backup og meta
Kategori
Cek Kondisi
Tanya Dokter
Simpan

Stres Berkepanjangan Ternyata Bisa Mengubah Bentuk dan Fungsi Otak

Ditinjau secara medis oleh dr. Patricia Lukas Goentoro · General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


Ditulis oleh Diah Ayu Lestari · Tanggal diperbarui 10/11/2020

    Stres Berkepanjangan Ternyata Bisa Mengubah Bentuk dan Fungsi Otak

    Saat mengalami stres, tidak jarang seseorang jadi sulit berkonsentrasi dan mudah lupa. Namun, stres yang dibiarkan berlarut-larut bisa menimbulkan dampak yang lebih buruk pada otak. Sebuah studi terbaru bahkan menemukan bahwa stres dapat mengubah bentuk otak dan mengganggu fungsinya.

    Kaitan antara stres dan bentuk otak

    dampak gangguan pencernaan radang usus

    Stres memicu reaksi berantai pada otak. Ketika mengalami stres, tubuh memproduksi lebih banyak kortisol. Hormon ini berfungsi mengatur metabolisme, gula darah, tekanan darah, dan berbagai fungsi lainnya yang berkaitan dengan respons terhadap stres.

    Kadar hormon kortisol yang terlalu tinggi berdampak buruk bagi otak. Hormon ini dapat mengganggu pengiriman sinyal antarsel, membunuh sel otak, serta menyusutkan area otak yang disebut korteks prefrontal. Ini adalah area yang berperan dalam ingatan dan proses belajar.

    Stres berkepanjangan juga bisa memperbesar ukuran amigdala, yakni bagian otak yang mengatur respons terhadap emosi serta mengendalikan perilaku agresif. Pembesaran amigdala membuat otak lebih mudah terpengaruh oleh stres.

    Sejalan dengan temuan tersebut, sekelompok peneliti dari Louisiana State University, AS, menemukan bahwa stres dapat mengubah bentuk sel tertentu pada otak. Penelitian ini dilakukan terhadap model hewan dan kini diterbitkan dalam Journal of Neuroscience.

    Efek obat stroke alami pada otak

    Pada penelitian tersebut, satu saja pemicu stres ternyata sudah bisa mengubah bentuk sel-sel astrosit pada otak. Sel astrosit adalah sel yang membersihkan sisa zat kimia pada otak setelah selesai digunakan untuk menghantarkan sinyal.

    Sel astrosit normal memiliki banyak cabang menuju sel otak yang lain. Fungsi cabang ini adalah membantu pengiriman sinyal antarsel. Namun, stres membuat cabang sel astrosit menyusut sehingga sel-sel otak tidak dapat mengirimkan sinyal sebagaimana mestinya.

    Selain itu, mereka juga menemukan hal lain yang mengganggu komunikasi antara sel otak. Saat berhadapan dengan stres, tubuh memproduksi hormon norepinefrin. Hormon ini ternyata menghambat produksi protein khusus pada otak yang disebut GluA1.

    GluA1 merupakan protein penting yang dibutuhkan untuk pengiriman sinyal pada otak. Tanpa GluA1, sel otak tidak bisa berkomunikasi dengan sel astrosit. Kekurangan GluA1 juga disinyalir meningkatkan risiko penyakit Alzheimer dan sejumlah masalah kejiwaan.

    Apakah otak yang terdampak stres bisa kembali normal?

    ukuran otak manusia lebih besar, apa pasti lebih pintar?

    Otak mempunyai kemampuan yang disebut neuroplastisitas. Kemampuan ini membuat otak bisa menyusun kembali jalur saraf yang sebelumnya terganggu. Otak juga mampu memulihkan diri dari efek cedera atau penyakit sehingga fungsinya kembali normal.

    Stres berkepanjangan memang dapat mengubah bentuk dan struktur otak. Kerusakan yang ditimbulkannya bahkan dapat dibilang cukup besar. Meski demikian, perubahan ini biasanya tidak bersifat permanen dan masih bisa dipulihkan oleh otak.

    Lamanya pemulihan tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama usia. Otak orang dewasa muda umumnya lebih cepat pulih. Sementara itu, orang paruh baya dan lansia butuh waktu lebih lama untuk memulihkan jalur-jalur saraf otaknya.

    Meski begitu, bukan berarti orang yang lebih tua tidak bisa mendapatkan manfaat yang sama. Ada langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan neuroplastisitas otak dan mengurangi dampak stres. Berikut di antaranya.

    1. Aktif bergerak

    Aktivitas fisik setidaknya 10 menit sehari akan memicu produksi endorfin. Hormon ini menimbulkan rasa bahagia serta meningkatkan mood dan konsentrasi. Tidak hanya tubuh, otak pun akan terpacu untuk bekerja ketika Anda aktif berolahraga.

    2. Makan makanan bergizi seimbang

    Otak Anda membutuhkan energi dan nutrisi agar bisa bekerja dengan optimal. Penuhi kebutuhan tersebut dengan mengonsumsi sumber karbohidrat kompleks, buah dan sayuran kaya vitamin dan mineral, serta makanan yang baik untuk otak.

    3. Tidur dengan cukup

    Otak merupakan organ tubuh yang paling banyak bekerja, dan tidur adalah kesempatan yang baik untuk mengistirahatkannya. Selain itu, kurang tidur juga bisa meningkatkan produksi kortisol. Cukupi kebutuhan istirahat Anda dengan tidur selama 7-8 jam sehari.

    4. Kelola stres

    Stres tidak bisa dihindari. Namun, Anda dapat mengelola stres agar tidak mengubah bentuk otak atau menyebabkan kerusakan lainnya. Metode yang kerap digunakan untuk mengelola stres antara lain meditasi, teknik pernapasan, atau beristirahat.

    5. Sosialisasi dengan teman

    Interaksi sosial meningkatkan hormon pemicu rasa bahagia dan menurunkan kortisol. Saat bersosialisasi, Anda juga berkomunikasi, berpikir, dan belajar. Semua ini berguna untuk otak yang sedang memulihkan diri dari stres.

    Stres adalah suatu hal yang wajar dalam hidup. Stres bermanfaat untuk meningkatkan kewaspadaan sehingga Anda sigap menghadapi situasi penuh tekanan. Perubahan yang terjadi saat stres bahkan dapat membuat Anda menjadi lebih produktif.

    Stres baru menjadi masalah apabila muncul terus-menerus sehingga mengubah bentuk atau fungsi tubuh, termasuk yang terjadi pada otak. Sedapat mungkin, coba kelola stres yang Anda alami sambil aktif bergerak, makan makanan bergizi, dan bersosialisasi.

    Catatan

    Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

    Ditinjau secara medis oleh

    dr. Patricia Lukas Goentoro

    General Practitioner · Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI)


    Ditulis oleh Diah Ayu Lestari · Tanggal diperbarui 10/11/2020

    advertisement iconIklan

    Apakah artikel ini membantu?

    advertisement iconIklan
    advertisement iconIklan