Meski tidak diwajibkan secara medis, sunat tetap dilakukan dengan berbagai alasan seperti agama, budaya, hingga pilihan pribadi. Manfaat sunat bagi kesehatan pria seperti membantu menurunkan risiko pria tertular HIV menjadi salah satu alasan pria sebaiknya disunat. Namun tradisi sunat bisa berbeda-beda di setiap wilayah, misalnya ritual sifon di NTT yang mempraktikkan sunat menggunakan bambu. Di luar manfaat sunat dari segi medis, ritual sifon ternyata cukup berbahaya bagi kesehatan.
Apa itu tradisi sifon?
Sifon adalah tradisi sunat yang turun-temurun dianut oleh suku Atoni Meto di daerah Nusa Tenggara Timur. Jika pada umumnya sunat dilakukan saat anak laki-laki masih kecil, sifon ditujukan bagi remaja pria setelah menginjak usia 18 tahun.
Sifon biasanya dilaksanakan pada musim panen dan memakan waktu selama tiga minggu sampai satu bulan lamanya.
Seperti apa prosesi sifon?
Sebelum disunat, sang pemuda akan diminta untuk mengumpulkan dan menghitung batu sesuai dengan jumlah perempuan yang pernah terlibat hubungan seks dengannya. Setelah itu, tukang sunat yang disebut ahelet akan meminta pemuda tersebut berendam di dalam air sungai yang mengalir.
Prosesi sifon dilakukan di sungai guna mencegah pemuda tersebut kehilangan banyak darah setelah disunat. Pasalnya, ahelet akan melakukan sunat pakai bambu yang diruncingkan bukannya pakai laser atau pisau bedah steril.
Sunatan akan diawali dengan menjepit kulit kulup pakai bambu. Setelahnya, luka di penis akan dibalut dengan daun kom (daun yang digunakan untuk mengawetkan mayat) dengan tujuan mengurangi perdarahan. Untuk mengganti darah yang keluar, ahelet akan meminta sang pemuda untuk meminum darah ayam dicampur dengan air kelapa.
Ritual kemudian ditutup dengan hubungan seksual dengan tujuan menyembuhkan luka sunat dan membuang kesialan. Hubungan seksual dilakukan dengan perempuan asing yang tidak ada hubungan keluarga maupun kerabat dengan pria tersebut. Sebab, perempuan tersebut dipercaya akan menerima “panas” dari sang pria yang disunat, sehingga tidak boleh berhubungan lagi dengan pria yang sama.
Selain untuk mengusir penyakit dan membawa sial, istilah “panas” juga merujuk pada pembaharuan jiwa menjadi suci seperti pertama kali dilahirkan, sekaligus meminta berkah kesuburan alam. Hubungan seksual dengan perempuan yang tidak dikenalnya juga dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan luka sunat.
Kenapa sunat pakai bambu berbahaya?
Sunat pakai bambu adalah tindakan yang tidak steril. Risiko yang paling utama jelas adalah infeksi. Pasalnya, bambu yang dipakai sudah lebih dulu terpapar oleh bakteri dan kuman dari lingkungan sekitar sebelum digunakan di dekat organ vital Anda. Tidak menutup kemungkinan juga bambu tersebut mengandung pestisida atau polutan lainnya yang sama sekali tidak diperuntukkan untuk penis.
Meski sudah disikat atau dibersihkan terlebih dahulu, kuman tetap saja bisa berpindah dari permukaan kulit bambu ke kulit organ intim Anda. Akibatnya, sunat dengan cara ini akan meningkatkan risiko iritasi, infeksi bakteri, hingga bahkan infeksi jamur.
Selain meningkatkan risiko infeksi bakteri, bukannya tidak mungkin bambu tersebut bisa hancur menjadi pecahan yang tajam yang dapat merobek dan mencederai kulit organ intim. Terlebih, luka bekas jahitan sunat pakai bambu akan terus dibiarkan terbuka tanpa dijahit. Tindakan ini dapat merisikokan si empunya tubuh untuk kehilangan banyak darah yang dapat menyebabkan kematian jika terlambat ditangani. Jikapun berhasil melewati prosesi tersebut, luka sunat sifon dapat menyebabkan rasa nyeri yang berkepanjangan.
Sunat sifon meningkatkan risiko penularan penyakit kelamin
Karena luka sunatnya tidak steril, luka tersebut bisa berkembang menjadi infeksi yang yang berakibat kerusakan jaringan pada daerah penis tersebut. Kemudian karena sang pemuda harus langsung berhubungan seksual segera setelah disunat, hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit menular seksual baik sifilis, gonore, bahkan HIV — baik bagi pria maupun bagi wanitanya.
[embed-health-tool-bmi]