Pernahkah Anda mendengar istilah tiger parenting? Mungkin Anda akan langsung terbayang sosok orangtua yang tegas, disiplin, bahkan terkesan keras pada anak selayaknya tiger. Pola asuh ini memang kerap menuai pro dan kontra. Di satu sisi, tiger parenting bertujuan untuk mendidik anak menjadi sukses dan tangguh, tetapi di sisi lain, gaya asuh ini bisa memicu tekanan emosional pada anak. Sebenarnya, apa itu tiger parenting? Apakah pola asuh tiger baik? Simak ulasannya.
Apa ciri tiger parenting?
Tiger parenting atau pola asuh harimau adalah gaya pengasuhan yang sangat ketat dan berorientasi pada pencapaian akademis anak.
Secara khusus, orangtua dengan pola asuh ini cenderung mengatur kehidupan anak-anak mereka secara mendetail untuk memastikan mereka memenuhi harapan orangtuanya.
Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan ini cenderung tidak memiliki ruang untuk berkomunikasi atau melakukan “negosiasi”.
Hal ini karena semua keputusan akan diambil oleh orangtuanya dan anak diharuskan untuk patuh tanpa banyak bertanya.
Selain itu, beberapa ciri khas lainnya dari tiger parenting adalah sebagai berikut.
1. Orangtua memegang kendali penuh
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pola asuh ini, orangtua cenderung mengatur kehidupan anak.
Oleh karena itu, ada jarak yang jelas antara orangtua dan anak, sehingga komunikasi terbuka pun sulit terwujud.
Pada pola asuh harimau ini anak dituntut untuk selalu hormat pada orangtua. Bila anak melakukan kesalahan, maka akan langsung mendapatkan hukuman.
2. Terlalu ketat
Melansir dari The Minded, didikan tiger parenting menekankan pentingnya akademis demi masa depan.
Beberapa aktivitas yang bisa dianggap mengganggu fokus anak, seperti pesta ulang tahun anak atau bermain di rumah teman, sering kali dilarang.
Orangtua dengan pola asuh ini juga menentang hal-hal yang berisiko mengganggu akademis anak, seperti berpacaran saat anak remaja.
3. Tuntutan yang tinggi
Melalui pengertian tiger parenting di atas, dapat disimpulkan bahwa orangtua dengan gaya pengasuhan ini sangat mementingkan prestasi akademis anaknya.
Oleh karena itu, anak didorong untuk selalu tampil sempurna dan berprestasi dalam segala hal. Apalagi, orangtua dengan pola asuh harimau ini menganggap kegagalan mencoreng nama baik keluarga.
Untuk memenuhi harapan ini, anak menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk belajar atau mengikuti berbagai kegiatan yang bisa menunjang prestasi akademiknya.
4. Pendekatan berbasis rasa takut
Dalam keluarga seperti ini, orangtua menjadi sosok yang tidak boleh dibantah. Anak diharapkan selalu patuh dan tidak menyuarakan perbedaan pendapat.
Jika anak berani tidak setuju, responsnya bisa berupa ancaman emosional atau hukuman fisik.
Ancaman dan hukuman bisa berupa membuang barang kesayangan mereka, tidak diberi makan, dimarahi, anak dipukul, atau direndahkan.
5. Anak tidak punya ruang untuk mandiri
Pola asuh tiger parenting biasanya memutuskan semua hal penting dalam hidup anak. Anak diajarkan untuk selalu mencari persetujuan orangtua sebelum bertindak.
Tidak ada ruang untuk belajar mengatur diri sendiri atau mengembangkan cara berpikir yang mandiri.
Sayangnya, orangtua juga jarang berusaha memahami kepribadian atau perasaan anak. Hal paling penting, anak mengikuti jalan yang sudah ditentukan oleh orangtua.
6. Menilai kesuksesan dari status
Dalam pandangan tiger parenting, sukses diukur dari pencapaian yang terlihat dan bisa dibanggakan, seperti jadi dokter, pengacara, punya nilai sempurna, penghasilan besar, atau menang lomba.
Hal-hal seperti empati, kreativitas anak, kemampuan berpikir kritis, dan membangun hubungan sosial sering kali dianggap kurang penting dalam perjalanan menuju kesuksesan.
[embed-health-tool-child-growth-chart]
Apa perbedaan tiger parenting dengan pola asuh lain?
Berbeda dari pola asuh lain yang menekankan keseimbangan antara aturan dan empati, tiger parenting lebih fokus pada hasil dan keberhasilan akademik sebagai tolak ukur utama kesuksesan.
Dalam konteks helicopter parenting vs tiger parenting, keduanya sama-sama melibatkan keterlibatan orangtua yang intens, tetapi dengan pendekatan yang berbeda.
Tiger parenting menekan anak untuk mencapai standar tinggi, sedangkan helicopter parenting lebih protektif dan cenderung mengambil alih urusan anak demi menghindarkan mereka dari risiko atau kegagalan.
Mengapa ada orangtua yang menerapkan tiger parenting?
Ada beberapa alasan mengapa sebagian orangtua memilih untuk menerapkan tiger parenting.
Umumnya, hal ini berakar pada niat baik dan kekhawatiran akan masa depan anak, meskipun cara yang digunakan cenderung keras.
Selain itu, faktor budaya memengaruhi pola asuh ini. Apalagi, di beberapa negara di Asia, prestasi akademik sangat dijunjung tinggi.
Selain itu, ada yang melakukannya karena pengalaman pribadi.
Misalnya, orangtua yang tumbuh dalam lingkungan keras dan penuh tekanan bisa jadi merasa pola itu terbukti efektif karena merasa “mereka sendiri berhasil”.
Alih-alih mengubah pendekatan, mereka justru mewariskannya kepada anak dengan harapan hasilnya sama atau lebih baik.
Apa dampak dari tiger parenting?
Anak-anak yang tumbuh dengan orangtua bergaya tiger parenting sering kali tidak mendapatkan lingkungan yang penuh kasih sayang dan cinta tanpa syarat.
Gaya pengasuhan yang terlalu ketat dan bersifat menghukum dapat memengaruhi kesehatan mental anak. Berikut adalah beberapa dampak negatif dari tiger parenting.
- Risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, tidak percaya diri, dan depresi.
- Cenderung mengalami ketidakstabilan secara psikologis.
- Kesulitan mengambil keputusan secara mandiri.
- Sulit menjalin hubungan dekat dengan orang lain dan kurang mampu mandiri.
- Rasa takut berlebihan untuk melakukan kegagalan atau kesalahan karena khawatir mengecewakan orangtua.
- Merasa kurang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga. Apabila memiliki nilai akademik yang lebih rendah, mereka merasa terasing dan mengalami tekanan akademik yang tinggi.
- Risiko lebih besar untuk menyakiti diri sendiri atau memiliki kemungkinan perilaku bunuh diri.
- Memiliki masalah dengan disiplin karena tidak diajarkan untuk menetapkan batasan pribadi.
Di sisi lain, ada potensi dampak positif yang diharapkan orangtua dari tiger parenting. Ini di antaranya membuat anak disiplin, etos kerja meningkat, dan sukses akademik atau bidang tertentu.
Penting untuk diingat bahwa setiap pola asuh memiliki tujuan dan latar belakang masing-masing, termasuk tiger parenting yang sering dilandasi oleh niat baik dan harapan besar terhadap masa depan anak.
Namun, pola asuh yang terlalu menekan dan minim empati justru berisiko mengganggu kesehatan mental dan perkembangan emosional anak.
Kesuksesan sejati tidak hanya diukur dari prestasi akademik, tetapi juga dari kebahagiaan, kemandirian, dan kemampuan anak untuk tumbuh sebagai pribadi utuh.
Maka dari itu, orangtua perlu bijak dalam menyeimbangkan antara tuntutan dan kasih sayang agar anak bisa berkembang secara optimal, baik secara intelektual maupun emosional.
Kesimpulan
- Tiger parenting menekankan disiplin tinggi dan pencapaian akademik sebagai tolok ukur utama kesuksesan.
- Gaya ini ditandai oleh kontrol orangtua yang dominan, tuntutan tinggi terhadap anak untuk selalu berprestasi, serta pendekatan yang berbasis rasa takut, bukan kasih sayang.
- Banyak orangtua menerapkan pola ini karena ingin anaknya sukses dan tangguh, didorong oleh kekhawatiran masa depan dan nilai budaya yang menjunjung tinggi prestasi akademik.