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan. Selalu konsultasikan dengan ahli kesehatan profesional untuk mendapatkan jawaban dan penanganan masalah kesehatan Anda.

Wismeijer, A. and van Assen, M. (2013). Psychological Characteristics of BDSM Practitioners. The Journal of Sexual Medicine, 10(8), pp.1943-1952.

How BDSM Is More Than Just a Sexual Practice. (2020). Retrieved 18 February 2020, from https://www.verywellmind.com/the-health-benefits-of-bdsm-2979720.

The Surprising Psychology of BDSM. (2020). Retrieved 18 February 2020, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-wide-wide-world-psychology/201502/the-surprising-psychology-bdsm

Healthy BDSM Relationships Are Possible. (2020). Retrieved 18 February 2020, from https://www.thehotline.org/2017/04/06/healthy-bdsm-relationships-possible/

What Is BDSM? Fundamentals, Types and Roles, Safety Rules, and More. (2020). Retrieved 18 February 2020, from https://www.everydayhealth.com/healthy-sex/bdsm/

Versi Terbaru

04/03/2021

Ditulis oleh Diah Ayu Lestari

Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro

Diperbarui oleh: Nanda Saputri


Artikel Terkait

Coital Cephalgia, Sakit Kepala Saat Berhubungan Intim

5 Cara Berhubungan Intim agar Tidak Hamil


Ditinjau secara medis oleh

dr. Patricia Lukas Goentoro

General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


Ditulis oleh Diah Ayu Lestari · Tanggal diperbarui 04/03/2021

ad iconIklan

Apakah artikel ini membantu?

ad iconIklan
ad iconIklan