Pada penelitian tersebut, satu saja pemicu stres ternyata sudah bisa mengubah bentuk sel-sel astrosit pada otak. Sel astrosit adalah sel yang membersihkan sisa zat kimia pada otak setelah selesai digunakan untuk menghantarkan sinyal.
Sel astrosit normal memiliki banyak cabang menuju sel otak yang lain. Fungsi cabang ini adalah membantu pengiriman sinyal antarsel. Namun, stres membuat cabang sel astrosit menyusut sehingga sel-sel otak tidak dapat mengirimkan sinyal sebagaimana mestinya.
Selain itu, mereka juga menemukan hal lain yang mengganggu komunikasi antara sel otak. Saat berhadapan dengan stres, tubuh memproduksi hormon norepinefrin. Hormon ini ternyata menghambat produksi protein khusus pada otak yang disebut GluA1.
GluA1 merupakan protein penting yang dibutuhkan untuk pengiriman sinyal pada otak. Tanpa GluA1, sel otak tidak bisa berkomunikasi dengan sel astrosit. Kekurangan GluA1 juga disinyalir meningkatkan risiko penyakit Alzheimer dan sejumlah masalah kejiwaan.
Apakah otak yang terdampak stres bisa kembali normal?

Otak mempunyai kemampuan yang disebut neuroplastisitas. Kemampuan ini membuat otak bisa menyusun kembali jalur saraf yang sebelumnya terganggu. Otak juga mampu memulihkan diri dari efek cedera atau penyakit sehingga fungsinya kembali normal.
Stres berkepanjangan memang dapat mengubah bentuk dan struktur otak. Kerusakan yang ditimbulkannya bahkan dapat dibilang cukup besar. Meski demikian, perubahan ini biasanya tidak bersifat permanen dan masih bisa dipulihkan oleh otak.
Lamanya pemulihan tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama usia. Otak orang dewasa muda umumnya lebih cepat pulih. Sementara itu, orang paruh baya dan lansia butuh waktu lebih lama untuk memulihkan jalur-jalur saraf otaknya.
Meski begitu, bukan berarti orang yang lebih tua tidak bisa mendapatkan manfaat yang sama. Ada langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan neuroplastisitas otak dan mengurangi dampak stres. Berikut di antaranya.
1. Aktif bergerak
Aktivitas fisik setidaknya 10 menit sehari akan memicu produksi endorfin. Hormon ini menimbulkan rasa bahagia serta meningkatkan mood dan konsentrasi. Tidak hanya tubuh, otak pun akan terpacu untuk bekerja ketika Anda aktif berolahraga.
2. Makan makanan bergizi seimbang
Otak Anda membutuhkan energi dan nutrisi agar bisa bekerja dengan optimal. Penuhi kebutuhan tersebut dengan mengonsumsi sumber karbohidrat kompleks, buah dan sayuran kaya vitamin dan mineral, serta makanan yang baik untuk otak.
3. Tidur dengan cukup
Otak merupakan organ tubuh yang paling banyak bekerja, dan tidur adalah kesempatan yang baik untuk mengistirahatkannya. Selain itu, kurang tidur juga bisa meningkatkan produksi kortisol. Cukupi kebutuhan istirahat Anda dengan tidur selama 7-8 jam sehari.
4. Kelola stres
Stres tidak bisa dihindari. Namun, Anda dapat mengelola stres agar tidak mengubah bentuk otak atau menyebabkan kerusakan lainnya. Metode yang kerap digunakan untuk mengelola stres antara lain meditasi, teknik pernapasan, atau beristirahat.
5. Sosialisasi dengan teman
Interaksi sosial meningkatkan hormon pemicu rasa bahagia dan menurunkan kortisol. Saat bersosialisasi, Anda juga berkomunikasi, berpikir, dan belajar. Semua ini berguna untuk otak yang sedang memulihkan diri dari stres.
Stres adalah suatu hal yang wajar dalam hidup. Stres bermanfaat untuk meningkatkan kewaspadaan sehingga Anda sigap menghadapi situasi penuh tekanan. Perubahan yang terjadi saat stres bahkan dapat membuat Anda menjadi lebih produktif.
Stres baru menjadi masalah apabila muncul terus-menerus sehingga mengubah bentuk atau fungsi tubuh, termasuk yang terjadi pada otak. Sedapat mungkin, coba kelola stres yang Anda alami sambil aktif bergerak, makan makanan bergizi, dan bersosialisasi.
Tanya Dokter
Punya pertanyaan kesehatan?
Silakan login atau daftar untuk bertanya pada para dokter/pakar kami mengenai masalah Anda.
Ayo daftar atau Masuk untuk ikut berkomentar