Ada stigma yang beredar dalam masyarakat bahwa gangguan jiwa bisa menular. Anggapan ini jugalah yang membuat kebanyakan orang merasa enggan berada dekat-dekat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), bahkan mungkin spontan menghindar begitu berpapasan dengan orang “gila’. Memang, gejala gangguan jiwa tidak semudah itu dikenali — tidak seperti gejala flu atau kanker. Gangguan jiwa juga dapat menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Tapi benarkah gangguan jiwa menular? Ternyata, ini kata para ahli kesehatan jiwa…
Tidak benar bahwa gangguan jiwa menular
Anggapan bahwa gangguan jiwa menular adalah lagu lama yang tidak perlu Anda percaya lagi. Suatu penyakit dikatakan bisa menular ketika berasal dari infeksi virus, bakteri, atau jamur yang memang bisa berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya melalui kontak fisik langsung — entah itu lewat hubungan seksual atau antar kulit — atau secara tidak langsung, seperti lewat udara, partikel air saat bersin/batuk, atau dengan pinjam-meminjam barang pribadi.
Gangguan jiwa merupakan penyakit yang memengaruhi otak sehingga menggangu keseimbangan kimiawi. Misalnya saja orang dengan depresi diketahui memiliki serotonin yang rendah. Kemunculan gejalanya bisa dipicu oleh peristiwa dalam hidup yang meninggalkan dampak atau trauma yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelecehan anak, atau stress berat jangka panjang.
Penyakit mental dapat menyebabkan gangguan ringan sampai gangguan berat terhadap cara Anda berpikir, merasa, bertindak dan bagaimana Anda memandang diri sendiri, orang lain, dan peristiwa dalam hidup. Perwujudan penyakit mental dan keparahan gejalanya pun bisa berbeda antar satu orang dengan yang lainnya karena masing-masing orang memiliki “daya tahan’ yang berbeda untuk menangani stres.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) yang dicatat oleh Kementerian Kesehatan, terdapat sekitar 14 juta orang di Indonesia yang memiliki gangguan jiwa ringan seperti gangguan kecemasan atau depresi, dan 400.000 ODGJ berat seperti skizofrenia — atau yang biasa disebut “gila’. Di Amerika Serikat, 43,8 juta orang dewasa hidup dengan gangguan jiwa. Bayangkan kalau ternyata memang benar gangguan jiwa menular. Angka-angka ini seharusnya akan lebih tinggi lagi.
Gangguan jiwa tidak menular, tapi bisa diturunkan dari orangtua
Salah jika Anda masih menganggap bahwa gangguan jiwa menular. Namun memang meski bukan penyakit menular, gangguan jiwa dapat dikategorikan sebagai penyakit keturunan.
Gangguan jiwa umum terjadi pada orang yang keluarga sedarahnya juga memiliki gangguan jiwa. Gen tertentu dapat meningkatkan risiko Anda terkena gangguan jiwa, dan situasi penuh stres atau kejadian traumatis dalam hidup Anda dapat memicu gen tersebut aktif di kemudian hari. Itulah sebabnya ketika berkonsultasi dengan dokter, biasanya dokter akan bertanya apakah ada keluarga sedarah Anda yang juga memiliki riwayat gangguan jiwa serupa dengan Anda.
Itulah juga kenapa jika seseorang yang punya skizofrenia menikah dengan sesama penderita skizofrenia, maka peluang anaknya tumbuh besar memiliki skizofrenia juga akan semakin besar. Walaupun belum tentu seorang pasien skizofrenia lahir dari ayah ibu yang salah satunya skizofrenia.
Namun begitu, studi tentang faktor genetik terhadap risiko seseorang terhadap gangguan jiwa masih perlu didalami lebih lanjut.
Gangguan jiwa tidak menular, tapi bisa didapat
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gen tertentu yang Anda wariskan dari salah satu atau kedua orangtua Anda dapat meningkatkan risiko Anda terkena gangguan jiwa. Situasi penuh stres atau kejadian traumatis dalam hidup Anda di masa lalu dapat memicu gen tersebut aktif di kemudian hari.
Misalnya saja, pola asuh orangtua yang terlalu keras, menerima kekerasan atau pelecehan fisik dan/atau seksual semasa kecil, stres berat jangka panjang, hingga asupan alkohol atau obat-obatan yang Anda dapat selama dalam rahim dari ibu yang minum alkohol terkadang dikaitkan dengan kemunculan gangguan jiwa. Kerusakan otak yang dapat memicu gangguan jiwa juga bisa disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol atau narkoba, cedera berat pada kepala, atau kecacatan saat lahir.
Gangguan jiwa ‘menular’ secara emosional
Anggapan bahwa gangguan jiwa menular di sini dapat diartikan sebagai penularan lewat emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Golberstein dan kawan-kawan pada 10.000 mahasiswa tahun pertama yang tinggal asrama kampus dengan teman sekamar, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan dapat “menular’, meskipun penampakan gejalanya tidak seberapa. Begitu pun halnya dengan depresi namun ternyata hal ini hanya berlaku pria. Penelitian ini juga menemukan bahwa ternyata depresi lebih menular ketika orang yang mengalami depresi enggan menceritakan masalahnya ke orang lain.
Sederhananya, ketika Anda melihat, menyaksikan, atau hidup bersama orang dengan gangguan jiwa Anda bisa secara tidak sadar “tertular’ penyakit mental yang dialami orang tersebut. Bukan benar-benar tertular layaknya ketularan flu, tapi rentan ikut mengalami gangguan jiwa akibat tekanan sosial dan situasi berat yang harus dihadapi dan/atau diemban bersama.
Namun, selama daya tahan Anda terhadap stres dan bagaimana cara Anda menangani stres terbilang cukup baik, misalnya Anda terus dapat berpikir positif dan tidak berlarut-larut dalam menyikapinya serta hubungan sosial Anda terhadap orang lain baik, maka Anda mungkin lebih kebal dari “ketularan’ penyakit jiwa.
Hapus stigma negatif yang menghantui orang dengan gangguan jiwa
Masyarakat Indonesia masih menganggap gangguan jiwa hanyalah penyakit yang diderita oleh orang di Rumah Sakit Jiwa. Stigma masyarakat membuat orang yang mengalami gejala gangguan jiwa enggan berobat karena tidak ingin dikatakan “gila”.
Padahal gangguan jiwa adalah kondisi serius yang membuat seseorang tidak bisa sepenuhnya mengendalikan perasaan, pikiran, dan perbuatannya. Gangguan jiwa bisa menyerang siapa saja, tidak terkecuali diri kita dan orang-orang terdekat. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak “bertingkah aneh’ atau “gila’ dan hanya “mendramatisir kondisinya’ saja. ODGJ tidak bisa “membaik” sendiri, mereka membutuhkan dukungan dari keluarga, tenaga kesehatan, pemerintah, dan komunitas sosialnya.
Gangguan jiwa bisa diatasi dan dipulihkan sepenuhnya. Dengan penanganan yang tepat misalnya psikoterapi, konseling, dan obat yang diresepkan dokter, gangguan jiwa bisa disembuhkan. Memang ada beberapa jenis gangguan jiwa yang tidak bisa sembuh total, misalnya skizofrenia. Akan tetapi, Anda masih bisa mengendalikan gejala dan mengurangi intensitasnya. Maka, bukan mustahil bagi ODGJ berat untuk menjalani kehidupan normal seperti bekerja, berkeluarga, dan berkarya.